Penelitian: Pola Produksi Protein Hewani Dunia Pengaruhi Perubahan Iklim

Sumber daya yang diperlukan untuk membesarkan hewan ternak dan dampak dari peternakan terhadap lingkungan kini mengalami perubahan drastis terkait dengan jenis satwa, jenis pakan yang dikonsumsi, jenis makanan yang disediakan serta lingkungan tempatnya hidup. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian yang memotret secara detail “ekosistem peternakan” di berbagai belahan dunia. Intinya, pola pembesaran hewan ternak kini semakin mempengaruhi perubahan iklim jika dilakukan dengan tidak bijaksana.

Penelitian yang diterbitkan di jurnal ilmiah Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) adalah sebuah kajian komprehensif terkini yang meneliti apa yang menjadi pakan sapi, domba, babi, unggas dan berbagai satwa ternak lainnya di berbagai belahan dunia, lalu seefisien apa pakan ini dikonversi menjadi susu, telur dan daging, serta tingkat emisi Gas Rumah Kaca dari aktivitas produksi ternak ini.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh sejumlah pakar dari International Livestock Research Institute (ILRI), Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO) dan International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA), menunjukkan bahwa hewan ternak di berbagai wilayah negara berkembang membutuhkan pakan jauh lebih banyak dibandingkan hewan ternak di negara maju untuk menghasilkan satu kilogram protein. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa produksi unggas jauh lebih efisien dibandingkan susu dan daging sapi, namun emisi Gas Rumah Kaca sangat bervariasi tergantung satwa dan kualitas pakannya.

“Sudah banyak penelitian terkait tantangan yang dihadapi oleh peternakan di level global, namun kendati ini masalah global, tapi pola penyelesaiannya nyaris seluruhnya lokal dan sangat situasional,” ungkap Mario Herrero, penulis utama kajian ini dari CSIRO di Australia. “Tujuan kami adalah menyediakan data yang dibutuhkan, jadi perdebatan terhadap peran hasil ternak dalam makanan manusia dan lingkungan, serta pencarian solusi terhadap tantangan-tantangan ini bisa berikan dengan cara yang berbeda-beda di berbagai lokasi orang melakukan aktivitas ternak,” ungkap Herrero.

Temuan Herrero dan kawan-kawan dijelaskan melalui lebih dari 50 peta ilustrasi dan lebih dari 100 halaman data tambahan, serta menjadi laporan utama dalam jurnal PNAS tentang isu peternakan dan perubahan global.

Produksi protein dari sapi membutuhkan sumber daya lima kali lipta lebih besar dibandingkan unggas. Foto: Rhett Butler
Produksi protein dari sapi membutuhkan sumber daya lima kali lipta lebih besar dibandingkan unggas. Foto: Rhett Butler

Produksi Ternak dan Pakan

Studi ini memecah produksi hewan ternak ke dalam 9 region global, yaitu di wilayah-wilayah yang lebih maju seperti di Eropa dan Rusia (1), Amerika Utara (2) dan Oseania (3), serta kwasan yang masih berkembang seperti di Asia Tenggara (4), Asia Timur termasuk Cina (5), Asia Selatan (6), Amerika Latin dan Karibia (7), Afrika Sub-Sahara (8) dan Timur Tengah serta Afrika Utara (9).

Dari data yang dikumpulkan, terlihat kondisi yang sangat kontras dalam produksi ternak dan pakannya, misalnya sekitar 59 juta ton daging sapi yang diproduksi di dunia tahun 2000, sebagian besar berasal dari Amerika Latin, Eropa dan Amerika Utara. Seluruh negara di wilayah Afrika Sub-Sahara hanya menghasilkan 3 juta ton daging sapi.

Lalu terlihat juga bahwa sekitar 1,3 miliar ton gandum yang menjadi pakan ternak digunakan di wilayah Eropa, Amerika Utara, Cina bagian timur dan Amerika Latin. Seluruh ternak di Afrika Sub-Sahara jika digabung hanya memakan sekitar 50 juta ton gandum setiap tahun, dan lebih banyak bergantung pada rumput, serta sisa-sisa tanaman pasca pemanenan.

Emisi Gas Rumah Kaca

Para pakar juga melihat kaitan erat antara pola produksi ternak dengan Gas Rumah Kaca yang dilepas ke atmosfir, menjadi sebuah kondisi yang penting di tengah pemanasan global saat ini. Dari kajian ini ditemukan bahwa di Asia Selatan, Amerika Latin, Eropa dan Afrika Sub-Sahara menghasilkan emisi regional Gas Rumah Kaca yang tertinggi dari sektor peternakan. Lalu diantara wilayah negara maju dan negara berkembang, wilayah negara-negara berkembang menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca yang jauh lebih besar dari sektor peternakan, termasuk 75% emisi dari produksi daging dan sekitar 56% dari peternakan babi dan unggas.

Studi ini juga menemukan bahwa peternakan untuk menghasilkan daging dan susu adalah sumber terbesar emisi Gas Rumah Kaca dari sektor peternakan secara global, yaitu sekitar 77% secara total. Sementara peternakan unggas dan babi hanya menyumbang 10% emisi Gas Rumah Kaca.

Secara keseluruhan penelitian ini menemukan bahwa hewan ternak ruminan seperti sapi, domba dan kambing membutuhkan pakan lima kali lipat lebih banyak untuk menghasilkan satu kilo protein dalam bentuk daging dibandingkan satu kilo protein dalam bentuk susu.

“Perbedaan besar dalam ketidakefisienan dalam produksi ternak ini perlu mendapat perhatian khusus,” ungkap penulis penelitian ini. “Mengetahui perbedaan ini akan bisa membantu kita menentukan konsumsi susu, daging dan telur yang lebih berkelanjutan dan pada porsi semestinya.”

Para pakar juga mengingatkan bahwa produksi hewan ternak di banyak negara berkembang harus kembali di evaluasi dalam konteks tingkat pentingnya bagi nutrisi di skala nasional dan pendapatan.

CITATION: M. Herrero, P. Havlik, H. Valin, A. Notenbaert, M. C. Rufino, P. K. Thornton, M. Blummel, F. Weiss, D. Grace, M. Obersteiner. Biomass use, production, feed efficiencies, and greenhouse gas emissions from global livestock systems. Proceedings of the National Academy of Sciences, 2013; DOI: 10.1073/pnas.1308149110

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,