,

Masyarakat Sipil Desak Solusi Perlindungan Lahan Gambut dari Ancaman Konversi

Indonesia terancam kehilangan 10 juta hektar lahan akibat penurunan permukaan lahan gambut dan intrusi air laut

Tekanan pembukaan yang masif terutama perkebunan sawit dan hutan tanaman industri telah menyebabkan kondisi lahan gambut di Indonesia saat ini berada di bawah tekanan.  Salah satunya yang terjadi di Riau, propinsi yang memiliki kawasan gambut terluas di Indonesia, dimana telah terjadi laju kerusakan dan konversi terhadap 1,83 juta hektar lahan dalam periode 25 tahun yaitu antara 1982-2007.

Selain menyebabkan pelepasan emisi karbon ke udara, pembukaan gambut juga menyebabkan terjadinya konflik sosial di wilayah tersebut.  Demikian terangkum dari hasil diskusi Jaringan Nasional Masyarakat Gambut yang diadakan oleh lembaga lingkungan Scale Up pada tanggal 10-13 Desember yang lalu.

Konversi lahan secara nyata memicu terbentuknya subsidence atau penurunan permukaan gambut. Dampak parah akan terjadi jika subsidence tersebut sudah menyebabkan intrusi air laut yang masuk ke permukiman dan wilayah garapan masyarakat, dan dapat dipastikan kerusakan gambut akan mengganggu sumber-sumber ekonomi masyarakat dan juga kebutuhan hidup masyarakat yang berada di sekitar wilayah tersebut.

“Kepunahan suatu kubah gambut dapat terjadi, dibutuhkan setidak-tidaknya 2000 tahun untuk membentuk lahan gambut setebal 4 meter. Jika didrainase, lahan gambut setebal 4 meter itu dapat habis hanya dalam waktu sekitar 100 tahun,” Oka Karyanto staf pengajar Universitas Gajah Mada menjelaskan. Penurunan yang terus menerus terjadi akan menyebabkan punahnya lahan gambut.

Ancaman serius yang bakal terjadi adalah hilangnya luas daratan Indonesia hingga 10 juta hektar, belum termasuk lepasnya karbon ke udara dan munculnya pirit, sejenis mineral yang dapat meracuni lahan pertanian, yang akan muncul dari dalam tanah jika lahan gambut dibuka.

Subsidence atau amblasan yang terus menerus dapat mengakibatkan punahnya lahan gambut. Bila amblasan gambut tetap berlanjut, maka setidaknya ada 10 juta hektar daratan Indonesia yang akan hilang dalam 100-300 tahun mendatang,” ungkapnya.

Luas lahan gambut indonesia

Ekosistem lahan gambut sendiri sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah.

Seperti yang disebutkan dalam artikel Mongabay sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Erik Olbrei dari Australia National University menyebutkan bahwa pelepasan emisi dari lahan gambut Indonesia seperti layaknya bom waktu yang jika tidak segera dicegah akan segera terjadi.

Perlindungan Kawasan Gambut Harus Libatkan Masyarakat Lokal

Ekspansi perkebunan dan hutan tanaman industri di lahan gambut saat ini menjadi masalah utama, seperti yang terjadi di Aceh, Riau, Jambi dan Kalimantan Tengah. Untuk saat ini, penyelamatan hutan gambut yang terjadi tidak dapat begitu saja terjadi jika dilakukan tanpa adanya pelibatan masyarakat yang hidup disana.  Emil Kleiden, Peneliti dari Lembaga Internasional Forest People Programme (FPP) menyebutkan kesenjangan kebijakan adalah faktor utama yang menyebabkan investasi yang masuk di kawasan gambut selama ini tidak menjawab realitas kebutuhan masyarakat lokal.

Akibat yang terjadi di lapangan adalah munculnya bentuk-bentuk perlawanan terhadap investasi raksasa yagn dilakukan oleh perusahaan-perusahaan sawit dan hutan tanaman industri.  Contohnya yang terjadi di Riau, dimana masyarakat lokal diperhadapkan dengan raksasa pulp and paper kelompok usaha RAPP yang menyebabkan terjadinya tindakan pendudukan lahan. Lahan milik masyarakat yang sudah diambil perusahaan diduduki kembali oleh masyarakat yang dibarengi upaya-upaya litigasi bersama kelompok LSM.

Pembuatan kanal di lahan gambut, teknik drainase untuk mengeringkan lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan. Foto: Lili Rambe

Dalam penelitian sebelumnya, Lembaga Scale Up pernah merilis laporan tentang konflik yang terjadi di propinsi Riau untuk periode tahun 2007-2010.  Dalam laporan ini konflik yang terjadi di Riau melibatkan area 111.745 hektar (2007) yang meningkat menjadi 200.586 hektar (2008), meningkat drastis menjadi 345.619 (2009), dan 342.571 hektar di tahun 2010.  Eskalasi konflik tertinggi pada tahun 2010 terjadi di Kabupaten Pelalawan yaitu 92.764 hektar, jauh jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Riau.  Scale Up mengindikasikan konflik tertinggi yang terjadi di Pelalawan diakibatkan oleh pembukaan wilayah gambut di Semenanjung Kampar untuk hutan tanaman industri oleh kelompok RAPP.

Meskipun demikian, di beberapa wilayah upaya untuk menggugat kerusakan kawasan gambut juga mulai terjadi, misalnya yang terjadi di hutan gambut Rawa Triwa. Selanjutnya, Kleiden menawarkan bahwa upaya terbaik adalah lewat proses penyelesaian sengketa dan penguatan hak-hak masyarakat yang hidup di wilayah tersebut, termasuk dilakukannya upaya formal seperti pemetaan wilayah-wilayah hidup masyarakat untuk mendapat pengakuan.

Perkiraan Besaran Emisi-1

“Kasus di Tripa, saat ini tidak saja menjadi perhatian lokal, tetapi juga menjadi perhatian internasional.  Perusakan yang dilakukan oleh perusahaan telah menyebabkan perusahaan berhadapan dengan masyarakat saja, tetapi juga digugat oleh pihak pemerintah yaitu Kementerian Lingkungan Hidup yang menyeret kasus ini ke pengadilan,” jelasnya.

Harry Oktavian dari lembaga Scale Up menyebutkan bahwa kesepakatan dalam bentuk dokumen kerja para pihak diperlukan untuk menjawab model pengelolaan wilayah gambut untuk mencegah terjadinya bencana perubahan iklim. Menurutnya, belajar dari pengalaman hilangnya hak atas wilayah tanahnya di masa lalu, masyarakat mulai kritis terhadap para pejabat desa yang dengan mudah memberikan persetujuan tanah kepada perusahaan. Sebaliknya saat ini para pejabat desa yang memiliki visi telah mulai melakukan perencanaan kawasan desa lewat skema yang ada seperti inisiatif Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan.

Artikel yang diterbitkan oleh
,