, , ,

Konflik Agraria 2013 Meningkat, 21 Warga Tewas, 30 Tertembak

Laporan akhir tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperlihatkan dalam dua periode kepemimpinan SBY, konflik agraria cenderung mengalami peningkatan.  Bahkan, tahun ini KPA mencatat korban jiwa naik drastis, sampai 522%. Tahun 2012, warga tewas tiga orang, tahun ini menjadi 21 orang.  Korban lain,  30 orang tertembak, 130 mengalami penganiayaan dan 239 warga ditahan.

Sedang pelaku kekerasan dalam konflik agraria sepanjang 2013 didominasi kepolisian sebanyak 47 kasus, keamanan perusahaan 29 kasus dan TNI sembilan kasus.  “Selama kepemimpinan SBY ada ketimpangan struktural makin luas. Jumlah petani menurun. Bukan berarti ekonomi meningkat tetapi kepemilikan petani atas lahan menurun. Kontrol pengelolaan sumber daya alam hilang. Pengusaha makin masif mengeksploitasi SDA,” kata Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal KPA, saat konferensi pers di Cikini Jakarta, Kamis (19/12/13).

Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 (8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.

Iwan mengatakan,  konflik terbesar di sektor perkebunan tetapi luasan wilayah terbesar sektor kehutanan. “Ini karena seluruh kawasan perkebunan hasil konversi hutan. Jadi asal muasal konflik ada di sektor kehutanan.”

Sektor kehutanan, area konflik agraria terluas sekitar 545.258 hektar disusul perkebunan 527.939,27 hektar dan pertambangan 197.365,90 hektar. Dibandingkan 2012, ada peningkatan areal konflik 318.248,89 atau naik 33,03 persen. Dari sisi jumlah kasus naik 198 atau 86,36 persen. “Kebijakan SBY tahun 2013 cenderung pro investasi besar.”

Rekaman Konflik Agraria 2013, per sektor. Grafis: Konsorsium Pembaruan Agraria
Rekaman Konflik Agraria 2013, per sektor. Grafis: Konsorsium Pembaruan Agraria

Pandangan KPA, pemerintah tak ada itikad baik mempercepat implementasi putusan MK Nomor 35. Proses pengukuhan kawasan hutan sangat lambat menyebabkan konflik makin marak.

Selama lima tahun terakhir (2009-2013) terjadi peningkatan konflik sebanyak 314% atau tiga kali lipat jika dibandingkan 2009.  Areal konflik meningkat drastis mencapai 861% dan keluarga terlibat konflik naik tajam sebesar 1.744%. “Jika menganalisa kebijakan agraria sepanjang kekuasaan SBY hal ini bisa dipahami. Prioritas dia tidak untuk rakyat tetapi pengusaha skala besar.”

Sepuluh besar provinsi dengan konflik terbesar diantaranya Sumatera utara (10,84%), Jawa Timur (10,57%), Jawa Barat (8,94%), Riau (8,67%), Sumatera Selatan (26 kasus), Jambi (5,96%), DKI Jakarta (5,69%), Jawa Tengah (4,61%), Sulawesi Tengah (3,52%), dan Lampung (2,98%).

“Sepanjang tahun 2013 konflik didominasi sektor perkebunan. Ini menunjukan konflik agraria terjadi akibat kebijakan agraria masa kolonial  hingga orde baru sebagian besar menjadi PTPN belum terselesaikan. Masih menyisakan bara panas, seperti Sumatera Utara dan Jawa.”

Konflik juga terjadi di kawasan ekspansi perkebunan sawit seperti di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah hingga Lampung. Keadaan ini memperlihatkan, ekspansi perkebunan, pertambangan skala besar bersamaan dengan perampasan tanah yang dikelola masyarakat.

Menurut dia, konflik makin tajam saat memasuki tahun politik, pada 2014. KPA menilai, secara garis besar komitmen partai politik terhadap usaha pengembalian hak dan kedaulatan rakyat atas tanah sangat minim.

Iwan mengatakan,  mesti dilakukan dalam tiga bulan ke depan adalah mengumumkan caleg-caleg tak layak. Lalu, memetakan daerah dan daerah pemilihan yang berpotensi perampasan tanah. “Supaya masyarakat bisa tahu dan tak salah memilih caleg yang tidak memperjuangkan hak masyarakat.”

Grafis: Konsorsium Pembaruan Agraria
Grafis: Konsorsium Pembaruan Agraria

Selamet Daroyni, Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan,  laporan KPA makin mempertegas posisi SBY bukan membawa rakyat Indonesia menuju kesejahteraan.

Menurut dia, banyak kebijakan-kebijakan pemerintah baik dalam konteks perundang-undangan, maupun turunan-turunannya seperti perpres, permen dan lain-lain tak mengakomodir hak-hak nelayan.  Bahkan,  secara gamblang justru memperlihatkan sikap pro pengusaha asing. “Ada banyak  kasus berimplikasi pada kehidupan nelayan. Baik di pesisir mau pun pulau-pulau kecil. DPR baru mengesahkan revisi UU nomor 27 tahun  2007 justru merugikan nelayan.”  Seharusnya, jika Presiden mempunyai kepedulian kepada nelayan, putusan Mahkamah Konstitusi Juli 2011 menjadi rujukan revisi UU itu.

Selamet juga menyebut proyek PLTU Batang, bagian MP3EI yang merugikan masyarakat nelayan.“Proyek itu akan mengusir sekitar 2.000 nelayan.  Mereka hanya mengandalkan Batang sebagai kawasan paling produktif menangkap ikan. Karena di beberapa tempat seperti Indramayu dan Situbondo sudah ada PLTU,”  ucap Selamet.

Laut di sepanjang Pantai Utara sudah rusak karena dibangun beberapa PLTU. Satu-satunya, yang tersisa  di Batang.  “Nelayan dari Banten sampai Banyuwangi  mencari ikan ke Batang. Jika ini dibiarkan terjadi dan PLTU dibangun, satu-satunya tempat mencari ikan akan hilang.” Ke depan, katanya, kehidupan nelayan akan makin sulit. Saat ini, rakyat miskin nelayan mencapai 7,8 juta jiwa.

Ahmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch mengatakan, kebijakan negara jika ditelisik, cenderung mengakomodir kepentingan pengusaha. Dalam Permenag no 98 tahun 2013, pemerintah mencoba membatasi lahan dan mengatakan maksimal penguasaan lahan itu 100 ribu hektar, namun ada pengecualian bagi perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas atau go public.

Aturan ini dinilai aneh karena semua perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, berbentuk perseoran terbatas. “Jadi sebenarnya tidak ada yang dibatasi dengan peraturan itu.” Begitu juga dalam Permentan. Perusahaan wajib melibatkan masyarakat mengelola kawasan minimal 20 persen dari luas konsesi. Saat orde baru, justru masyarakat punya konsesi 60%, pengusaha hanya 40%.

Tak jauh beda diungkapkan Hendrik Siegar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Menurut dia, data konflik pertambangan KPA jauh lebih besar dari Jatam. “Konflik makin meningkat karena ini terus dibiarkan pemerintah. Ini bisa jadi alasan mempermudah perampasan tanah milik masyarakat. Daripada negosiasi dan jual beli dengan masyarakt, pemerintah memilih membiarkan konflik lahan terus terjadi.”

Dia memperkirakan, konflik pertanahan makin meningkat seiring proyek-proyek MP3EI, terlebih tahun depan segera memasuki tahun politik. “Pejabat mengumpulkan uang untuk kampanye. Salah satu cara dengan menjual izin pemanfaatan lahan. Sedang skenario penyelesaian konflik tak ada.”

Luas areal konflik menurut sektor tahun 2013. Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria
Luas areal konflik menurut sektor tahun 2013. Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria
Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria
Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria
Sumber: KPA
Sumber: KPA
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,