Berbagai kasus lingkungan di Indonesia, hingga kini masih sangat kental dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kecenderungan ini, bahkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi Dialog Kebijakan: Pertambangan dan Pembangunan Daerah yang digelar oleh Walhi Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka, Jatam Sulteng, AGRA dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya beberapa waktu silam di Palu, Sulawesi Tengah.
Dianto Bachriadi, Phd selaku perwakilan dari Komnas HAM Republik Indonesia dalam pemaparannya mengatakan, negara masih didominasi oleh kepentingan modal. Data Komnas HAM 2012, ada 5.422 berkas pengaduan yang masuk, terbanyak terkait dengan isu sengketa hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya (1.064 berkas).
Komnas HAM mencatat, terdapat dua aktor yang paling banyak diadukan sebagai pelaku pelanggar HAM adalah Polri (1.635 pengaduan) dan Perusahaan (1.009 pengaduan). Kepolisian RI seringkali “terjebak” atau sengaja untuk terlibat dalam konflik agraria dengan berbagai alasan, seperti: pengamanan obyek vital, menjaga keamanan dan ketertiban umum atau bahkan memenuhi permintaan perusahaan untuk ‘mengamankan’ kegiatan bisnis ekstratif mereka.
“Sejauh ini, Komnas HAM hanya bisa melakukan langkah mengeluarkan rekomendasi terhadap pemerintah daerah maupun pemerintah pusat terkait kasus pelanggaran Ham di sektor SDA,” kata Dianto Bachriadi seperti dikutip dari rilis WALHI Sulawesi Tengah.
Dianto Bachriadi, juga menambahkan, pemicu aktivitas pertambangan besar yaitu pertama, peningkatan permintaan pasar dunia atas batubara sebagai bahan bakar penghasil energy dan kedua ditemukannya satu ‘jalur baru emas wilayah Asia-Pasifik’ (the Asia-Pacific region’s epithermal gold ‘ring of fire’) pada awal tahun ’80-an dan terakhir ditegaskannya Indonesia sebagai sumber pemasok bahan baku utama untuk industri dunia melalui kebijakan MP3EI.
Ia menambahkan, di Sulawesi Tengah terdapat 490 IUP pertambangan, data ini berbeda dengan yang dipaparkan oleh Gubernur Sulawesi Tengah yaitu sebanyak 429 IUP dan terbayak ada di Kabupaten Morowali yaitu 220 IUP. “Khusus di pertambangan besar itu di dalam tahapan kegiatanya, yakni eksplorasi dan eksploitasi penuh dengan pelanggaran HAM,” kata Dianto Bachriadi. Ada beberapa bentuk pelanggaran-pelanggaran yang dipicu oleh perusahaan besar, diantaranya konflik agraria, pencemaran lingkungan, konflik perburuhan.
Selain itu, di dalam konflik perburuhan, jelasnya, juga terdapat pelanggaran HAM yakni pelanggaran HAM untuk hidup, pelanggaran Ham untuk bekerja yang layak, Hak untuk berserikat, pelanggaran Ham lingkungan hidup yang baik, pelanggaran hak kesehatan, pelanggaran hak di muka hukum, dan pengadilan hak untuk bebas dari penyiksaan, kebebasan dari diskriminasi dan hak untuk anak-anak.
Konflik agraria lah pangkal dan arena dari beragam bentuk pelanggaran HAM dan sekaligus beragam bentuk protes dan perlawanan warga setempat terhadap kegiatan pertambangan besar,” kata Dianto Bachriadi.
Wilayah daratan Indonesia yang mencapai 172 juta hektar dan dari semua izin usaha pertambangan, misalnya kehutanan, perkebunan, yang sudah beroperasi sudah 62 % dari seluruh luas daratan Indonesia sudah dikuasai oleh perusahaan untuk kegiatan Industri ekstratif.
Sedangkan Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah, Ahmad Pelor kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, pada prinsipnya dalam kasus-kasus Sumber Daya Alam yang terus terjadi pelanggaran HAM sulit mengharapkan Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Sebenarnya jika pemerintah dan DPR RI memiliki keinginan serius maka seharusnya maka perlu menambah kewenangan Komnas HAM dalam mengurusi kasus HAM melalui produksi atau perubahan undang-undang HAM.
“Komnas HAM juga belum cukup maksimal dalam merespon kasus-kasu pelanggaran HAM di sektor SDA yang terjadi saat ini,” tambah Ahmad Pelor.
Ahmad Pelor nemambahkan, dalam dua tahun terakhir catatan WALHI Sulteng menyebutkan lebih dari 30 orang masyarakat ditahan dan dipanggil polisi dalam konflik perkebunan sawit. Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dalam tiga tahun terakhir 98 orang dikriminalisasi dalam konflik-konflik pertambangan, dimana masyarakat sesungguhnya sedang mempertahankan ruang-ruang kelola untuk penghidupannya. Selain itu, 12 orang lainnya ditembak dan tiga diantaranya meninggal dunia.
“Problemnya, pemerintah dan DPR RI terlihat tidak punya political will untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dan penyebabnya baik di sektor SDA dan lainnya,” kata Ahmad Pelor.