Dengan target Pemerintah saat ini dibutuhkan waktu 163 tahun untuk memperbaiki lahan kritis di Indonesia atau setara dengan 33 kali masa pemerintahan.
Pada tahun 2007 di Pertemuan UNFCCC/COP13 di Bali, Presiden SBY mengeluarkan pernyataan kepada dunia bahwa Indonesia secara sukarela akan mengurangi laju emisi pada tahun 2020 menjadi 26% sebagai usaha sendiri, dan 41% jika terdapat dukungan internasional.
Komitmen ini pun telah dituangkan dalam Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan Rencana Aksi Daerah (RAD GRK), yang secara khusus berfokus kepada pengurangan deforestasi hutan dan degradasi lahan yag tinggi. Seperti diketahui 85% dari sumber gas rumah kaca di Indonesia berasal dari deforestasi dan degradasi lahan.
Tantangan dalam mencapai target ini mendapatkan masalah serius disebabkan tatakelola hutan dana lahan di Indonesia yang buruk. Seperti yang dirangkum dalam laporan yang diterbitkan oleh FITRA pada bulan Desember 2013, permasalahan utama penurunan emisi karbon terhambat kepada ketersediaan kebijakan dan anggaran yang selalu kurang memadai, ditambah problem inkonsistensi, tumpang tindih dan kebijakan yang saling bertentangan. Demikian pula postur anggaran yang dibuat dianggap kurang reponsif terhadap pengelolaan hutan dan lahan.
Pro Lingkungan Baru Sebatas Komitmen Politik Presiden Belum Implementasi Kebijakan
Tidak ada rencana baik yang dapat diimplementasikan tanpa adanya anggaran yang sehat. Demikian kira-kira dalil ekonomi yang berlaku, namun tampaknya hal ini tidak terjadi pada rencana aksi penurunan gas rumah kaca.
Meskipun Bapenas telah mengeluarkan kebutuhan pembiayaan untuk target RAN GRK dan RAD GRK adalah Rp 412 triliun dalam sepuluh tahun (2011-2020) atau sekitar Rp 40 triliun per tahun, nyatanya kebijakan belanja APBN dan APBD yang terkait dengan target penurunan emisi dalam dua tahun (2011-2012) hanya sekitar Rp 20 triliun per tahun, itupun hanya mampu direalisasikan sebesar 9,7 persennya saja. FITRA juga menyoroti lemahnya penggunaan dana anggaran yang dialokasikan ke daerah untuk pos yang berhubungan dengan pengalokasian anggaran untuk rehabilitasi dan perbaikan mutu lingkungan.
Secara umum belanja pemerintah untuk pemulihan lingkungan, termasuk rehabilitasi lahan, hanya 1persen dari total belanja negara. Sementara itu 63 persen dari total belanja negara teralokasi untuk kepentingan birokrasi dan belanja pegawai. Disisi lain, postur anggaran amat berpengaruh terhadap aktifitas eksploitasi hutan dan lahan.
Dalam periode 2009-2012, Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) untuk memenuhi belanja negara adalah 27 persen dari postur anggaran, dimana sekitar 63 persennya berasal dari sektor yang berhubungan dengan eksploitasi hutan dan lahan yang secara langsung mendorong peningkatan laju kerusakan lingkungan. Kerusakan yang diakibatkan oleh sebab eksploitasi ini, dianggap tidak sebanding dengan kerusakan alam dan lingkungan yang terjadi.
Masalah lainnya adalah target capaian rehabilitasi lahan yang dianggap terlalu rendah. Pemerintah dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ) 2010-2014, pemerintah menargetkan rehabilitasi lahan kritis sebesar 2,5 juta hektar lahan dalam 5 tahun, atau rata-rata 500 ribu hektar per tahun.
Ironisnya lahan kritis yang ada di Indonesia berdasarkan Statistik Kehutanan 2012 adalah 81,6 juta hektar, sehingga dengan memperbandingkan target capaian pemerintah dalam RPJMN dan realisasi luasan lahan kritis dibutuhkan waktu 163 tahun untuk memperbaiki lahan kritis yang ada atau setara dengan 33 kali masa pemerintahan.
Dengan perhitungan ini maka periode pemerintahan Presidensial 2010-2014 hanya akan memperbaiki 3% dari lahan kritis yang ada. Sebagai perbandingan, jika terdapat komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk menyelesaikan urusan rehabilitasi lahan dalam 5 tahun, dalam setahunnya pemulihan lahan kritis yang harus dilakukan adalah 16,4 juta hektar/tahun.
Alih-alih menaikkan titik optimum dengan target kinerja yang ada saja, pemerintah belum berhasil mencapai target rehabilitasi 500 ribu hektar per tahun. Kementerian Kehutanan (2012), menunjukkan program rehabilitasi 2007-2012 hanya mampu dilakukan pada lahan seluas 1,6 juta hektar, atau sekitar 320 ribu hektar saja per tahunnya.
Kebijakan Pro Perusakan Lingkungan Masih Saja Dijalankan
Kebijakan industri Indonesia yang mengedepankan perluasan lahan alih-alih produktivitas dan nilai tambah telah menyebabkan arah strategi pembangunan bertolak belakang dengan pelestarian lingkungan, bahkan mendorong deforestasi dan degradasi lahan.
Meskipun era moratorium atau jeda balak telah dilakukan oleh Pemerintah semenjak 2011 (Inpres 10/2011 dilanjutkan dengan Inpres 6/2013), namun moratorium hanya mencakup kawasan dengan luas 66,4 juta hektar jauh dari seluruh kawasan hutan Indonesia yang 129 juta hektar.
Hasil penelitian menunjukkan masih banyak siasat yang dilakukan agar ijin yang terlanjur dikeluarkan masih dapat dilakukan. Salah satu yang dilakukan adalah memundurkan waktu permohonan ijin (back dated) sebelum moratorium berlaku.
Disisi lain, pada saat era moratorium diberlakukan, Pemerintah masih mengobral kebijakan di dalam pemberian ijin pinjam pakai kawasan baik untuk survey eksplorasi tambang dan non tambang, mengeluarkan pemberian ijian pinjam pakai kawasan hutan untuk produksi dan eksploitasi tambang, pemberian ijin prinsip untuk tambang dan non tambang, pelepasan untuk pemukiman transmigrasi, pemberian ijin prinsp pelepasan hutan untuk pemukiman, maupun pelepasan kawasan hutan untuk area penggunaan lain seperti lahan pertanian dan perkebunan.
Penelitian yang dilakukan oleh FITRA menunjukkan bahwa sejak era moratorium, ironisnya jumlah kawasan hutan yang dibebani ijin pinjam pakai semakin bertambah dari 85.014,43 hektar di tahun 2009 menjadi 97.874,71 hektar di tahun 2011. Tingginya ijin pakai dan penggunaan kawasan hutan secara khusus untuk tambang disebabkan pertumbuhan Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) sektor pertambangan lebih menjanjikan jika dibandingkan sektor kehutanan.
Ancaman MP3EI
Komitmen pembangunan ekonomi berbasis koridor melalui skema MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) sejak ahun 2010, diperkirakan akan berpotensi untuk menghilangkan kawasan hutan serta meningkatkan eksploitasi lahan di tujuh koridor region Indonesia. Program MP3EI menjadi kebijakan yang tumpang tindih dengan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional).
Masuknya pertambangan sebagai salah satu dari program utama berpotensi terhadap eksploitasi sumberdaya alam melalui kegiatan pertambangan besi, nikel, bauksit, tembaga, batubara, minyak dan gas, diluar pelepasan kegiatan perkayuan dan perkebunan sawit. Indikasi tersebut tercermin dari 6,7 juta hektar kawasan hutan yang dilepas untuk perkebunan, 2,7 juta hektar kawasan hutan menjadi alih fungsi pertambangan dan 2 juta hektar untuk industri berbasis hutan dan kayu.
Citation: Mengukur Komitmen: Analisis Kebijakan Perencanaan dan Anggaran Nasional terhadap Pengelolaan Hutan dan Lahan di Indonesia. Seknas FITRA dan The Asia Foundation. Desember 2013.