Komunitas Perlindungan dan Pembebasan Satwa Liar mencatat, sepanjang 2013, penyelundupan trenggiling (Manis javanica syn) diperkirakan lebih dari 5.000, tetapi yang berhasil disita hanya 420 ekor atau sekitar 8,4 persen di Sumatera Utara (Sumut). Rendahnya hasil sitaan ini, didorong pencegahan, penindakan, dan perlindungan pemerintah melalui Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), serta aparat penegak hukum, sangat lemah.
Catatan komunitas ini, negara pembeli terbesar satwa liar ini China, Jepang, Singapura, Brazil, Australia, dan sejumlah negara Eropa. Para pelaku dari Indonesia, khusus Sumut, merupakan jaringan yang melibatkan oknum penegak hukum maupun Dinas Kehutanan, dan BKSDA. Modusnya, mereka melakukan penangkapan dan diduga menjual kembali.
Armen Maulana, Tim Kampanye Komunitas Perlindungan dan Pembebasan Satwa Liar, Minggu (29/12/13), di Medan, mengatakan, pihak terkait kurang serius memutus mata rantai penyelundupan satwa dilindungi ini. Data investigasi mereka, hampir 85 persen trenggiling diselundupkan melalui jalur laut, 10 persen darat dan lima persen jalur udara, dengan melibatkan oknum berwenang.
Dia menyebutkan, harga jual cukup tinggi, menjadi satu alasan jaringan penyelundupan trenggiling, terus beraksi. “Dari investigasi kami harga trenggiling Rp400-Rp 450 ribu di dalam negeri, dengan berat lima hingga delapan kilogram per ekor. Sedang sisik, dijual Rp500 ribu per kilogram. “Kalau di pasar internasional, bisa tembus US$400 –US$420.”
Berdasarkan penelusuran, dibantu kelompok mahasiswa pecinta alam Sumut, menemukan, empat daerah tertinggi pintu keluar penyeludupan trenggiling, yaitu, laut perbatasan antara Kabupaten Mandailing Natal dengan Sumatera Barat; lalu laut Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai; laut perbatasan Kabupaten Langkat dengan Aceh dan di laut Medan di Belawan.
Menurut dia, ribuan trenggiling ini diselundupkan melalui laut menaiki kapal nelayan, dan berangkat malam hari menggunakan kapal nelayan. Di tengah perbatasan dengan Malaysia, persis di Selat Malaka, ada kapal lain sudah menunggu memuat ribuan trenggiling. Lalu menuju ke sejumlah negara pemesan.
Untuk mengecoh patroli petugas dari Direktorat Kepolisian Perairan (Dit Polair), maupun petugas Direktorat Jenderal Bea Cukai Sumut, trenggiling hidup, disembunyikan di bagian bawah kapal. Sedangkan yang sudah dipotong dan berbentuk daging, disamarkan dengan menyatukan dengan daging satwa lain.
“Pada Mei 2013, kami mencurigai ada kelompok penyelundup melancarkan aksi. Kami beritahu Dit Polair, dan penyelundupan berhasil digagalkan. Pada Agustus kami juga mencium upaya sama, dan memberitahukan ke Bea dan Cukai, lalu berhasil menggagalkan.”
Sayangnya, ada 25 trenggiling mati di dua penindakan itu, akibat tak mendapat asupan makanan layak selama di kapal. Para pelaku, hanya kaki tangan atau perantara. Pelaku utama, sampai saat ini seolah tak tersentuh hukum. “Ini yang kita sayangkan. Penegak hukum hanya menyidik kaki tangan. Aktor utama, tak pernah terbongkar.”
“Menteri Kehutanan jangan cuma bicara retorika. Bersihkan yang kotor berlindung di balik seragam. Kalau tidak, siap-siaplah menangis, karena kepunahan trenggiling bisa terjadi. Itu nyata di depan mata,” ujar dia.
Riando Purba, aktivis lingkungan dari Universitas Katolik (Unika) Medan, mencurigai oknum terkait, yang menyita tak melepaskan trenggiling ke alam, melainkan disembunyikan. Setelah kondisi tenang dan aman, barulah menjual kembali.
Untuk menutupi, katanya, ada publikasi di media seolah-olah trenggiling ini sudah dilepaskan semua. “Benar dilepaskan, tetapi jumlah tidak sesuai. Misal, kalau diamankan 100 tringgiling, dilepaskan ke hutan hanya 15-20 ekor. Kemana selebihnya? Itu tanda tanya besar.”
Trenggiling banyak diburu salah satu karena sebagian orang meyakini memiliki khasiat tertentu. Satwa ini juga dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik, sapu ijuk dan narkotika. Ada juga yang menganggap, trenggiling, sebagai wakil ordo Pholidota, yang masih ditemukan di Asia Tenggara. Satwa ini memakan serangga terutama semut dan rayap dan hidup di hutan hujan tropis dataran rendah.