, ,

Berkaca dari Kasus Orangutan jadi Santapan Warga

Kisah berawal dari berita dan foto di Harian AP Post, di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), pada 5 November 2013. Pada halaman metropolis di koran anak perusahaan Jawa Pos itu menuangkan kisah tentang warga Pontianak yang menyantap orangutan.

Kisah itu diperoleh sang penulis yang hendak pergi ke kebun di pinggiran kota. Sebelum ke kebun, dia singgah ke rumah pamannya yang kemudian menawarkan ‘makan orang’. Si wartawan, tertarik mengisahkan sekelompok warga pinggiran kota yang memakan daging orangutan, satwa dilindungi ini. Ternyata berita dan foto itu, berbuntut panjang. Banyak media memburu berita ini. Jalan Pancabakti, kawasan Batu Layang Pontianak Utara, yang biasa lengang menjadi ramai. Kasus orangutan dimakan manusia menjadi sorotan.

Suasana makin panas kala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, menetapkan penyuguh masakan, Ignatius Mandor dan Hanapi menjadi tersangka. Mereka diduga membunuh orangutan ini. Penahanan kedua tersangka, oleh Polda Kalbar Kamis (7/11/13). “Ini hasil pemeriksaan petugas di lokasi kejadian dan tersangka,” kata Siti Chadidjah, Kepala BKSDA Kalbar,  pada November 2013.

Dari Hanapi, polisi menyita alat bukti tulang kepala berupa tengkorak dan tulang rahang orangutan, bagian lengan kiri terdiri dari tulang hasta dan tulang pengupil, potongan tangan kiri, tulang paha kaki bagian atas, dan satu golok. Dari Mandor, barang bukti sebungkus daging orangutan yang dimasak, tulang belikat, potongan kaki kiri, bagian lengan terdiri dari potongan tulang hasta dan tulang pengupil, dan empat potongan lidah orangutan.

Hanapi, kata penyidik PNS Kehutanan menjadi tersangka karena membunuh orangutan. Mandor ikut memiliki atau menyimpan potongan badan dari satwa dilindungi itu. Keduanya dititipkan ke Rutan Kelas II A Pontianak. Dari pemeriksaan diketahui, Junaidi, yang menyembelih, Hanapi memegangi orangutan itu.

Atas penangkapan ketiga tersangka ini, muncul reaksi, dari pemuka adat, pengacara, sampai wakil rakyat. Mereka mengajukan permohonan praperadilan. Andel, maju sebagai pengacara Ignatius Mandor dan Hanapi. Dukungan bahkan datang dari Karolin Margaret Natasa, anggota DPR, juga putri Gubernur Kalbar, Cornelis.

“Ini menjadi pertanyaan dan evaluasi bagi kita bersama. Ketidaktahuan masyarakat ini karena kurang edukasi pemerintah dan pihak-pihak terkait,” katanya. Menurut dia, kawasan Bukit Rel, tak terlalu jauh dari kota. Jangan karena kelalaian pihak tertentu, rakyat menjadi korban.”

Pada 26 November 2013, digelar sidang perdana praperadilan kasus pemakan prangutan di PN Pontianak. Sidang berlangsung seminggu lebih. Di setiap persidangan dihadiri banyak pengunjung. Dari simpatisan dan keluarga korban. Polisi selalu berjaga. Bas Andreas, penulis berita pun hadir bersaksi. Bas mengaku tak mempunyai tendensi apa-apa saat memberitakan kasus orangutan ini.

Di depan Hakim Erwin Tjong, dia mengatakan, Mandor memperlihatkan daging orangutan lalu mengatakan, tetangga dapat dari pemburu, yang salah tembak. Orangutan ini semula dikira rusa.

Di persidangan Asmadi dan Darmawan Susilo, yang memeriksa ketiga tersangka, dipanggil sebagai saksi. Mereka mengatakan, sudah mengikuti standar prosedur operasional. Darmawan, sempat dicecar pertanyaan oleh kuasa hukum pemohon, terkait tanggal dan waktu penangkapan.

Dari persidangan, hakim berpendapat penyidik PNS Kehutanan tak melengkapi diri dengan surat penggeledahan saat mendatangi rumah tersangka. Selain itu, surat perintah penangkapan disusulkan setelah kedua tersangka menjalani pemeriksaan, tanpa pernah dilihat keluarga. Bahkan, usai persidangan Hakim, Erwin Tjong memberi nasihat agar Darmawan, memperdalam ilmu mengenai UU Kehutanan.

Bagian tangan orangutan sehabis dimasak warga di Pontianak. Foto: Andi Fachrizal

Rudi Priyanto, pengacara BKSDA, tak berhasil meyakinkan Majelis Hakim, Erwin Tjong, bahwa penangkapan kedua tersangka sesuai prosedur. Dalam persidangan terungkap, BKSDA mendatangi rumah Mandor dan Hanapi, langsung menggeledah, tanpa surat izin penggeledahan dari pengadilan.

Selain itu, PPNS Kemenhut, membawa kedua tersangka, dan dimintai keterangan, tanpa memperlihatkan surat perintah penangkapan. Permohonan Andel CS dikabulkan PN Pontianak, 3 Desember 2013. Mandor dan Hanapi, diputuskan segera bebas dari tahanan. Meskipun begitu kasus pidana pemakan orangutan masih berlanjut.

“Kita segera koordinasi dengan BKSDA, kasus pidana masih lanjut,” kata Kompol KE Tambunan, Kasi Koordinator Pengawas PPNS Kehutanan di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kalbar. BKSDA menyatakan hal serupa. “Kami akan berkoordinasi dengan Polda Kalbar,” kata Siti.

Menurut Siti, kawasan hutan di sekitar pemukiman warga Jalan Pancabakti bukan kawasan korservasi. Untuk itu, menindaklanjuti keberadaan satwa di kawasan, harus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk perusahaan sawit.

Tak hanya itu, BKSDA mengaku tak mempunyai dana untuk sosialisasi dan edukasi ke daerah Pancabakti. “Dana ada namun terbatas, dalam satu tahun, empat sampai lima kali sosialisasi tapi bukan hanya kota.” Siti menyadari banyak sekali permasalahan hutan di Kalbar. Namun, sumber dana hanya mengandalkan APBN. “Tidak ada dana bantuan dari manapun.” Pemberitaan media lokalpun dijadikan informasi awal, karena keterbatasan personel. Personel BKSDA 13 orang, hingga kesulitan memantau. Dia berencana mendekati pengusaha sawit agar tak membuka lahan di area yang terindikasi ada satwa liar dan orangutan.

Kampanye dan Sosialisasi

Hermayani Putera, Manajer WWF–Indonesia untuk Program Kalbar, mengatakan, satu sisi harus disadari kapasitas penyidik BKSDA harus ditingkatkan. Hingga bisa mengikuti seluruh tahapan dan prosedur dalam proses hukum terkait kasus tumbuhan dan satwa liar (TSL) dilindungi. “Sisi lain, kita menyayangkan mengapa aparat penegak hukum yang lain kurang memiliki sensitivitas dan keberpihakan terhadap upaya penegakan hukum terhadap berbagai bentuk TSL seperti kasus orangutan ini.”

Mengenai keberadaan orangutan di dekat kota itu, seharusnya, instansi terkait segera mengidentifikasi masalah.  Dalam peraturan, sangat jelas, habitat dan populasi satwa dilindungi seperti orangutan yang ada di luar kawasan konservasi dan lindung, tetap harus dilindungi. “Jadi, kalaupun suatu lokasi untuk pembangunan, misal sawit atau HPH atau HTI atau tambang, dalam proses Amdal harus bisa teridentifikasi sebagai kawasan bernilai konservasi tinggi.” “Jadi harus diintegrasikan dalam manajemen usaha yang bersangkutan.”

Dia mencontohkan,  HPH Suka Jaya Makmur (SJM) Kab Ketapang, WWF bekerjasama dengan unit manajemen SJM melindungi habitat dan populasi orangutan di dalam konsesi melalui berbagai kegiatan identifikasi lokasi habitat dan populasi OU, penyadartahuan, serta survei dan monitoring rutin. Peran LSM seperti WWF lebih bersifat asistensi teknis dan capacity building. Selebihnya, harus menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah dan unit manajemen usaha.

“Jadi saya tekankan, kalau LSM seperti WWF sering menyuarakan hal-hal seperti ini, bukan untuk kepentingan dan agenda WWF, melainkan bentuk kontrol dari masyarakat sipil terhadap komitmen dan tanggung jawab pemerintah,” ujar dia. Terlebih dalam kaitan dengan orangutan, yang memiliki fungsi sebagai indikator kesehatan ekosistem. Ia sebagai penyebar biji-bijian dari buah-buahan yang mereka makan agar tetap menjaga proses suksesi vegetasi di kawasan-kawasan habitat mereka.

Pertengahan Desember lalu, WWF bersama Balai KSDA dan beberapa LSM pemerhati orangutan melakukan serangkaian sosialisasi dan kampanye kesadartahuan masyarakat terhadap di beberapa wilayah di Peniraman dan Wajok. “Ini bentuk tanggungjawab dan kepedulian pemerintah dibantu LSM bersama masyarakat dalam penyelamatan dan pelestarian orangutan.”

Orangutan setelah berhasil dievakuasi dari kebun sawit di Kalimantan Barat. Foto: YIARI

Di Kabupaten Ketapang, Yayasan Palung, Yayasan IAR, Flora Fauna Intenational (FFI) dan BKSDA, November lalu, mengadakan Pekan Peduli Orangutan. Kegiatan ini untuk mengedukasi masyarakat bahwa satwa ini nyaris punah di muka bumi.

Kegiatan lewat pendekatan keakraban dengan masyarakat Ketapang, terutama siswa-siswa. Lomba sepeda santai dan senam, diikuti banyak warga. Setiap pengambilan doorprize, peserta dibacakan catatan tentang orangutan dan panitia akan memberikan pertanyaan dari sebuah catatan itu.

Petrus Kanisius, Humas Yayasan Palung mengatakan, pada beberapa sekolah dampingan dari Yayasan Palung, seperti Organisasi Sispala diarahkan untuk mengkampanyekan sepeda hias sesuai kemampuan berkreasi. “Ini untuk melihat kepekaan dan kepedulian mereka terhadap alam terutama konservasi pelestarian orangutan. Hutan, orangutan dan manusia merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Mudah-mudahan, bersama bisa melawan kepunahan orangutan.”

Berdasarkan data monitoring Yayasan Palung dan Yayasan IAR, pada Januari-November 2012 terutama di pesisir Kalbar, teridentifikasi 10 kasus pemeliharaan orangutan di pemukiman masyarakat. Khusus di Ketapang,  pada 2012, ada 17 orangutan diselamatkan baik dari tangan masyarakat maupun kawasan perusahaan.

Heapy Hendrawan, pegiat lingkungan, mantan manager Program Fauna Flora International di Ketapang, menyatakan, perlu pendekatan berbagai sudut untuk menumbuhkan kesadartahuan masyarakat demi menciptakan hubungan harmoni antara manusia dan orangutan. Terbatasnya, informasi pada masyarakat awam menjadi kendala dalam pelestarian orangutan.

Sistem nilai dalam komunitas masyarakat, katanya, lebih banyak terkait filosofi hubungan antara manusia dengan alam sekitar.  Jadi, perlu sinergisitas antara pandangan pelestarian dalam sisi agama, adat dan hukum. “Pemahaman konservasi harus dari bawah ke atas. Dimulai dari pandangan masyarakat hingga bisa diadaptasi menjadi hukum di tingkat pengambil kebijakan.”

Kearifan Lokal

Akon, Sekretaris Dewan Aman Wilayah Utara, warga Benaun, Balai Bekuak, mengungkapkan, masyarakat menetapkan suatu wilayah ‘keramat’ atau adat di tempat-tempat orangutan berada.

Di Kecamatan Simpang Hulu seluas 3.174 km, sebelum tahun 1960 merupakan kawasan dikelola lestari oleh adat. Kearipan lokal tergambar pada kebiasaan hidup sehari-hari dalam mengelola sumberdaya alam. “Masyakarat mengonsumsi daging buruan, dan berladang secara daur ulang serta membiarkan hutan-hutan tertentu tidak boleh dijadikan ladang. Di bagian lain, untuk menanam pohon karet dan pohon buah-buahan,” katanya.

Saat itu, setiap kampung dianjurkan membuat hutan lindung masing-masing. Ada juga inisiatif mendirikan tonah colap, dan inventarisasi partisipasif.  Tonah Colap Torunt Pusaka adalah hutan lindung versi masyarakat adat.

Masyarakat juga mendirikan kawasan pabantatn (keramat). Kawasan itu tak boleh dikelola, apalagi menebang kayu. Ia hanya dibiarkan apa adanya. “Jika melanggar tonah colap, akan terkena adat cucuk panggang atau adat menadai jala alias menjemurkan jala,” ucap Akon.

Jika terjadi pelanggaran, masyarakat harus melakukan ritual, ngubas tonah colap. Artinya, jika pelanggaran oleh individu, tak hanya individu itu yang mendapat sanksi adat, tetapi penguasa setempat. Mereka harus membersihkan segala sesuatu yang telah dibuat. Masyarakat di sana, secara sederhana juga menginventarisasi sendiri. Mereka mengindentifikasi pohon, tumbuhan maupun mahluk di dalam hutan.

Secara adat, ada cerita rakyat terkait orangutan di masyarakat Dayak Sandai. Ada dua kisah orangutan.  Pertama, orangutan berasal dari seorang lelaki tua menderita penyakit tak kunjung sembuh. Lelaki itu naik ke pohon tinggi dan menjadi orangutan.

Cerita kedua mengisahkan, sekelompok orang mengambil madu, memakai tabaok (barak api). Akibat percikan bara api, pohon terbakar. Orang yang mengambil madu masih di atas pohon. Tiba-tiba ada orangutan yang menggendong dan membawa mereka ke tanah. Beranjak dari cerita itu, masyarakat Dayak di Sandai tak memakan orangutan. Mereka takut terkena penyakit dan takut mendapat dosa karena berutang budi dengan satwa ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,