Tolak Jual Sawit ke Perusahaan, Pengungsi Suku Anak Dalam Terancam Pidana

Dua lelaki paruh baya melepas baju hingga bertelanjang dada bersama seorang perempuan meliuk-liuk mengikuti irama rebana. Baju yang mereka lepas dilambai-lambaikan. Dua lelaki lainnya, tanpa melepas baju memegangi pinggang mereka, mengikuti tarian. Mereka berlima sedang menarikan Besale –tarian adat Suku Batin Sembilan- atau yang disebut Suku Anak Dalam.

Tarian Besale itu merupakan pembuka aksi demonstrasi sekitar 1.600 massa gabungan dari Suku Anak Dalam (SAD) dan petani Sarolangun, Jambi yang tiba pada jam 11.30. Mereka menamakan Sekretariat Bersama Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945 (Sekber-GNP 33). Demonstrasi itu tepat pada peringatan ulang tahun Provinsi Jambi yang ke-57 tahun. Perayaan ini selalu jatuh setiap tanggal 6 Januari.

Para demonstran hanya bisa berorasi di depan Komplek Perkantoran Gubernur Jambi. Ratusan aparat keamanan berjaga-jaga tidak mengizinkan para demonstran mendekati Kantor Gubernur Jambi karena sedang digelar paripurna istimewa peringatan HUT Provinsi Jambi yang ke-57 tahun. “Provinsi Jambi hari ini ulang tahun, tapi ironisnya masih banyak persoalan konflik tanah yang belum terselesaikan,” ujar koordinator aksi, Nurlela dalam orasinya.

Foto: Jogi Sirait
Permintaan warga agar wilayah mereka tidak kembali digusur ditolak Polda Jambi. Foto: Jogi Sirait

Lima hal yang dituntut para pengunjuk rasa adalah pencabutan izin HGU PT Asiatic Persada atau kembalikan enclave tanah adat SAD, Kementerian Kehutanan harus memberikan akses hutan tanaman rakyat untuk SAD. Selain itu, menolak solusi kemitraan yang diusulkan PT Asiatic Persada. Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan, keselamatan dan keamanan SAD. Terakhir, Tim Terpadu Pemerintah Kabupaten Batanghari harus menghormati penyelesaian konflik oleh BPN RI.

Seperti diberitakan, pada 7 hingga 14 Desember 2013 lalu telah terjadi tindakan penggusuran terhadap SAD yang dilakukan oleh PT Asiatic Persada. Tercatat, 296 rumah yang telah digusur sekaligus dijarah. Di Dusun Padang Salak ada 31 rumah, Dusun Terawang 6 rumah, Pinang Tinggi 109 dan diperkirakan 150 rumah hancur dari total 600 rumah di Dusun Tanah Menang. Keempat Dusun ini berada di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi.

Sudah hampir sebulan para pengunjuk rasa ini menginap di Jambi. Sempat menginap di Pendopo Kantor Gubernur Jambi lantas berpindah ke Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Beberapa kali mediasi yang digelar tidak menemukan kesepakatan yang diinginkan warga SAD.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tertanggal 16 Desember 2013 telah menyurati Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Hendarman Supandji yang isinya mendesak menindaklanjuti rekomendasi BPN Provinsi Jambi untuk meninjau kembali HGU PT Asiatic Persada. “Kami meminta saudara untuk meninjau ulang Hak Guna Usaha atas nama PT Asiatic Persada, guna tercapainya penyelesaian masalah suku Anak Dalam,” demikian tulis Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachriadi.

Kumpulan massa di depan Kantor Gubernur Jambi. Foto: Jogi Sirait
Kumpulan massa di depan Kantor Gubernur Jambi. Foto: Jogi Sirait

Pada jam 12.00, massa kemudian melakukan long march sepanjang 7 kilometer menuju Polda Jambi. Para pendamping seperti Cecep Sunarya, Feri Irawan, Tajri Dannur, Bambang, dan lain-lain ikut berjalan kaki selama tiga jam.

Perwakilan pengunjuk rasa diterima Direktur Intelkam, Kombes Supriadi Djalal dan Direktur Reskrimsus, Kombes Irawan Davidsyah. Para pengunjuk rasa meminta agar Polda Jambi memberikan pernyataan tertulis sebagai jaminan keamanan warga SAD agar tidak digusur jika kembali ke rumah tinggal mereka. Selain itu mereka juga meminta 11 warga SAD yang ditahan atas tuduhan pencurian tandan buah segar sawit segera dibebaskan.

Permintaan ini ditolak Polda Jambi. “Silakan ajukan permohonan penangguhan penahanan. Mungkin akan kami pertimbangkan. Kami tidak mau diintervensi begini. Soal jaminan keamanan, saya sendiri yang akan bicara dalam pertemuan dengan Tim Terpadu, besok (maksudnya hari ini 7 Januari 2014),” kata Supriadi. Mediasi direncanakan kembali digelar di Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Jambi pada 7 Januari 2014.

Massa dibubarkan pada jam 18.00. Mereka kembali menginap di Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.

Ditangkap Karena Tak Menjual Sawit ke Perusahaan

Kabid Humas Polda Jambi, AKBP Almansyah membantah pemberitaan yang menyebutkan bahwa 11 orang yang ditahan terkait pencurian tandan buah segar sawit di perkebunan PT Asiatic Persada. Menurut Almansyah, sejak 4 Januari 2014, pihak Polda hanya menahan lima orang. Mereka adalah Seman bin Holidi, Mus bin Holidi, Febriansyah bin Agus Wijaya, A. Rohman bin Kamang, dan Lit Sabli bin Yunus. Mereka dijerat dengan pasal 363 KUHP dan atau 480 KUHP.

Pada 3 Januari 2014, sekuriti PT Asiatic menangkap mereka di lahan HGU PT Asiatic Persada, Kebun II Afdeling 6 Blok 314 B, desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Awalnya Asisten Lapangan PT Asiatic, Fajar Firmansyah Kaban menyerahkan tujuh orang ke Polda Jambi, namun dua orang di antaranya dilepas karena dinilai tidak terlibat.

Bait bin Abbas 80 tahun. Foto: Jogi Sirait
Bait bin Abbas 80 tahun.  Kini terpaksa menetap di pengungsian, setelah rumahnya hancur. Foto: Jogi Sirait

Menurut Almansyah barang bukti yang ditemukan adalah 11 ton sawit berikut 1 unit truk counter warna kuning tanpa plat, 1 unit carry pick-up BH 8523 XX dan 1 unit strada trithon warna hitam tanpa plat. Namun barang bukti tersebut, kata Almansyah dititipkan di kantor PT Asiatic Persada.

Pengakuan Lit Sabli kepada Mongabay-Indonesia, jumlah yang ditahan totalnya sebanyak 11 orang. Pada 27 Desember 2013, ada lima orang yang ditangkap yakni Dwi Sumarno, Joko, Man, Sujarwo, dan Gunadi. Seorang lagi, Muhardi Sukaryanto yang berusaha mengurus proses penangguhan penahanan ternyata ikut ditahan pada 2 Januari 2014 sehingga total jumlah mereka 11 orang.

“Kami ditangkap karena tidak menjual sawit ke perusahaan. Padahal, kebun itu sudah diserahkan ke kami, dan tidak ada klausul perjanjian yang mewajibkan kami menjual hasil panen ke PT Asiatic. Mau kami jual kemano, itu urusan kami,” ujar Lit Sabli.

Sabli juga bercerita pihak sekuriti perusahaan sempat mengikat kaki dan tangan mereka. “Ini peradilan sesat. Pihak Polda hanya menerima informasi sepihak. Tidak memahami persoalan ini secara utuh. Tengoklah, begitu kami bebas, kami akan visum dan praperadilankan polisi,” katanya.

Kelompok Sabli adalah bagian dari Kelompok SAD pimpinan Muhammad Zen. Zen adalah mantan Kepala Desa Bungku yang kini mencalonkan diri menjadi anggota legislatif DPRD Kabupaten Batanghari dari PAN untuk daerah pemilihan Bajubang.

Menurut Sabli, mereka memanen di lahan 1.000 hektare yang telah diserahkan pihak perusahaan pada 27 Desember 2013 hasil verifikasi Lembaga Adat Batanghari. “Kami merasa dijebak. Lahan sudah diserahkan ke kami tapi ketika kami panen justru ditangkap,”  ujar Sabli mengeluh.

Keluarga Bait bin Abbas mendirikan terpal menumpang di kebun Kepala Dusun, Gunardi. Foto: Jogi Sirait
Keluarga Bait bin Abbas mendirikan terpal menumpang di kebun Kepala Dusun, Gunardi. Foto: Jogi Sirait

Menyusuri Lokasi Penggusuran

Pada sabtu pagi, 4 Januari 2014, Mongabay-Indonesia bersama lima orang Tim Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang dipimpin Agus Susanto meninjau lokasi penggusuran yang berada di Dusun Tanah Menang, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari.

Sepanjang jalan, di kedua sisi, terpampang lautan pohon kelapa sawit. Di sela-selanya puing-puing rumah sederhana –awalnya terbuat dari terpal biru beratap rumbia dan ada pula dinding papan beratap seng. Lengang. Sebagian besar pohon sawit itu belum dipanen. Buahnya masih bergelantungan di pohon.

“Setelah penggusuran, tak ada yang berani memanen. Pihak perusahaan maupun masyarakat. Dibiarkan saja membusuk di pohon,” kata Putra Aswansyah, 27 tahun yang akrab disapa Pono. Pono adalah anak Herman Dunting. Dia menemani kami menyusuri lokasi tersebut.

Pono bercerita, dia sendiri tak berani melewati lokasi penggusuran jika sendirian. Pono masih trauma. Setiap hari, anggota Brimob atau TNI selalu berpatroli. Kadang mengendari mobil, kadang mengendarai sepeda motor.

Anehnya, di sepanjang Dusun Tanah Menang itu terdapat 11 rumah berdinding kayu berlantai tanah yang masih kokoh berdiri. Rumah-rumah ini tak digusur. Menurut salah satu pemilik rumah, Nurma, 50 tahun, mereka memang mendapat jaminan dari PT Asiatic tidak terkenan penggusuran.

Sulit sekali berbicara dengan Nurma. Berkali-kali dia tak menjawab secara mendetil pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan kenapa tidak . “Entahlah jugo kenapo kami dak digusur. Yang pasti kami diminta untuk tidak ikut-ikutan demo,” kata Nurma menirukan pesan pihak perusahaan.

Nurma cerita pada tahun 2011, kedua anaknya pernah ditahan karena dituduh memanen sawit perusahaan secara ilegal. Namun hanya ditahan dua hari dua malam. Setelah dilepas, dia diperbolehkan tinggal di sana. “Kalau memang kami digusur kami siap. Ini tanah nenek moyang kami. Kami siap mati di sini,” katanya.

Sementara itu, rumah kedua anaknya Ribut dan Sukri justru ikut digusur. Praktis, setelah penggusuran tersebut, mereka tak diperkenankan lagi oleh perusahaan untuk memanen kebun sawit. “Harapan aku, tanah aku kembali lagi. Hak milikku kembali lagi. Kami akan tetap berada di sini, kami tak bisa pindah ke tempat lain,” kata Nurma.

Di ujung Dusun Johor Baru I perbatasan Desa Bungku kami menemukan sekitar 11 terpal biru. Ini merupakan kebun milik Kepala Dusun, Gunardi. Hampir sebulan 11 kepala keluarga di sana sudah tinggal menumpang. “Kami diperbolehkan tinggal di sini hingga 10 hari mendatang. Setelah itu kami tak tahu ke mana lagi,” kata kepala rombongan Bait bin Abbas, yang diperkirakan berusia 80-an tahun.

Bait mengaku tinggal di Desa Bungku sejak tahun 1955 silam. Dia berasal dari Sumatera Selatan. Awalnya menikahi Dahuna binti Tampit. Setelah Dahuna wafat, Bait menikah lagi dengan Sahayu binti Rambut. Kedua istrinya adalah orang Suku Anak Dalam asli. “Selama hampir sebulan di sini tak ada pihak pemerintah yang mengunjungi kami,” katanya kepada Mongabay Indonesia dengan napas terengah-engah.

Di “lokasi pengungsian” ini Bait tinggal bersama anak, menantu, dan cucu-cucunya. Sebelum tergusur, Bait mengaku memiliki 11 hektare kebun sawit. “Ayam saya sekitar setengah kuintal habis dijarah para penggusur. Kami berharap paling tidak kami diberi lahan, sekadar buat menegakkan gubuk kami,” kata Bait.

Salah seorang cucu Bait, Dedy, mengaku bahwa saat penggusuran seluruh anggota Tim Terpadu turun ke lokasi. Sebagian besar nongkrong di warung Bu Sri yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari “lokasi pengungsian” mereka itu. “Kapolres juga datang. Mereka berjaga-jaga jika ada bentrokan antara para penggusur dengan warga SAD,” kata Dedy kepada Mongabay Indonesia.

Peta lahan milik masyarakat. Silakan klik untuk memperbesar peta.
Peta lahan milik masyarakat. Silakan klik untuk memperbesar peta.

Konflik Panjang dengan Ratusan Kali Mediasi

Konflik suku tersebut terbilang paling lama, sejak 1986 silam. Sebelum bersengketa dengan PT Asiatic, nama perusahaan yang memperoleh hak guna usaha (HGU) itu adalah PT Bangun Desa Utama (BDU) milik keluarga Andi Senangsyah. Luas area yang dimiliki mencapai 20.000 hektare.  Pergantian kepemilikan saham dilakukan pada 2000, dari perusahaan Inggris hingga dimiliki Grup Wilmar International pada akhir 2006.

Warga SAD sendiri terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok. Menurut Sahnan, pimpinan Kelompok SAD Bungku setidaknya ada 9 kelompok yaitu Nurdin, Bukit 12, Ali alatas, Acil, Alam Kunci, Alam Jeli, Srimanis, Sahnan, Kelompok SAD 113 pimpinan Abbas Subuk.

Sahnan mengaku kelompoknya beranggotakan 97 kepala keluarga. Setelah diverifikasi Lembaga Adat Batanghari dan disumpah di atas kitab suci Alquran, pada 27 Desember 2013 lalu, mereka diberikan masing-masing lahan seluas 2 hektare. “Kami diberikan di daerah Mentilingan. Namun karena belum ada hitam di atas putih, kami belum berani memanen kebun yang diserahkan itu,” katanya kepada Mongabay Indonesia.

Kelompok SAD 113 pimpinan Abbas Subuk adalah kelompok yang anggotanya paling banyak. Nama kelompok itu berasal dari jumlah para perunding dari suku tersebut pada akhir 2003, dan meliputi tiga dusun: Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang.

Pada tahun 2003- lokasi yang akan diserahkan PT Asiatic kepada warga Bathin Sembilan berada di dua lokasi (diarsir warna hijau) Dokumen SETARA
Pada tahun 2003- lokasi yang akan diserahkan PT Asiatic kepada warga Bathin Sembilan berada di dua lokasi (diarsir warna hijau) Dokumen SETARA

Kebanyakan mereka tinggal di bagian utara dalam konsesi PT Asiatic. Perjalanan SAD 113 hingga kini, sama sekali tak mudah. Perundingan mungkin sudah ratusan kali dilakukan, setidaknya sejak 2001.

Serikat Tani Nasional (STN) mulai mendampingi SAD 113 sejak awal 2007. Organisasi itu mengirimkan suratnya ke BPN di Jakarta agar mengevaluasi kembali izin HGU milik PT Asiatic. Saat itu kepemilikan saham telah dikuasai oleh Grup Wilmar. Permintaan STN juga dalam rangka penyelesaian konflik antara SAD 113 dengan pihak perusahaan. Di antaranya, tuntutan soal pengembalian lahan ulayat mereka.

BPN pun menurunkan tim penelitinya selama seminggu pada Juli 2007. Hasilnya bukti-bukti berupa kuburan, tunggul pemeras, sesap jerami serta tanaman tua macam durian ditemukan.

Masalah lain muncul. Kelompok SAD Sungai Beruang, yang tinggal di wilayah selatan area HGU, juga mengalami kekerasan. Dari penggusuran hingga penembakan. Alasan perusahaan, karena terjadi pencurian besar maupun penjualan buah sawit—baik buah segar atau tandan— milik PT Asiatic Persada.

Laporan penyelidikan Forest Peoples Programme (FPP) bertajuk Human Rights Abuses and Land Conflict in the PT Asiatic Persada Concession in Jambi pada November 2011, menemukan perusakan itu berlangsung selama tiga hari, yakni 9—11 Agustus 2011.

Di sisi lain, pemberian izin HGU justru membatasi mata pencarian suku Anak Dalam. Pencurian buah sawit, demikian laporan tersebut, adalah strategi bertahan hidup warga yang tak memiliki ruang lagi.

Namun, lahan untuk kemitraan pun sebenarnya bermasalah. Temuan penyelidikan FPP memaparkan izin PT Jammer, yang diperoleh pada 2001 hanyalah izin lokasi, telah habis pada Mei 2005. Pemerintah lokal juga tak memperpanjang izin tersebut.

Sedangkan PT Maju Perkasa, sebenarnya hanya mendapatkan surat rekomendasi Gubernur pada Desember 1991. Perusahaan itu tak pernah mendapatkan izin HGU. Laporan itu menyebutkan bahwa dua perusahaan itu seperti melampaui hukum. Izin PT Jammer memang habis, tetapi perusahaan masih membuka lahan dan melakukan penanaman.

Pada 2012, akhirnya Pemerintah Jambi dan BPN bersepakat untuk menyelesaikan masalah.  Kesepakatan itu di antaranya pemerintah meminta PT Asiatic untuk melakukan pemetaan ulang berdasarkan peta mikro 1987 dari Departemen Kehutanan.

Peta resmi yang dimaksud adalah peta yang menyatakan bahwa terdapat area perkampungan seluas 50 ha, peladangan 2.100 ha, serta belukar 1.400 ha dalam area konsesi PT Bangun Desa Utama, perusahaan kelapa sawit milik Andi Senangsyah, saat itu. Inilah yang dijadikan Abas Subuk dan kelompok SAD 113 sebagai dasar untuk memperoleh lahan adat kembali.

Pihak PT Asiatic Persada meneken hasil mediasi Komnas HAM, di Jakarta. Intinya serupa: semua pihak setuju untuk mengukur ulang lahan seluas 3.550 hektar seperti yang dituangkan dalam surat Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Departemen Kehutanan pada 1987. Namun PT Asiatic tak bergeming. Rekomendasi tersebut diabaikan begitu saja.

Kini pasca penggusuran Desember 2013 itu yang pasti warga SAD telah terpencar-pencar. Sebagian memilih berdemo ke Jambi. Sebagian mengadu ke Komnas HAM. Sebagian lagi menumpang ke rumah keluarga, dan sebagian lagi entah ke mana. Entah sampai kapan kondisi ini berakhir.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,