,

RFS, Standar Kredit Karbon Terpadu Mulai Diperkenalkan di Indonesia

Standar kredit karbon hutan terpadu, The Rain Forest Standard (RFS), mulai diperkenalkan di Indonesia. Model ini memadukan penilaian aspek kesejahteraan sosial, lingkungan dan ekonomi. Ia dinilai pas dipakai sebagai guideline dalam proyek-proyek REDD+ di Indonesia.

Tak hanya itu, upaya melibatkan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam proyek karbon, tampaknya sejalan dengan model ini. Salah satu bisa terlihat dari standar ini mengakui pemegang hak atau pemilik lahan yang tak bersertifikat tetapi sudah turun menurun berada lokasi itu.

“Mereka (pemilik de facto) harus masuk sebagai pemegang hak kala pemetaan dan identifikasi pemegang hak,” kata Lydia Napitupulu, Pengajar sekaligus Peneliti dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, di Jakarta, 3 Januari 2014.

Dia mengatakan, RFS mengenal dua hak, de facto dan de jure. Jadi, pemegang hak de facto bisa diakui meskipun tak memiliki sertifikat, dan tak membayar PBB tetapi mereka sudah turun menurun di sana.

Sebelum perjanjian dengan pemegang hak dilakukan, tahap awal pemetaan lokasi. “Lokasi harus clear, ada di mana, dan tak berkonflik. Yang bawa proyekpun harus clear, bisa perusahaan, lembaga, dan lain-lain.”

Dia menyadari, di Indonesia, begitu banyak konflik lahan terjadi, baik antara warga vs perusahaan, warga vs pemerintah, sampai tumpang tindih perusahaan satu dengan yang lain. Namun, Lydia yakin, banyak lokasi-lokasi ‘bersih’ masalah, termasuk di wilayah-wilayah masyarakat adat, hingga bisa menerapkan model ini.

Setelah pemetaan, baru identifikasi pemegang hak. Setelah para pihak diindentifikasi baru pemetaan luasan areal, dan jenis tanaman. “Juga identifikasi karbon kredit yang bisa didapatkan agar penyedia mudah memperkirakan besaran karbon kredit. Lalu sepakat bikin perjanjian.”

Tahap berikutnya, kata Lydia, estimasi keuntungan apa yang diperoleh penyedia maupun pembeli. “Ini dua arah. Yang harus eksplisit adalah apa saja keuntungan right holder. Dalam RFS ini, manfaat tak hanya dalam bentuk uang, bisa juga peningkatan kesejahteraan.”

Kesejahteraan yang dimaksud, katanya, misal, dalam jangka waktu tertentu, tingkat pendidikan anak-anak pada masyarakat pemegang hak, meningkat. Berbagai estimasi keuntungan kedua pihak diatur detil dalam perjanjian karbon kredit ini. Termasuk berapa lama masa perjanjian.

Meskipun memperhitungkan keuntungan dari kredit karbon ini, kata Lydia, paling bagus inisiatif menjaga alam sudah ada sejak awal. Proyek karbon ini, hanya menjadi nilai tambah dari upaya yang sudah bejalan. “Istilahnya, bukan mengharap hasil utama dari proyek karbon. Proyek karbon hanya sampingan.”

Setelah selesai estimasi keuntungan, barulah menyusun kontrak. Poin-poin detil dibuat, seperti bagaimana karbon kredit masuk dalam sistem perhitungan negara. Intinya, kata Lydia, proyek dengan standar RFS ini akan mengerjakan karbon dengan sertifikat yang bisa diperjualbelikan. “Diatur sedemikian rupa karbon itu akan diperjualnbelikan. Clear, bebas konflik dan lain-lain agar karbon bernilai.”

Di Indonesia, ujar dia, standar ini baru uji coba pertama kali pada satu kawasan ecotourism di Bali, yang akan diresmikan 16 Januari 2014.

Guna memperkenalkan standar ini lebih luas, Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia bekerja sama dengan Center for Environment, Economy and Social, Columbia University mengadakan pelatihan bersertifikat tentang RFS, bertema, “Innovative Financial Mechanism to Conserve Indonesia’s Forests.” Lydia Napitupulu, salah satu pengajar dalam pelatihan ini.

Irma Susilawati Dana dari Pusat Riset Perubahan Iklim UI mengatakan, mereka mengundang pemerintah daerah untuk ikut pelatihan. “Pelatihan sudah berjalan sejak 2013, peserta ada dari pemerintah daerah, maupun lembaga non pemerintah. Akan mulai lagi Maret 2014”

 Ringkasan Model The Rain Forest Standard

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,