Hutan Adat dalam Tumpukan Penguasaan Hutan

Kebijakan kehutanan mendapat sorotan yang kuat dan menimbulkan gugatan dari para pihak dalam tiga tahun terakhir ini. Kontrol Kemenhut yang sangat luas atas wilayah yang diberi nama “kawasan hutan” dengan sendirinnya menjadi pusat perhatian banyak pihak.  Dari data Statistik Kehutanan 2012 yang dikeluarkan Dirjen Planologi Kemenhut pada Oktober 2013, kawasan hutan di daratan dan perairan seluas 133.424.121,33.  Seluas 128.225.146,02 kawasan hutan di daratan dan sekitar 5 juta lebih berupa perairan (Kemenhut 2013).

Selama ini Kementerian Kehutanan telah mengklaim sebagai “penguasa” atas kawasan hutan, walaupun hanya baru 10% yang sudah dikukuhkan sebagai hutan tetap.  Hal inilah yang mengundang gugatan atas UU Kehutanan 41/1999 terkait pasal-pasal kawasan hutan dan hutan adat. Dua kali judicial review diajukan ke Mahkamah Konstitutsi untuk melakukan koreksi terhadap UU ini.

Jauh sebelum terjadinya koreksi terhadap UU Kehutanan, memang telah terjadi penguatan pengurusan sektor-sektor kekayaan alam Indonesia melalui berbagai peraturan dan perundangan sektoral.   Hal ini telah melemahkan pengurusan dasar kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria.  Salah urus sektor kehutanan melalui manipulasi perundangan kehutanan serta perburuan rente ekonomi menjadi karakter kunci sektor kehutanan di Indonesia.  Sektor-sektor ekonomi yang lain tidak kalah hebatnya memanfaatkan setiap jengkal tanah dan kekayaan alam di dalamnya.

Sektor perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur telah mendeliniasi tanah, air dan ruang hidup masyarakat dalam bentuk corak penguasaan ruang dalam bentuk perizinan yang sering juga bertumpuk satu sama lain. Setiap tapak yang bernilai ekonomi melahirkan rezim perizinan yang belakangan menimbulkan jejak bencana ekologis dan konflik agraria.

Mari kita perhatikan situasi tenurial di wilayah komunitas adat Lusan yang berada di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur terkait perizinan dan penguasaan ruang.  Hasil dari pemetaan partisipatif wilayah adat Lusan luasnya 53.542,37 ha. Wilayah adat ini sebagian besar adalah kawasan hutan yaitu 50.597,09  ha, hanya ada 2.945,28 ha bukan kawasan hutan atau sering disebut dengan areal penggunaan lain (APL).  Selain itu, di wilayah adat Lusat ini ada 11 izin yang beroperasi di wilayah adat itu dengan total luas izin sekitar 57.080,64 ha (Lihat tabel 1 dan 2).

Luas Ijin Lusan

Dengan demikian maka terjadi tumpang tindih perizinan sekitar 3.538,27 ha. Pertanyaannya dimanakah orang-orang itu berdiri, bercocok tanam, dan menjalankan relasi sosial dan budayanya di tanah yang sudah di kapling-kapling tersebut? Tidak ada lagi kedaulatan komunitas adat Lusan di atas tanah dan hutan adatnya.

Wilayah Adat Lusan

Koreksi atas salah urus kehutanan Indonesia telah dilakukan melalui putusan pengadilan Mahkamah Konstitusi (MK). Pertama, terkait pengukuhan kawasan hutan. Pada tanggal 21 Februari 2012 dibacakan Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 yang mengubah Pasal 1 angka 3 UU No 41/1999.  Putusan ini mengubah rumusan sebelumnya yang menyamakan begitu saja antara penunjukan dan penetapan yang disebut dalam Pasal 15 UU No 41/1999 (Steni, B. 2013:3-4).

Menurut pendapat MK, penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter.

Selanjutnya, tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan (Mahkamah Konstitusi, 2012). Untuk menjadikan hutan tetap maka tahapannya harus dilakukan melalui penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.

Sejak tanggal 21 Februari 2012, Kawasan Hutan yang mencakup sekitar 130,7 juta ha (68,4%) dari keseluruhan daratan Indonesia, namun hanya 14,2 juta ha yang telah ditetapkan secara formal (Wells,P dkk. 2012:5). Dengan menguasai tanah dan hutan seluas itu tanpa melibatkan berbagai pemangku kepentingan diantaranya masyarakat adat yang telah berada sebelum penunjukan kawasan hutan, maka sungguh-sungguh terjadinya praktik pemerintahan yang otoriter dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

Sejalan dengan Putusan MK45 ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan di Direktorat Jenderal Planologi pada tahun 2010. Ada tiga permasalahan yang ditemukan dari kajian ini; 1) disharmonisasi kebijakan dan regulasi antar sektor, 2) pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang belum optimal, 3) belum adanya mekanisme penyelesaian konflik kawasan hutan yang memberikan keadilan bagi seluruh pihak.  Inilah yang mendorong inisiasi KPK perlu adanya Nota Kesepahaman Bersama Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan yang ditandatangani oleh 12 Kementerian dan Lembaga (NKB 12 K/L) pada tanggal 12 Maret 2013 di Jakarta.

Salah satu rencana aksi pada Lampiran Kedua NKB 12 K/L tersebut adalah Rencana Aksi 10, yaitu menutup celah bagi terjadinya penentuan kawasan hutan yang tidak mengakui hak-hak masyarakat atas tanah dan hutannya. Telah dilakukan revisi Permenhut P.50/Menhut-II/2011 menjadi Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 (KPK, 2013:14). Kemudian direvisi kembali melalui Permenhut No 62/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.

Namun, Permenhut 62/2013 tersebut menguatkan bahwa Kemenhut melakukan belitan dan jerat teknis yang sulit dilaksanakan oleh masyarakat dan para pihak untuk terjadinya pengakuan hak-hak pihak ketiga dalam hal ini hutan adat dalam pengukuhan kawasan hutan. (Steni, B. 2013:5).

Koreksi kedua terhadap UU Kehutanan 41/1999 melalui Putusan MK 35/PUU-X/2012. Hasil judicial review yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua komunitas adat dari Kasepuhan Cisitu dan Kenegerian Kuntu.  Hutan adat yang sebelumnya merupakan hutan negara, melalui keputusan ini berubah menjadi bagian dari hutan hak. Kata negara dihapus dari rumusan Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan. “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. (Arizona,Y. 2013: 2).

Respon kementerian kehutanan terhadap Putusan MK35 ini dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kehutanan No. 1/Menhut II/2013. Salah satu isi dari surat edaran ini, bahwa pengakuan hutan adat harus melalui peraturan daerah. Padahal menurut UU Kehutanan berdasar Putusan MK35, kawasan hutan terdiri dari hutan negara, hutan hak dan hutan adat. Hal ini menjadi tanggung jawab Kemenhut untuk melakukan pengukuhan kawasan hutan tersebut. Jadi Kemenhut harus aktif melakukan langkah-langkah strategis dan teknis untuk menjalankan kewajibannya untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat dengan mengembalikan hutan adat kepada masyarakat adat.

Wilayah adat Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah Bulukumba, tengah membahas perda masyarakat adat demi memberikan kepastian wilayah adat. Pemerintah pun diminta proaktif merealisasikan putusan MK tentang hutan adat dengan melibatkan masyarakat sipil. Foto: Christopel Paino

Kawasan Hutan dan Wilayah Adat

Mari kita lihat situasi tenurial di wilayah-wilayah hasil pemetaan partisipatif untuk menggambarkan kondisi ruang hidup masyarakat adat/lokal. Dominasi kawasan hutan dan perizinan sangat signifikan. Data Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) sampai Desember 2013 ada 5.263.058,28 hektar luas wilayah hasil pemetaan partisipatif. Khusus peta wilayah adat ada sekitar  4.973.711,79 hektar.  Jika data peta wilayah adat tersebut ditumpang susun dengan data peta kawasan hutan, maka ada sekitar 81% atau sekitar 4.050.231,18 hektar kawasan hutan berada di wilayah adat. Artinya hanya tinggal 19% masyarakat adat hidup dan mengelola wilayah adatnya.

Tapi, tunggu dulu. Dalam kebijakan penataan ruang angka 19% ini dikategorikan sebagai areal penggunaan lain (APL) yang menjadi tempat bekerjanya perizinan seperti hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit sekala besar dan HGU lainnya seperti tebu, kakao, karet dan sebagainya. Ada sekitar 48% wilayah adat hasil dibebani izin sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit.

Klik pada gambar untuk memperbesar
Klik pada gambar untuk memperbesar

Peta Wilayah Adat

Dalam salah satu diskusi meja bundar pada tanggal 11 November 2013 yang diselenggarakan oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang juga salah satu pihak yang terlibat mengkoordinasi NKB 12 K/L, JKPP telah mengusulkan kepada forum tersebut untuk menggunakan peta-peta wilayah adat hasil dari pemetaan partisipatif sebagai bukti awal klaim pihak ketiga dalam penyelenggaraan pengukuhan kawasan hutan.

Peta wilayah adat tersebut dapat menjadi salah satu rujukan klaim masyarakat adat meskipun belum ada peraturan daerah yang mengatur tentang pengakuan masyarakat adat seperti dalam surat edaran Menteri Kehutanan terkait dengan hutan adat. Tapi Permenhut 62/2013 justru isinya menambahkan persyaratan tambahan bukti tertulis maupun bukti fisik yang menyulitkan masyarakat adat dan pemerintah daerah dalam mewujudkan pengakuan keberadaan hutan adat (Steni, B. 2013: 5).

Dalam proses pengukuhan kawasan hutan (hutan negara, hutan hak, hutan adat), maupun mengurai kekusutan tumpang tindih perizinan dan penguasaan diperlukan sistem informasi spasial dengan menggunakan standar, referensi, database dan portal yang yang sama. Ini yang menjadi tanggung jawab semua kementerian dan lembaga di bawah koordinasi Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama UKP4 membangun kebijakan satu peta (one map policy).

Namun, peta-peta partisipatif wilayah adat masih belum bisa masuk gelanggang sistem ini. Perpres No.85/2007 yang mengatur sistem Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) masih menjadi rujukan dalam panduan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) Pemetaan Partisipatif yang dibuat oleh BIG. Dalam perpres ini tidak memungkinkan peta wilayah adat menjadi bagian dalam JDSN, karena pembuat peta atau wali data tidak menjadi bagian dari Simpul Jaringan (Pasal 4-5 Perpres 85/2007).

Sementara kementerian dan lembaga yang menjadi Simpul Jaringan tidak memiliki data peta-peta wilayah adat. Sudah waktunya Perpres 85/2007 ini dicabut dan diganti dengan menjalankan mandat UU Informasi Geospasial No.4/2011. Menurut UU ini Pasal 23 angka 1, masyarakat mempunyai hak membuat informasi geospasial tematik (peta tematik). Dengan demikian peta partisipatif wilayah adat adalah menjadi peta tematik dan menjadi bagian penting dalam JDSN untuk dijadikan salah satu referensi mengurus hutan di Indonesia.

Di tengah simpang siur bagaimana merumuskan pengakuan hutan adat yang terlihat tidak ada kemajuan yang berarti di Kementerian Kehutanan, nun jauh di bagian utara Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Malinau telah ada Perda No.10/2012 yang mengatur pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya. Perda atas inisiatif DPRD Malinau ini dalam perumusan substansinya melibatkan AMAN dan Komnas HAM.  Ada sekitar 4 juta hektar wilayah adat yang sudah dipetakan oleh masyarakat adat di Malinau atas dukungan WWF Indonesia sejak tahun 1992.

Saat ini, masyarakat adat di Malinau sedang menyiapkan perbaruan data peta-peta tersebut untuk disampaikan kepada lembaga yang sedang dipersiapkan untuk mengurus masyarakat adat di Malinau, yaitu Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat.  Informasi langsung yang penulis terima dari Ketua DPRD Malinau dalam training pemetaan partisipatif di Malinau bulan November 2013, bahwa Pemkab Malinau sudah mengalokasikan anggaran dalam APBD 2014 sekitar 3 milyar untuk penguatan kelembagaan dan pemetaan wilayah adat.

Semoga ini menjadi harapan baru bagi pemulihan hak-hak masyarakat adat atas tanah, air dan hutan yang terus bergulir di tahun 2014.

* Kasmita Widodo, Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif.  Artikel ini merupakan opini dari penulis

Rujukan

Arizona, Y. (2013) “Hutan Adat Bukan Lagi Hutan: Membumikan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dalam konteks pembaruan hukum daerah”. Makalah disampaikan dalam Workshop Pengakuan dan Penguatan Pengelolaan Hutan Adat dan Kawasan Konservasi oleh Masyarakat Adat (ICCAs): Pengalaman dan Ruang Kebijakan. Diselenggarakan oleh Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dan FoMMA, Malinau, 24-26 September 2013.

Kemenhut (2013) “Statistik Bidang Planologi Kehutanan Tahun 2012” diakses dari http://www.dephut.go.id/uploads/files/fce8f1ea40c84bf2a4f4b5d8ef9f347a.pdf pada 4 Januari 2014.

Komisi Pemberantasan Korupsi (2013) “Nota Kesepahaman Bersama Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan” diakses dari http://acch.kpk.go.id/documents/10157/34337/Lampiran+2+-+Nota+Kesepakatan+Bersama.pdf pada 2 Januari 2014.

Mahkamah Konstitusi (2012) “Putusan Nomor 45/PUU-X/2011”. Diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_45%20PUU%202011-TELAH%20BACA.pdf pada 2 Januari 2014.

Republik Indonesia (2007). “Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional” diakses dari http://gis.deptan.go.id/uu/perpres-85-2007.pdf pada 2 Januari 2014.

Steni, B. dan Arizona, Y. Desember 2013. Analisa Hukum atas Permenhut No 62 Tahun 2013. Tidak diterbitkan.

Wells, Philip dkk (2012). ”Kajian atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 45/PUU-IX/2011 Tentang Kawasan Hutan. Dampak terhadap Hutan, Pembangunan, dan REDD+”.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,