Dianggap Meresahkan, Suku Anak Dalam Dipaksa Hengkang dari Pengungsian

Suasana pertemuan pembahasan tuntutan warga Suku Anak Dalam (SAD) yang digelar pada 8 Januari 2014 mendadak senyap. Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jambi, Syahrasadin yang memimpin pertemuan tiba-tiba menggebrak meja. Mukanya memerah, tatapannya tajam. “Apolagi (apalagi) nak (mau) nunjuk-nunjuk tangan. Kagek (nanti) dulu,” katanya dengan suara keras seraya menatap Abunyani, Ketua Lembaga Adat Batin Sembilan atau yang biasa disebut Suku Anak Dalam (SAD).

Abunyani sempat beberapa kali menunjuk tangan hendak menginterupsi tapi justru dimarahi Syahrasaddin. “Sebaik apolagi (apalagi) orang. Lahan 2.000 hektare itu ambil dulu menjelang penyelesaian lahan seluas 3.550 hektare. Terlepas implementasinya gimana, kita akan bicarakan kembali,” kata Syahrasaddin dengan suara pelan.

Syahrasaddin juga mengatakan memberi waktu 3 x 24 jam bagi warga SAD yang berunjuk rasa untuk segera meninggalkan Kota Jambi. “Selebihnya, kami akan melakukan evakuasi. Ini sudah berlarut-larut. Sudah meresahkan masyarakat Provinsi Jambi dan aparat penegak hukum secara keseluruhan. Kami meminta Pemkab Batanghari untuk menjemput warganya ke sini. Apabila tidak ditaati, kami serahkan kepada aparat TNI Polri untuk mengambil tindakan,” ujarnya.

Tidur beralas lantai menanti kepastian hukum penyelesaian konflik tanah adat mereka. Foto: Perkumpulan Hijau
Tidur beralas lantai menanti kepastian hukum penyelesaian konflik tanah adat mereka. Foto: Perkumpulan Hijau

Dalam pertemuan itu, boleh dibilang Tim Terpadu Kabupaten Batanghari hadir dengan formasi lengkap. Anggota Tim Terpadu yang datang antara lain Kapolres Batanghari AKBP Robert A. Sormin, Ketua Lembaga Adat Batanghari Fathudin Abdi, dari BPN, Dandim, Kehutanan Kabupaten Batanghari. Beberapa orang perwakilan SAD dan para pendamping seperti Agus Pranata, Nurlela, Feri Irawan juga hadir. Namun perwakilan dari PT Asiatic Persada tak ada yang datang.

Pertemuan berjalan dengan alot. Pertemuan yang semestinya bertujuan untuk membahas jalan keluar konflik tersebut justru sempat bersitegang antara Tim Terpadu dengan perwakilan SAD. Ketua Lembaga Adat Batanghari, Fathudin Abdi mengklaim bahwa jumlah SAD yang sudah mereka verifikasi sebanyak 649 kepala keluarga atau 2.409 jiwa untuk 14 kelompok SAD.

Menurutnya, Kelompok 113 sebenarnya sebagian sudah masuk dalam verifikasi keturunan. “Kita sudah verifikasi yang mana SAD asli dan yang mana yang hanya semendo (orang luar yang menikah dengan SAD asli). Syaratnya hanya menyetorkan fotokopi KK, KTP dan surat nikah. Kalau saya mau buka-bukaan di sini banyak yang bukan SAD asli, tetapi kepemilikannya hasil dari membeli dari SAD asli,” kata Fathudin.

Lahan seluas 2.000 hektare yang dimaksud berada di dalam areal seluas 7.252 hektare yang masing-masing dikelola anak perusahaan PT Asiatic Persada yakni PT Jamer Tulen seluas 3.871 hektare dan PT Maju Perkasa Sawit seluas 3.381 hektare. Persisnya berada dalam kawasan Mentilingan. Kedua anak perusahaan itu hanya bermodal izin lokasi dengan Legalitas gabungan/2272/2000 tanggal 16 Desember 2000.

Sementara itu, Agus Pranata dari Serikat Tani Nasional (STN) mengatakan bahwa Lembaga Adat Batanghari telah menyalahgunakan wewenang. Tugas mereka hanya sebatas memverifikasi, bukan sampai memediasi apalagi mengambil kesimpulan untuk proses penyelesaian.

Terhitung sejak 31 Desember 2013, kata Agus, sebagian besar dari 14 kelompok SAD secara resmi telah mencabut kembali mandat yang diberikan kepada Lembaga Adat Batanghari.  Dari 14 kelompok itu yang belum mencabut mandat hanya tersisa dua kelompok, yakni kelompok Sahnan dan Acil.

Agus menambahkan bahwa verifikasi tersebut hanya dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan seluruh warga SAD. “Maunya kita adalah secara bersama-sama mendorong dan berperan aktif dalam memperjuangkan hak tanah ulayat dan melakukan terlaksananya gelar perkara. Hitung-hitungan kami lahan yang berkonflik di atas 10.000 hektare,” ujarnya.

Abunyani menambahkan bahwa surat kesepakatan tertanggal 27 November 2013 itu hanya memberi mandat kepada Lembaga Adat Batanghari sebatas menelusuri silsilah Nenek Empat Puyang Delapan. “Kita hanya memberi kewenangan sebatas itu, tidak berbicara siapa yang berhak mendapat tanah,” kata Abunyani.

Alhasil pertemuan tersebut tidak membuahkan kesepakatan apapun. Malam harinya, ratusan warga SAD pulang ke Kabupaten Batanghari untuk merencanakan strategis aksi selanjutnya.

“Sebagian ada yang akan menumpang di rumah keluarganya dan sisanya akan mendirikan tenda-tenda di tempat pengungsian. Situasi pertemuan tidak kondusif lagi. Tim Terpadu hanya membacakan kesimpulan yang sudah mereka buat tanpa mendengarkan apa yang menjadi tuntutan masyarakat,” kata Agus, Deputi Pendidikan STN kepada Mongabay Indonesia.

Rumah Suku Anak Dalam yang terjepit perkebunan kelapa sawit kini tinggal tersisa puing-puing belaka. Foto: Feri Irawan
Rumah Suku Anak Dalam yang terjepit perkebunan kelapa sawit kini tinggal tersisa puing-puing belaka. Foto: Feri Irawan

Hanya Membuat Konflik Sosial Baru

Menurut Feri Irawan dari Perkumpulan Hijau bahwa Wilmar harus bertanggung jawab atas konflik tersebut karena menjual PT Asiatic Persada ketika proses mediasi dengan SAD masih berlangsung. “Wilmar, Neste Oil, dan Unilever juga mesti bertanggung jawab karena mereka membeli produk-produk dari PT Asiatic,” katanya kepada Mongabay Indonesia.

Catatan Agus dari pertemuan tersebut bahwa pemerintah dinilai telah menyerah kepada perusahaan tanpa mempertimbangkan apa yang menjadi tuntutan masyarakat. Tuntutan masyarakat adalah meminta jaminan keamanan dan rasa aman, dan tidak ada lagi penggusuran.

“Pemerintah juga tidak bisa menjamin warga SAD kembali ke lahan HGU PT Asiatic yang sudah diduduki sebelum terjadi penggusuran. Selain itu, semua pihak menghormati proses mediasi sebelumnya yang sudah dilakukan sejak tiga tahun terakhir lewat Komnas HAM dan BPN RI,” kata Agus kepada Mongabay Indonesia.

Kenapa menolak lahan 2.000 hektare? Agus menjawab itu bukan hak masyarakat. Bukan tanah adat milik masyarakat yang dirampas perusahaan sejak tahun 1986 silam. Lahan yang dirampas 3.550 hektare yang berada di dalam HGU Asiatic 20.000 hektare. “Lahan seluas 2.000 hektare itu juga tidak dijelaskan apakah pola kemitraan atau distribusi tanah. Dugaan kami pola kemitraan. Masyarakat hanya akan menerima hasil 30 persen,” katanya.

Selain itu, konflik sosial baru akan terjadi. Pertama karena jumlah kepala keluarga yang menuntut totalnya sebanyak 3.250 kepala keluarga. Rinciannya adalah Kelompok SAD 113 (Pinang Tinggi, Padang Salak, Tanah Menang) sebanyak 1.135 kepala keluarga, Bukit Terawang sebanyak 322 kepala keluarga, Danau Minang sebanyak 101 kepala keluarga, Sei Pacatan 230 kepala keluarga, Tim Enam sebanyak 300 kepala keluarga, Kelompok Terdampak sebanyak 310 kepala keluarga, Tani Persada sebanyak 500 KK, Pangkalan Ranjau sebanyak 225 kepala keluarga, Sahnan sebanyak 97 kepala keluarga, Acil 30 kepala keluarga.

Kedua di atas lahan 7.252 hektare tersebut setengahnya atau sekitar 3.650 hektare adalah lahan klaim masyarakat lain termasuk kelompok Ardani dan M. Zen – mantan kepala desa Bungku selama 17 tahun. “Ini hanya akan menambah keruwetan konflik dengan memunculkan konflik horizontal yang baru sesama masyarakat,” kata Agus.

Tak hanya diusir, namun rumah mereka pun dijungkirbalikkan petugas. Foto: Feri Irawan
Tak hanya diusir, namun rumah mereka pun dijungkirbalikkan petugas. Foto: Feri Irawan

Peradilan Sesat

Seperti diberitakan, sejak 27 Desember 2013 hingga 4 Januari 2014, sudah 11 orang warga SAD yang ditahan Polda Jambi yang dituduh mencuri tandan buah segar di perkebunan PT Asiatic Persada, persisnya di Kebun II Afdeling 6 Blok 314 B, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari.

Menurut Agus Pranata, tindakan ini adalah kriminalisasi dan polisi semestinya mengeluarkan SP-3 karena lahan yang mereka panen adalah lahan mereka, bukan lahan HGU PT Asiatic. Penahanan itu hanya untuk menakut-nakuti masyarakat yang tengah berkonflik dengan PT Asiatic. Polisi salah tangkap,” kata Agus. Hari ini, 11 Januari 2014, Agus hendak mengajukan penangguhan penahanan ke Polda Jambi.

Bahkan salah seorang dari 11 orang yang ditahan itu salah satunya bernama Febriansyah masih di bawah umur. Februari mendatang, Febriansyah baru menginjak usia 18 tahun.

Pada 2010, tiga orang warga SAD yakni Hamid, Pardiansyah, dan Andi pernah diperkarakan PT Asiatic Persada mencuri tandan buah sawit di Blok 314 B Divisi Mentilingan. Perkara ini sempat disidangkan di Pengadilan Negeri Muarabulian, Kabupaten Batanghari. Mereka mendapat pembelaan hukum dari Public Interest Lawyer Network (PIL-NET).

Mereka akhirnya bebas karena kesaksian Joko Susilo, Manajer Humas PT Asiatic bahwa Blok 314 B Divisi Mentilingan ini adalah lokasi kebun sawit milik PT Jamer Tulen, hanya memiliki izin lokasi yang diterbitkan tahun 2002 dari Bupati Batang Hari, dan izin tersebut sudah habis pada tahun 2005, dan tidak diperpanjang lagi. Dengan sendirinya sejak 2005, tanah tersebut menjadi tanah negara.

Menurut Agus Susanto dari Tim Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bahwa konflik lahan antara SAD dengan PT Asiatic ini merupakan potret yang bagus. Kombinasi dari dari tiga hal: masyarakat (adat) yg tidak bergerak dalam satu payung yang legitimate atau dipercaya, pengusaha yang serakah, dan negara yang tidak tegas. Kombinasi itulah yg membuka peluang bagi para “penumpang gelap” mencari keuntungan pribadi atau kelompok.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,