, ,

Kala Pekerja Tambang Didampingi Brimob Mulai Ukur Lahan di Pulau Bangka

Suasana Pulau Bangka kembali mencekam. Silang pendapat antara warga Desa Kahuku dengan PT Mikgro Metal Perdana (MMP) tak bisa terhindarkan. Pekerja tambang mulai datang, bahkan didampingi brimob melakukan pengukuran lahan.  Warga tetap menolak operasi tambang di pulau itu.

Richard Paraeng, warga Desa Kahuku, mengatakan, selisih pendapat bermula di Minggu (12/01/14), ketika pekerja MMP berupaya menghuni rumah seorang polisi yang telah dijual. Namun, warga desa tak menerima keberadaan pekerja tambang di sana.

Gesekan fisik nyaris terjadi, seandainya brimob tidak meminta pekerja MMP meninggalkan lokasi. Sebab, sejak beberapa saat lalu, warga Kahuku naik darah karena MMP mengancam hak-hak masyarakat sekitar. Sempat tersebar kabar terjadi bentrok dan korban luka. Ternyata, warga terluka karena tak sengaja mencederai diri. Dia kaget mendengar ada keributan.

Tak berhenti di situ. Pada Senin (13/01/14), perdebatan serupa kembali terjadi. Warga terkejut melihat sejumlah pekerja tambang didampingi Brimob mengukur lahan di Desa Kahuku. Warga menilai, pengukuran lahan sembunyi-sembunyi. Mereka tak pernah diberitahu rencana pengukuran dan peruntukan lahan itu.

“Mereka hanya bilang, pengukuran itu adalah perintah bupati dan camat. Kami sama sekali tidak tahu akan diapakan lahan ini,” kata William Hadinaung, tokoh masyarakat Desa Kahuku kepada Mongabay, Selasa (14/01/14).

Padahal William yakin, secara hukum keputusan hak-hak masyarakat Pulau Bangka, telah dijamin. “Mahkamah Agung telah memenangkan warga Pulau Bangka. Belum lagi, pada 10 Desember 2013, Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati Minahasa Utara untuk mencabut izin tambang di pulau ini,” ujar dia.

Informasi yang didengar warga, dalam waktu dekat perusahaan akan menurunkan alat berat. “Sejak awal kami menolak. Kalau mereka berkeras, kami tidak akan tinggal diam.”

Maria Taramen, Ketua Tunas Hijau, menyesalkan, persoalan di Pulau Bangka, berlarut-larut. Seharusnya, pemerintah dalam pembangunan mengedepankan hak masyarakat adat. “Adat lebih dulu ada dari pemerintah. Harusnya, masyarakat di sini mendapat perlindungan. Bukannya, berat kepada pengusaha tambang.”

Sejak awal, warga menolak kehadiran perusahaan tambang ini. Namun, dengan dukungan pemerintah daerah dan aparat keamanan sebagai penjaga, bak anjing menggonggong kafilah berlalu, protes warga seakan angin lalu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,