Warga Batuputih, menolak pembukaan jalan dalam taman wisata alam. Karena protes tak digubris, warga balas membuka lahan untuk bertani. BKSDA pun balik menuding mereka perambah.
Silang pendapat mengenai pembangunan jalan di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, bagian Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara (Sulut), terus berlanjut. Sebagai balasan ketidakpuasan terhadap TWA, warga mulai menggarap lahan di kawasan itu. BKSDA kini balik menuding warga merambah hutan.
Sejak Senin (13/01/14), warga mulai membersihkan lahan TWA sekitar tiga hektar. Di lahan itu, warga menanam ubi kayu, ubi jalar, jagung dan pisang.
Alfons Wodi, warga Batuputih, mengatakan, aksi ini beranjak dari kekecewaan warga atas pembangunan jalan yang mengorbankan sejumlah pohon di TWA.”Tuntutan kami tidak digubris. Pengelolaan TWA tidak adil. Misal, penangkapan masyarakat sekitar yang memotong kayu, di sisi lain, proyek ini menggusur sejumlah pohon,” katanya, Minggu (26/01/14).
Menurut dia, penggarapan lahan ini upaya mengembalikan fungsi lahan sebelum pemerintah menetapkan Batuputih sebagai TWA. “Sebelum dikelola pemerintah, lahan ini hutan tanam rakyat. Kini, kami sudah sepakat mengembalikan fungsi lahan.”
Penolakan warga atas pembangunan jalan di TWA dimulai sejak Agustus 2013. Penolakan ini lewat berbagai bentuk seperti, unjuk rasa di kantor DPRD Bitung hingga aksi menanam pohon pisang di jalan lintas truk pengangkut material. Mereka menilai, pembangunan jalan di TWA Batuputih merusak lingkungan karena menggusur puluhan pohon. Ia juga berpotensi mengganggu kehidupan satwa di kawasan itu.
Apa kata Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut terhadap balasan warga? BKSDA menyatakan, aksi bertani di TWA ini tindak perusakan hutan. Bahkan, pada 15 januari 2014, BKSDA mengeluarkan surat berisi perintah mengosongkan lokasi.
Dalam surat itu, BKSDA mengimbau masyarakat tak melakukan kegiatan merusak kelestarian hutan, misal, perambahan hutan, penebangan pohon, membakar hutan, merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan, serta melakukan hal merusak ekosistem hutan.
Sudiyono, Kepala BKSDA Sulut, mengatakan, telah berkoordinasi dengan instansi terkait menyangkut permasalahan ini. Dia menilai, tindakan warga mengganggu kehidupan satwa dan berpotensi menurunkan jumlah wisatawan.
Dia memperkirakan, kayu yang ditebang warga mencapai ratusan batang, baik diameter kecil maupun besar. Padahal, lokasi ini habitat bagi sejumlah satwa langka seperti, tarsius, monyet hitam, rangkong dan burung endemik lain dan rusa.
BKSDA telah mengidentifikasi aktor yang diduga menjadi provokator. Sebab, imbauan BKSDA sejauh ini, tak pernah mendapat respon positif dari masyarakat. “Tindakan ini akan diproses sesuai peraturan berlaku, misal, pasal 21 jo pasal 40 UU nomor 5 tahun 1990 serta pasal 50 jo pasal 78 UU nomor 41 tahun 1999.”
Sudiyono menambahkan, berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor 1049 tahun 1981, TWA Batuputih ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam dengan kewenangan pengelolaan di bawah BKSDA. “Jadi, kami akan menindak tegas pelaku perusakan di kawasan ini.”