Hutan hujan tropis di Asia Tenggara, terutama di Indonesia mengalami pembentukan dan perubahan vegetasi oleh aktivitas manusia dalam 11.000 tahun terakhir, terutama di wilayah Kalimantan, Sumatera, Jawa, Thailand dan Vietnam. Sebelumnya pakar percaya bahwa perkembangan dan pertumbuhan vegetasi di hutan hujan tropis tidak terkait dengan manusia, namun hasil penelitian dari pakar Paleoekologi Universitas Belfast di Irlandia Dr. Chris Hunt menyatakan sebaliknya.
Analisis utama dari sejarah vegetasi di tiga pulau besar di Indonesia dan di daratan utama Asia Tenggara tersebut memperlihatkan pola ‘gangguan’ yang berulang terhadap vegetasi sejak akhir zaman es, yang diperkirakan terjadi 11.000 tahun lalu.
Hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal ilmiah Journal of Archaeological Science ini merupakan sebuah puncak dari kerja lapangan selama 15 tahun yang dilakukan oleh Dr. Hunt. Selama melakukan penelitian, dia mengumpulkan sejumlah sampel serbuk sari di seluruh wilayah ini, dan melakukan kajian riset paleoekologi bersama Dr. Ryan Rabett dari Universitas Cambridge.
Bukti-bukti aktivitas manusia di hutan tropis sangat sulit untuk didapat dan metode tradisional arkeologi untuk menentukan lokasi dan melakukan penggalian juga sangat sulit karena kelebatan hutan tropis ini. Namun, lewat upaya mengumpulkan sejumlah sampel serbuk sari ini, kini berhasil mengunhkap rahasia sejarah hutan tropis di Asia Tenggara.
“Sejak lama diyakini bahwa hutan hujan tropis di Asia Tenggara merupakan hutan perawan, dimana dampak aktivitas manusia sangat sedikit. Namun temuan kami, mengindikasikan sejarah ketergangguan terhadap sejumlah vegetasi di hutan tropis. Kendati bisa saja menyalahkan pola ketergangguan ini kepada alam, yaitu akibat perubahan iklim, namun dalam hal ini perubahan ini terjadi tidak bersamaan dengan periode perubahan iklim tersebut. Namun perubahan vegetasi ini disebabkan oleh manusia,” jelas Dr. Hunt.
“Ada banyak bukti misalnya manusia di Dataran Tinggi Kelabit di Kalimantan membakar lahan untuk menanam tanaman pangan. Sampel serbuk sari dari sekitar 6.500 tahun silam memperlihatkan adanya kandungan arang, menunjukkan adanya bekas-bekas pembakaran. Biasanya, setelah kebakaran yang terjadi secara alami akan diikuti oleh tumbuhnya beberapa jenis vegetasi yang spesifik, namun kami menemukan bukti bahwa setelah kebakaran tersebut justru diikuti oleh tumbuhnya pohon buah-buahan. Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang tinggal di pulau ini secara sengaja membuka hutan dan menebang vegetasi hutan dan menanam pohon yang menjadi sumber pangan.”
Selain itu, menurut Dr. Hunt salah satu indikator adanya bukti aktivitas manusia di hutan hujan tropis adalah banyaknya pohon-pohon yang cepat tumbuh seperti Macaranga, Celtis dan Trema. Sejumlah kajian ekologi moderen menunjukkan bahwa ketiga jenis tanaman ini secara cepat kembali tumbuh setelah lahan dibakar dan adanya gangguan terhadap hutan hujan di wilayah ini.
“Di sekitar garis pantai di Kalimantan, pohon sagu yang berasal dari Papua juga pertama kali ditanam sekitar 10.000 tahun lalu. Hal ini menunjukkan adanya perjalanan dari Papua sejauh 2.200 kilometer ke Kalimantan, dan hal ini sesuai dengan sejarah maritim pada saat itu. Hal ini menjadi bukti bahwa orang sudah mendatangkan bibit sagu dari Papua dan menanamnya di Kalimantan.”
Selain penting dalam menunjang kajian ekologi atau hutan tropis yang berbasis manusia, studi ini dinilai penting sebagai bekal untuk masyarakat adat dalam menentang perluasan perusahaan logging. “Sejumlah hukum di Asia Tenggara tidak mengakui hak-hak masyarakat asli di sekitar hutan karena mereka dianggap sebagai masyarakat yang nomaden dan tidak meninggalkan bekas yang permanen terlihat. Namun dari hasil penelitian ini memuktikan bahwa pola manajemen aktif masyarakat di sekitar hutan terhadap hutan hujan tropis di Asia Tenggara sudah berjalan selama 11.000 tahun, dan orang-orang ini kini memiliki bukti untuk mendapat pengakuan,” jelas Dr. Hunt lebih lanjut dalam rilis hasil penelitiannya.
CITATION: C.O. Hunt, R.J. Rabett. Holocene landscape intervention and plant food production strategies in island and mainland Southeast Asia. Journal of Archaeological Science, 2013; DOI: 10.1016/j.jas.2013.12.011