Najamuddin, Warga Tassosso, Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, tak pernah menyangka berakhir di kursi pesakitan. Gara-gara dia menebang dua pohon yang ditanam sendiri di kawasan yang diklaim pemerintah Sinjai sebagai hutan lindung kini mendapatkan vonis lima bulan. Proses hukum dari kepolisian sampai persidangan pun banyak kejanggalan.
Pada persidangan terakhir 16 Januari 2014, Majelis Hakim PN Sinjai mengganjar dengan hukuman lima bulan kurungan, denda Rp1 juta atau diganti kurungan satu bulan. Putusan ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa hukuman 10 bulan denda Rp1 juta subsider dua bulan kurungan. Pasal disangkakan Pasal 78 ayat (5) jo Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No.41 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
Najamuddin mulai ditahan sejak 6 November 2013, bermula dari aduan Suardi, Polisi Hutan Sinjai. Penangkapan Najamuddin setelah dua kali aduan Suardi ke Polsek setempat.
Dore Armansyah, Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, menilai putusan Majelis Hakim ini jauh dari rasa keadilan dan mengabaikan bukti penting dan fakta di lapangan. “Ini sangat tidak fair, Pak Latif, mandor hutan, dan Asdar, yang menebang enam pohon justru tidak diproses. Justru Pak Najamuddin, menebang pohon untuk perbaikan rumah, ditangkap dan dipidanakan,” katanya, Sabtu (25/1/14).
Najamuddin mengakui menebang dua pohon setelah izin Latief. Dia bahkan meminjam chain shaw atau gergaji mesin itu dari Asdar, saudara Latif. “Fakta Najamuddin meminjam chainshaw dari Latif yang notabene mandor hutan tidak terungkap dalam tuntutan jaksa. Di situ hanya dikatakan terdakwa menggunakan chainshaw dari orang lain.”
Keganjilan lain dari persidangan tak dimasukkan chainshaw sebagai barang bukti di persidangan oleh JPU.“Penyidik Polres Sinjai, tidak menyita dan memasukkan barang bukti alat chainshaw, karena alat milik Asdar. Padahal itu alat bukti memotong kayu,” ucap Arman.
Wahyu Siregar, aktivis Gerakan Rakyat Anti Perampasan Tanah, mengatakan, kasus ini bermula ketika Dinas Kehutanan Sinjai ingin membuat pondok kehutanan. Latif, diperintahkan membangun pondok, bersama Asdar.
Kedua orang ini menebang enam pohon, meski ternyata hanya diperintahkan menebang satu pohon. Aksi penebangan pohon ini berbuntut panjang. Suardi, Kepala Unit Polisi Kehutanan di Kecamatan Sinjai Barat, melaporkan ke Polsek. Pada April 2013, kedua mandor, Latif dan Asdar diperiksa Polsek Sinjai Barat. Tak diketahui pasti hasil pemeriksaan saat itu.
Beberapa bulan kemudian, Suardi memasukkan laporan terkait penebangan pohon di lokasi sama. Saat itu Najamuddin dimintai keterangan dua kali. Pemeriksaan pertama, Najamuddin diminta mengakui penebangan pohon oleh Latif dan Asdar. Pada pemanggilan kedua Nadjamuddin diminta mengakui menebang enam pohon sebelumnya.
Pada pemanggilan ketiga, berkas pemeriksaan lengkap, sudah siap dilimpahkan ke Kejaksaan. “Teman-teman dari KontraS menemukan kejanggalan dalam pemeriksaan ini, karena pada pemanggilan ketiga ternyata dia langsung dibawa ke Kejaksaan dan BAP ditandatangani di kejaksaan. Pada saat Najamuddin langsung ditahan,” ucap Wahyu.
Terkait proses penyidikan dan persidangan Najamuddin, KontraS Sulawesi, Nasrum, menilai ada banyak pelanggaran aparat Kepolisian, Kejaksaan Sinjai dan PN.
Tak hanya terabaikan sejumlah fakta keterlibatan mandor hutan dan tidak dimasukkan sejumlah alat bukti penting di persidangan, kepolisian juga mengabaikan hak terdakwa mendapatkan bantuan hukum, saksi dan ahli, dalam penyidikan.
Menurut Nasrum, selama pemeriksaan di Polres Sinjai, Najamuddin tidak pernah diberitahukan hak-hak hukum sebagai tersangka. Bahkan penyidik menyerahkan berkas perkara dan tersangka tanpa barang bukti. BAP ditandatangani setelah di kantor Kejari Sinjai. “Ini menandakan penyidik melanggar proses pemeriksaan.”
KontraS mengeluarkan sejumlah rekomendasi terkait kasus ini, antara lain mendesak kepada Polda Sulsel dan Barat mengawasi ketat kepada aparat penyidik maupun penyidik pembantu Polres Sinjai yang dinilai tak profesional dan melanggar KUHAP serta instrumen hukum lain.
KontraS mendesak kepada Kapolres Sinjai menindak tegas penyidik itu. Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel dan Barat mengawasi ketat JPU Kejari Sinjai, yang menangani kasus Najamuddin.
Najamuddin, sebenarnya menebang kayu yang dia tanam sendiri. Kisah ini berawal pada 2000, sekitar 170 warga Dusun Tasosso memutuskan berkebun di daerah itu. Pada 2003, masuk program GNRHL, dan mengusir seluruh warga yang berkebun di daerah itu.
Berbeda dengan warga lain, Najamuddin memutuskan bertahan, karena saat itu tak lagi memiliki lahan yang bisa digarap. Najamuddin meminta kepada Kehutanan agar tetap diizinkan tetap berkebun sambil menjaga hutan. Izin diberikan. Najamuddin mulai menanam poho. Sejak 2003-2013, dia telah menanam sekitar 500 pohon. Dua dari ratusan pohon ini dia tebang dan harus berakhir di penjara.
Warga Terusir, Hutan buat Tambang
Menurut Arman, kriminalisasi Najamuddin memperpanjang masa suram warga yang hidup di sekitar hutan. Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan hutan adat bukan hutan negara, tidak cukup ampuh mengembalikan hak-hak masyarakat adat. “Najamuddin menebang dua pohon itu termasuk kawasan adat yang diklaim pemerintah sebagai hutan lindung.”
Arman juga menilai kriminalisasi terhadap Najamuddin masih terkait dengan kasus-kasus sebelumnya, seperti kriminalisasi terhadap 11 warga Bonto Katute, dan Kepala Desa Sautanre, Kecamatan Sinjai Tengah, dengan tuduhan perambahan hutan lindung.
Kasus terakhir, akhir November 2013, ketika sejumlah polhut menebang dan mencabuti pohon dan bibit cengkeh warga di kawasan sekitar 50 hektar di Dusun Bondu, Desa Arabika, Sinjai Barat. Lahan itu diklaim pemda sebagai hutan lindung. Bagi warga itu sebagai tanah warisan.
Kasus ini sempat aksi kejar-kejaran antara warga dengan polhut, sekitar 100-an warga mengejar polhut yang berpatroli dan merusak kebun cengkeh bahkan mengencingi.“Ini saya pikir usaha sistematis dari pemda meneror warga demi memperlancar terbangun kawasan tambang PT Galena Enery di daerah ini,” kata Arman.
Hal sama dikatakan Wahyu. Menurut dia, Kemenhut mengambil alih lahan warga berdalih hutan lindung, perusahaan hanya perlu berurusan dengan Kemenhut ketika ingin membuka tambang. Perusahaan, tak perlu berhadapan dengan warga. “Jika Kemenhut benar-benar ingin melindungi hutan, dalam kasus Bonto Katute, mengapa Dinas Kehutanan justru memberikan izin kepada pertambangan seluas 24. 830 hektar?”
Juru Bicara Front Gertak Sinjai, Iwan Setiawan, pesimis berbagai konflik di Sinjai bisa berakhir selama tindakan agresif, termasuk masih dilakukan pemda. Dia berharap, upaya dialog masih dikedepankan demi menghindari benturan makin keras antara pemerintah dan masyarakat.