Terdakwa Kasus Ilegal Logging di Raja Ampat Dituntut Lima Belas Tahun Penjara

Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Sorong, Papua Barat (29/01/2014) menuntut terdakwa Aiptu Labora Sitorus (LS), pemilik perusahaan kayu PT Rotua, dengan tuntutan 15 tahun, denda 100 juta rupiah subsider 10 tahun penjara.

Sidang tuntutan ini sendiri dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Martinus Bala, SH dengan anggota majelis hakim, Maria M. Sitanggang, SH, MH dan Irianto Tiranda, SH. Demikian seperti yang dikutip Mongabay Indonesia dari pemberitaan Papua Barat Pos.

Menurut Jaksa Penuntut Umum yang beranggotakan Rein Singal, SH, MH, Syahrul Anwar, SH, dan lainnya, LS dianggap telah melanggar pasal 55 ayat 1 KUHP, UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 53 huruf b, UU no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi, pasal 3 ayat 1 huruf c UU no 15 tahun 2002 yang telah diubah menjadi Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan yang terakhir adalah pasal 3 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sebelumnya, seperti yang diberitakan oleh Mongabay Indonesia, kasus ini sempat menghebohkan karena terdakwa LS sempat diinformasikan memiliki rekening gendut hingga 1,5 triliun rupiah, yang diduga telah merugikan negara dalam jumlah raksasa dalam aksinya. Tidak saja kasus ilegal logging, kasus pencucian uang yang melibatkan terdakwa sempat mencuat pada bulan Mei 2013 menyusul penangkapan terhadap 2.264 meter kubik kayu merbau yang dimuat dalam 115 kontainer di Surabaya, Jawa Timur.

Semua kayu ini disuplai oleh perusahaan keluarga milik Labora Sitorus PT Rotua. Sekitar 1.500 kayu gelondongan juga diamankan di Papua, dan Pulau Batanta di Kepulauan Raja Ampat adalah sumber utama kayu ilegal ini.

Menanggapi tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, terdakwa LS, -yang sempat pingsan ketika pembacaan tuntutan dilakukan-, menyebutkan tidak terima dan sangat tidak sesuai dengan fakta persidangan. Dalam pernyataannya kepada wartawan setelah persidangan, terdakwa LS menyebutkan bahwa fakta sidang telah direkayasa oleh penyidik dengan berkoordinasi dengan kepolisian. Terdakwa pun menyebutkan telah terjadi permainan terhadap lelang sebanyak 115 kontainer yang disita di Surabaya. Menurutnya kayu yang dilelang bukan 6,5 milyar rupiah namun seharusnya berjumlah 20 milyar rupiah. Ia balik menuduh terdapat upaya permainan untuk memperoleh keuntungan dari sisa pelelangan sebanyak 13,5 milyar rupiah.

Lanjutan dari persidangan terdakwa dari LS akan dilakukan di PN Sorong minggu depan dengan lanjutan persidangan untuk membacakan pembelaan dari terdakwa.

Klik untuk memperbesar
Klik pada gambar untuk memperbesar

Pengembangan Kasus

Dihubungi secara terpisah oleh Mongabay Indonesia, Juru Kampanye Hutan Forest Watch Indonesia (FWI), Abu Meridian menyebutkan bahwa kasus LS seharusnya dapat dikembangkan oleh para penyidik sebagai pintu masuk bagi usaha perbaikan tata kelola kehutanan. Menurutnya jika kasus hanya kepada individu, hal ini tidak mendorong terjadinya efek jera, dan peredaran kayu ilegal dari Papua ke tempat lain masih berlangsung seperti biasa.

Meridian menyebutkan hingga saat ini terdapat perbedaan sisi perundang-undangan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan dengan Pemerintah Daerah yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum seperti terdakwa LS untuk memperoleh keuntungan.

Menurutnya, sesuai dengan yang diatur dalam Permenhut 46/2009 sudah jelas bahwa seluruh kayu yang berasal dari hasil kegiatan Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) tidak dapat diperdagangkan. Namun, berbeda dengan peraturan tersebut, Perda Kabupaten Sorong (Perda 6/2008) dan Perda Kabupaten Raja Ampat (Perda 522/2012) masih mengijinkan masyarakat untuk memperdagangkan kayu di dalam lingkungan area kabupaten untuk mengakomodir kepentingan masyarakat, masing-masing hingga 20 m3/tahun untuk kebutuhan individu dan hingga 50 m3/tahun untuk fasilitas umum.

Kelonggaran Peraturan kemudian digunakan oleh perusahaan-perusahaan nakal untuk mengumpulkan kayu-kayu dari masyarakat melalui celah yang diijinkan dalam Peraturan Daerah. Sebagai contoh, ia menyebutkan PT Rotua milik LS, yang memiliki kapasitas produksi 2.000 m3 sesuai dengan aturan Walikota Sorong, sudah sejak tahun 2007 mengumpulkan kayu-kayu yang seharusnya dipergunakan untuk kepentingan fasiitas umum ini. Hal sama dilakukan oleh banyak perusahaan kayu lain yang beroperasi di Papua. Selain melanggar peraturan tentang pemanfaatan kayu, dicurigai aktivitas ini juga melanggar aturan tentang pajak pembayaran kayu seperti DR dan IPSDH.

Dalam kasus terdakwa LS, seperti sebelumnya diberitakan oleh Papua Barat Pos (15/11/2013), Hakim Martinus Bala telah memperbolehkan PT Rotua yang dimiliki oleh terdakwa untuk terus beroperasi. Menurut pertimbangan hakim, perusahaan tidak memiliki masalah dengan perijinan yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian Sorong, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kasus yang menimpa pemiliknya saat ini. Menurutnya kayu yang disetor ke PT Rotua legal diluar kayu-kayu yang telah di-police line-kan sebagai barang bukti kasus terdakwa LS.

Senada dengan Meridian, peneliti dari Tranparansi International Indonesia (TII) Reza Syawawi menyebutkan, jika penyidik jeli untuk mengumpulkan bukti-bukti, seharusnya kasus ini tidak berhenti kepada kasus tindak pidana pencucian uang saja. Menurutnya hal ini dimungkinkan, mengingat kejahatan dibidang kehutanan termasuk salah satu pidana asal dari kejahatan pencucian uang.

Terkait kasus terdakwa LS ini, menurutnya para penegak hukum dapat melihat kasus ini dalam konteks kepemilikan kekayaan secara signifikan yang tidak sesuai profil. Jika LS tidak bisa menjelaskan asal-usulnya maka hartanya itu bisa disita negara. Dalam konteks pencucian uang, maka subyek hukumnya tidak hanya orang perseorangan, tetapi juga termasuk korporasi.

Sembari menambahkan, menurut Syawawi, saat ini belum ada kasus pidana kehutanan yang dikombinasikan dengan kejahatan pencucian uang, yang sebenarnya dimungkinkan secara hukum yang berlaku.

Artikel yang diterbitkan oleh
,