, ,

Jakarta Masih Tergenang, Pemerintah Diminta Berani Tindak Pengembang

Hujan kembali mengguyur wilayah Jakarta dan kawasan Puncak, Bogor, mengakibatkan wilayah Ibu Kota kembali tergenang di beberapa lokasi pada Selasa (4/2-14). Kalangan aktivis pun menyoroti berbagai penyebab banjir. Mereka juga meminta pemerintah tegas tak hanya pada warga kecil juga pengembang atau kalangan atas yang menyalahi aturan.

Data Pusdalops BPBD Jakarta, pada Selasa sampai pukul 18.00 mencatat, lima wilayah di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara, terkena banjir. Area itu meliputi sembilan kecamatan, 21 kelurahan, dan meliputi 32.972 keluarga atau 108.158 jiwa. Jumlah pengungsi  sebanyak 18.503 jiwa, tersebar pada 61 titik lokasi pengungsian.

Bagi warga dekat kali kondisi lebih parah, seperti terjadi di Kelurahan Petogogan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Banjir akibat luapan Kali Krukut menggenangi rumah warga sampai 80 cm. SD Bakti Luhur di daerah itu terpaksa meliburkan sebagian siswa, yakni kelas I-III. Untuk kelas IV-VI pindah ‘sekolah’ ke Mesjid Nurul Hidayah.

Sutopo Purwo Nugroho, Kapusdatinmas BNPB mengatakan, di Jakarta Selatan, seperti Jalan Layang Tebet, dekat Kasablanka dua arah, genangan air 20-30 centimeter (cm), sama dengan Mampang Raya arah Cilandak, Pondok Indah, Permata Hijau dan Jl Raya Fatmawati depan RS. Fatmawati arah Lebak Bulus.

Untuk di Jakarta Timur, Kampung Melayu, Bukit Duri arah Cipinang genangan air mencapai 30 cm. Di Jakarta Barat, air menggenangi Jl. Kembangan Utara Raya, Kompleks Taman Permata Buana, setinggi 10-20 cm, Jl. Panjang depan Perum Green Garden 20-40 cm.

Lalu genangan berkisar 20-30 cm di Jl. Mangga Besar Kepaduri, Jl Bandara Soetta, Jl. Semanan Raya,  Jl. Depan Roxy Square dari arah Grogol ke Hasyim Ashari, dan depan Citraland. Kemudian, Jl. Daan Mogot depan Samsat, Jl Kebon Jeruk Raya arah ke Batu Sari.

Begitu pula di Jl. Arjuna Selatan Kemanggisan pinggir tol, genangan 10–40cm. Untuk Jl. Tanjung Duren Raya dan JL Tomang depan Trisaksi dan JL Daan Mogot depan Indosiar genangan setinggi 30 cm.

Di Jakarta Utara, genangan air di Jl Tanjung Priok-Pluit-Slipi  setinggi 20-30 cm dan Jl. Kelapa Gading Raya 10 cm. Sedang Jakarta Pusat,  genangan terdapat di Jl Gunung Sahari mulai Mabes Angkatan Laut dan WTC Mangga Dua, genangan setinggi 10 -20 cm. “Untuk ketinggian muka air sungai di Jakarta, relatif aman berada pada siaga tiga dan empat,” kata Sutopo.

Tindak Tegas

Chico Hakim, aktivis Komunitas Jakarta Bergerak mengatakan, titik banjir banjir di Jakarta berpindah. Ada beberapa wilayah dulu tak banjir, sekarang tergenang cukup parah. “Salah satu Petamburan,” katanya dalam Kongkow Ijo akhir Januari 2014 di Jakarta.

Dia mengatakan, Petamburan tak pernah banjir parah seperti sekarang. Tim mereka terus memantau keadaan disana sekaligus mencari solusi.

Menurut dia, ada yang salah dengan tata kota Jakarta. Dia menyoroti pembangunan di Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Pantai Mutiara. Letak wilayah itu, katanya, tak layak dibangun perumahan karena dataran lebih rendah daripada laut. “Pantai itu harus dikembalikan kepada fungsi semula. Pantai Indah Kapuk dulu rawa.”

Chico merasa kecewa dengan pemerintahan sekarang walaupun di banyak sisi kinerja sangat baik. “Kalau bicara kok orang miskin mulu yang dimarahin. Orang miskin tinggal di pinggir kali langsung direlokasi. Seharusnya, relokasi juga orang kaya di PIK.”

Jika merujuk pada UU Tata Ruang, katanya, seharusnya pemberi maupun penerima izin bisa dituntut secara hukum. Sebab pembangunan di kawasan itu menyalahi aturan dan menyebabkan bencana ekologis. “Pemerintah juga harus sadar peruntukan wilayah itu untuk apa.  Misal, di Kemang. Wilayah itu bukan untuk usaha dan perumahan. Lalu sekarang ada pembangunan Lippo Kemang Village. Hingga menyebabkan banjir di wilayah lain,” kata Chico.

Dia meminta, dalam penanganan banjir,  pemerintah jangan terus menerus menyalahkan warga kelas bawah tetapi harus berani menindak pengembang yang membangun di daerah tak seharusnya.

Banjir menggenangi perumahan warga di Petogogan pada pertengahan Januari 2014. Hingga kini kawasan ini masih terus jadi langganan banjir baik karena hujan maupun luapan Kali Krukut. Foto: Sapariah Saturi
Banjir menggenangi perumahan warga di Petogogan pada pertengahan Januari 2014. Hingga kini kawasan ini masih terus jadi langganan banjir baik karena hujan maupun luapan Kali Krukut. Foto: Sapariah Saturi

Synn, Creative Director Ciliwung Institute berpendapat, banjir terjadi karena normalisasi sungai belum berjalan. Kalaupun ada beberapa sudah berjalan, tetapi masih tahap penertiban. “Kalau pemerintah sekarang sedang tahap penertiban, kami sedang di tahap edukasi. Kita mengedukasi masyarakat mengubah kebiasaan mereka tidak membuang sampah ke sungai.”

Menurut dia, menyelesaikan banjir ini, semua pihak harus bekerjasama. Ciliwung Institute, katanya, berjuang mengedukasi masyarakat, dan membantu advokasi ke pemerintah terkait penataan daerah sepadan sungai. “Sekarang daerah sepadan sungai mulai Green Depok City kami pantau melalui perahu karet, Water Boom Citayam, ada lagi perumahan di Depok, sudah rusak. Tak sesuai seharusnya.”

Di Depok, kata Synn, bantaran sungai dikeruk habis, menjadi tebing curam hingga daerah resapan air berkurang drastis.  Air dari Bogor, seharusnya bisa diserap dulu di Depok, namun kini langsung mengalir ke Jakarta. ”Jujur waktu itu kami marah ke developer, setelah advokasi terus akhirnya perumahan itu disegel.”

Namun Een Irawan Putra, aktivis Komunitas Peduli Ciliwung  berpendapat berbeda. Menurut dia, tak ada banjir kiriman dari Bogor. Yang jelas,  air pasti mengalir ke dataran lebih rendah.  “Memang kalau kita bicara tata ruang hampir seluruh kota di Indonesia berantakan.  Sepadan sungai juga begitu. Meskipun sekarang tim Kementerian Pekerjaan Umum membuat model pengelolaan Sungai Ciliwung, tapi itu kami bilang terlambat.”

Dia mengatakan, yang harus dilakukan pemerintah dan BPN mengakui kesalahan. Sebab, bangunan di bantaran sungai itu bersertifikat. Pemerintah sudah jelas menyalahi aturan menerbitkan sertifikat di lahan sekitar bantaran sungai.

Meski begitu, dia menilai pemerintahan sekarang memiliki komitmen menanggulangi banjir. Hanya, perlu kontrol masyarakat sipil dalam mengawal implementasi komitmen  itu.“Saya melihat Jakarta punya komitmen tinggi sekali. Saya apresiasi mereka berani menganggarkan miliaran rupiah untuk restorasi sungai di Jakarta. Memindahkan warga di bantaran sungai, mengeruk, ataupun membuat model-model pengelolaan sungai,” ucap Een.

Namun, katanya, apa yang dilakukan Jakarta, akan percuma ketika kawasan hulu dan tengah tak berkontribusi. Mengingat kontribusi terbesar banjir berada di kawasan hulu dan tengah.

Mukri, dari Walhi Nasional mengatakan, bencana ekologis seperti banjir ini memperlihatkan alam yang kehilangan keseimbangan. Dia mencontohkan, proyek reklamasi seperti segelas air penuh. Ketika dilemparkan kelereng ke gelas itu, air akan luber. Begitu pula reklamasi, menyebabkan keseimbangan alam menjadi hilang.

“Apa pun bentuknya, reklamasi itu tidak ramah lingkungan. Yang di Manado juga akibat reklamasi. Di Bandar Lampung, Sulawesi dan dimana-mana. Material reklamasi diperoleh dengan cara merusak lingkungan,” ucap Mukri.

Reklamasi, dibolehkan tapi material harus pasir. Namun, yang terjadi bukit dibabat, digerus dan material dari sana dijadikan bahan mereklamasi. “Setelah  digerus, baru dibangun real estate. Bukit itu pasti wilayah dengan tingkat kecuraman sangat tinggi. Ini banyak terjadi dimana-mana. Janganlah menyakiti alam. Kalau dia disakiti, maka akan berbalik menyakiti kita.”

Mukri mengatakan, penyebab bencana itu ada dua. Pertama, faktor kebijakan, kedua, faktor teknis. Faktor kebijakan, misal hutan lindung menjadi kebun atau tambang. Sedang soal teknis,  seperti masyarakat membuang sampah sembarangan.

 Perkiraan tinggi gelombang 5-11 Februari 2014, bisa dilihat di sini

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,