Kemitraan, Atasi Konflik HTI dengan Masyarakat dan Satwa Liar di Jambi

Setelah melalui proses negosiasi penyelesaian konflik dengan masyarakat dari tahun 2011 akhirnya PT. Arangan Hutani Lestari (AHL) sebuah perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik Group Sampoerna melalui Samko Timber Limited telah menandatangani perjanjian kemitraan dengan 14 kelompok tani di Jambi pada tanggal 30 Januari 2014 lalu. Perusahaan HTI yang memiliki konsesi seluas 9.400 hektar di Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo ini telah memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri sejak tahun 1995.

Pada tahun 2011 perusahaan ini mendapat protes dari masyarakat dan pemerintah kabupaten Tebo karena tidak melakukan aktifitas di kawasan konsesi mereka sehingga pemerintah kabupaten mengusulkan kawasan ini menjadi kawasan pencadangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Menurut Rendra Hertiadhi, direktur utama PT AHL tidak adanya aktifitas di kawasan konsesi mereka dikarenakan banyaknya masyarakat yang telah memanfaatkan kawasan tersebut menjadi kebun mereka. “Hampir 100% kawasan konsesi kami dikuasai oleh masyarakat, bahkan ada beberapa wilayah yang sudah digarap jauh sebelum tahun 1995” ujar Hertiadhi. Untuk menghindari pengusiran masyarakat dari kawasan konsesi mereka maka PT. AHL menjalin kemitraan dengan masyarakat. “Perjanjian kemitraan ini adalah resolusi terbaik tanpa harus menimbulkan konflik baru” kata Hertiadhi lebih lanjut.

Pola kemitraan dengan masyarakat ini dilakukan melalui kelompok tani yang berada di empat desa yaitu desa Teluk Kayu Putih, desa Kuamang, desa Tanjung Pucuk Jambi dan desa Teluk Lancang. Luas lahan kemitraan di empat desa ini adalah 560 hektar dari 7.971 hektar lahan yang dimitrakan oleh perusahaan ini. PT. AHL telah menerapkan pola kemitraan dengan perkebunan karet yang dikelola oleh kelompok tani dari desa-desa tersebut.

“Kami adalah perusahaan HTI kayu pertukangan dan RKU kami adalah kayu tanaman karet (Hevea brasiliensis) sehingga pola kemitraan perkebunan karet dengan masyarakat tidak menyalahi izin kami” jelas Hertiadhi. Melalui kemitraan ini PT. AHL akan melakukan penguatan perekonomian masyarakat dengan meningkatkan kualitas tanaman karet sehingga masyarakat dapat memperoleh hasil yang optimal.

PT. AHL sebagai pemegang konsesi akan memberikan kompensasi atas getah karet masyarakat dengan sistem pembagian keuntungan 85% untuk masyarakat dan 15% untuk perusahaan. Meskipun masyarakat hanya mendapat keuntungan 85% PT. AHL akan memberikan kompensasi yang sama dengan harga pembeli terakhir (end buyer) sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada menjual getah mereka ke tengkulak. Sedangkan untuk kayu karet sistem pembagian keuntungannya adalah 85% untuk perusahaan dan 15% untuk masyarakat.

Sementara itu Amlen Siregar, ketua kelompok tani Renah Lebar salah satu dari 14 kelompk tani yang menjalin kemitraan dengan PT. AHL mengatakan bahwa dengan adanya kemitraan ini ia dan kelompoknya merasa tidak khawatir akan bermasalah dengan PT. AHL lagi. “Saya menggarap tanah seluas 1,1 hektar untuk dijadikan kebun karet di kawasan itu. Saya tidak tahu kalau tanah yang saya garap itu adalah tanah milik perusahaan” kata Siregar.

Untuk mencegah bertambahnya masyarakat masuk ke kawasan PT. AHL mengaku telah memiliki ketentuan yang jelas. “Kami telah melakukan penerapan penentuan tanggal (cut-off date) yaitu 31 Mei 2002. Oleh karena itu para pendatang yang memasuki kawasan kami harus memiliki bukti otentik misalnya surat keterangan domisili dari otoritas setempat atau lembaga adat sebelum tanggal yang telah kami tetapkan itu” kata Hertiadhi.

Ia menegaskan bahwa perjanjian kemitraan ini bukanlah tindakan untuk melegalkan status masyarakat yang menduduki lahan konsesi mereka karena masyarakat yang telah menggarap kawasan mereka harus memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh PT. AHL. Lebih lanjut ia menjelaskan jika ada masyarakat yang menguasai kawasan konsesi mereka dan tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut maka pihaknya akan mengambil tindakan tegas terhadap masyarakat yang masuk ke kawasan konsesi mereka itu. Ia mengakui bahwa perjanjian kemitraan ini memang belum diterima oleh seluruh masyarakat yang berada dalam kawasan dan sejauh ini pihaknya masih terus melakukan pendekatan persuasif agar mereka mau menjalin kemitraan dengan PT. AHL.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Irmansyah Rachman menyambut baik penandatanganan perjanjian kemitraan antara PT AHL dengan masyarakat di kecamatan VII Koto ini. “Memang ini adalah kewajiban perusahaan sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 39 (P.39/Menhut-II/2013) tentang Tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan” ujar Rachman.

Ia berharap dengan kerjasama ini perusahaan akan lebih transparan dalam melakukan aktifitasnya dan masyarakat sekitar konsesi dapat lebih sejahtera. Rachman juga mengatakan bahwa pihaknya akan terus mendorong penyelesaian konflik antar masyarakat dan perusahaan sehingga penyelesaiannya tidak melalui proses hukum. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi mencatat saat ini setidaknya terdapat 11 konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan dan ada 2 konflik yang telah diselesaikan melalui kemitraan.

Menelan pestisida perkebunan, gajah Sumatera ini tewas. Foto: FZS
Berbagai kasus kematian gajah Sumatera akibat berkonflik dengan wilayah tinggal masyarakat masih sering terjadi. Kemitraan, menjadi salah satu kunci untuk menekan kematian satwa lokal. Foto: FZS

Penanganan Konflik Gajah

Pada bulan September 2013 seekor gajah ditemukan mati di kawasan konsesi milik PT. AHL yang telah dikuasai masyarakat. Kawasan konsesi milik PT. AHL yang terletak di Kecamatan VII Koto ini adalah bagian dari kawasan lanskap Bukit Tigapuluh yang memiliki populasi gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang cukup banyak dan kawasan ini adalah jalur perlintasan kawanan gajah tersebut. Setiap tahun gajah-gajah yang hidup di lanskap Bukit Tigapuluh akan melintas dan menetap di kawasan itu selama beberapa minggu. Menurut Hertiadhi tahun ini telah teridentifikasi 60 ekor gajah yang terbagi dalam 2 kelompok yang melintasi kawasan konsesi PT. AHL.

Salah satu desa yang dilintasi oleh kawanan gajah tersebut adalah desa Tanjung. Fauzan, anggota kelompok tani dari desa ini mengatakan bahwa setiap tahun gajah – gajah itu datang ke desanya. “Sudah lebih dari sebulan gajah – gajah itu berada di wilayah desa kami” kata Fauzan. Setiap kali kawanan gajah datang ke desa ratusan hektar kawasan perkebunan akan rusak sehingga menimbulkan kerugian besar bagi para warganya. Fauzan juga mengatakan bahwa dulu kawanan gajah itu biasanya tidak menetap lama namun saat ini kawanan gajah menetap lebih lama di desanya dan frekuensi kedatangan mereka juga meningkat.

Krismanko, polisi hutan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Jambi mengatakan bahwa kawanan gajah tersebut telah berada di desa Tanjung sejak pertengahan bulan Desember. Untuk menghalau gajah dari kawasan tersebut BKSDA Jambi, TNI, masyarakat setempat dan beberapa mahoud (pawang) gajah dari Pusat Pelatihan Gajah Lampung yang datang secara sukarela membentuk sebuah tim dan mulai melakukan upaya penghalauan gajah dari kawasan desa pada tanggal 30 Januari lalu.

“Kami berupaya untuk menghalau kawanan gajah ke sungai namun karena banyaknya penambang emas tanpa izin di sungai mengakibatkan kawanan gajah tidak mau melewati sungai, baru pada malam hari ketika aktifitas penambang berhenti kawanan gajah itu akhirnya mau melewati sungai” kata Krismanko. Menurutnya peningkatan jumlah penambangan emas tanpa izin, perkebunan, pembalakan liar serta banyaknya saw mill ilegal membuat kawanan gajah terkepung dan tidak bisa keluar dari kawasan itu.

Kondisi inilah yang membuat upaya penghalauan gajah menjadi semakin sulit. Setelah melakukan upaya pengusiran selama lebih kurang 1 minggu akhirnya kawanan gajah berhasil dihalau keluar dari kawasan itu. Dalam upaya penghalauan ini seorang anggota tim mengalami cedera akibat kontak fisik dengan seekor gajah dalam kawanan tersebut dan masih dirawat di rumah sakit. Ada 34 ekor gajah yang berhasil dihalau dari kawasan tersebut.

Menyadari kondisi ini PT. AHL juga menyatakan komitmennya untuk konservasi gajah. “Saat ini kami berencana membuat jalur untuk gajah (elephant trail)” jelas Hertiadhi. Namun ia mengakui pihaknya mengalami kendala dalam membuat jalur untuk gajah  karena kawasan yang akan dijadikan jalur untuk gajah itu telah dikuasai oleh masyarakat. PT. AHL tengah berupaya untuk mempersempit ruang gerak gajah tanpa merugikan gajah ataupun masyarakat.

Ada beberapa upaya yang ditempuh untuk mempersempit ruang gerak gajah salah satunya adalah dengan melakukan penghalauan. Selain itu pemeliharaan lebah madu di kebun yang terletak di pinggir jalur gajah juga dapat mencegah gajah masuk ke dalam kebun karena gajah takut lebah madu. Disamping itu memelihara lebah madu juga akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat.

Merujuk pada data yang dimiliki oleh Frankfurt Zoological Society (FZS) pada tahun 2011 terdapat sekitar 150 ekor gajah di lanskap Bukit Tigapuluh. Jumlah ini terus menurun drastis akibat berubah fungsinya kawasan hutan menjadi perkebunan, pertambangan dan pemukiman.

Catatan redaksi:

Tulisan ini telah diperbaiki pada tanggal 11 Februari 2014 dengan koreksi: PT Arangan Hutani Lestari (AHL) bukan milik PT H.M. Sampoerna, melainkan Group Sampoerna melalui Samko Timber Limited.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,