Proses penguasaan lahan di negeri ini terindikasi kuat lekat dengan praktik-praktik korupsi hingga memunculkan banyak permasalahan, dari kerusakan lingkungan sampai konflik sosial dengan masyarakat. Menyikapi masalah ini, berbagai organisasi pun membentuk koalisi rakyat anti korupsi pertahanan. Pada Selasa (11/2/14), sekitar 11.000 an koalisi bersama warga petani dari berbagai daerah akan melaporkan massal korupsi pertanahan ini ke KPK. Mereka juga akan aksi ke Mabes Polri dan BPN.
Anwar Sastro Ma’ruf, Presiden Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) mengatakan, dalam aksi ini akan ada laporan massal kepada KPK mengenai kasus-kasus korupsi pertanahan yang terjadi di Indonesia. “Ini penting karena dampak korupsi pertanahan ini tak hanya 11 ribuan petani ini, tetapi jutaan orang yang alami masalah petanahan,” katanya dalam jumpa pers Koalisi Rakyat Anti Korupsi Pertanahan di Jakarta, Senin (10/2/14).
Koalisi ini terdiri dari Walhi, KPA, Sawit Watch, KPRI, JKPP, Elsam, IHCS, Kontras, SPI dan organisasi petani di Jawa Barat serta banyak lagi. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, aksi belasan ribu warga ke KPK ini wujud protes masyarakat yang selama ini mengalami banyak kerugian karena hak guna usaha (HGU) cacat dan terindikasi korupsi.
Dia mengatakan, korupsi pertanahan ini, diduga kuat melibatkan banyak pihak, salah satu aparat keamanan, tak hanya aktor di lapangan tetapi lebih dari itu. Mengapa? “Pengerahan pasukan bukan satu dua, kadang satu pleton. Mobilisasi banyak ga mungkin cuma bicara lapangan. Jadi sangat kuat indikati keterlibatan di tingkat atas,” kata Abetnego.
Kala berbicara penerbitan HGU pun, katanya, proses juga panjang hingga titik-titik korupsi banyak sekali. Guna mengawal masalah ini, katanya, koalisi berencana membuat pos pengadaan warga tentang masalah pertanahan ini. “Pandangan kami korupsi pertanahan dan sumber daya alam itu pundi-punda pemilu yang banyak dipakai kandidat,” katanya.
Dia berharap, momentum ini memberikan pesan kuat bahwa penyelesaian masalah pertanahan tak bisa ditunggu terlalu lama.
Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, banyak praktik-praktik penguasaan lahan di negeri ini yang terindikasi kuat korupsi. “Konflik agraria sebagian besar akibat korupsi. HGU dan izin-izin penuh penyuapan. Izin penuh penyuapan, dalam poses rampas lahan warga, hasilnya gelapkan pajak,” katanya.
Dia mengatakan, ada beberapa praktik dugaan korupsi pertanahan, seperti manipulasi ganti rugi perkebunan PTPN. Dari laporan masyarakat, dulu tanah-anah di PTPN VII Cinta Manis, merupakan perkebunan dan garapan penduduk desa.
Saat PTPN masuk mereka diminta menyerahkan lahan dengan ganti kerugian Rp150.000 per hektar. Oleh tim pembebasan tanah, mereka mendapatkan pembayaran hanya Rp25.000 per hektar. Luas garapan tanah menjadi berkurang jauh alias dibayar tak sesuai ukuran awal. Terjadi juga rekayasa dalam penggantian kerugian. “Penerima ganti rugi tanah banyak dimanipulasi.”
Lalu, dugaan pemerasan dan ganti kerugian Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)-Lapindo. Perpres 48/2008, area terdampak yang ditetapkan pemerintah, tanah-tanah akan dibeli pemerintah. Untuk itu, para penduduk harus mengosongkan area terdampak. Pemerintah, melalui BPLS menetapkan harga pembelian rumah dan bangunan Rp1,5 juta per meter, tanah kering atau pekarangan Rp1 juta dan tanah sawah Rp120 ribu per meter.
Selisih harga yang jauh ini menyebabkan banyak oknum memanfaatkan, misal dengan menarik pungutan dari warga. Bahkan, sampai mengancam jika tak diberi fee maka tanah akan ditetapkan sebagai sawah agar harga murah.
Tak hanya itu. Ditemukan pula tanah-tanah yang dibeli BPLS ukuran terus berkurang hingga 10 persen. Ganti kerugian berdasarkan verifikasi luasan tebaru. “Ada tim BPN, pemda dan masyarakat. Hasil verifikasi selalu berkurang. Ganti rugi pakai sertifikait ini. Modus ini sering dilakukan,” ujar dia.
Untuk itu, perlu ada penelusuran lebih lanjut di pihak warga dengan tanah dibeli memakai “ukuran baru” apakah dilaporkan sama dalam dokumen pembelian yang tercatat di BPLS. Sebab, dokumen pembelian melampirkan sertifikat atau girik yang melampirkan ukuran lama. Ada juga laporan masyarakat, bahwa tanah-tanah fasilitas umum dan sosial dijual kepada BPLS. “Ini terjadi karena ada kerjasama antara pihak di BPLS dan oknum pemerintah desa.”
Praktik korupsi lain, kata Iwan, HGU tak sesuai luas kebun. Bahkan, ada merambah kawasan hutan tetapi dibiarkan. Kasus HGU tak sesuai luas kebun, katanya, terjadi di PTPN VII Cinta Manis. Izin lokasi dan izin usaha perkebunan, PTPN ini seluas 20.500 hektar. Namun, data BPN Sumatera Selatan, sertifikat HGU perkebunan ini hanya 6.500 hektar. “Kebun-kebun ini tak bayar pajak dan retribusi dengan benar karena HGU lebih kecil dari wilayah operasional. Kenapa dibiarkan?”
Aksi seperti ini kerap terjadi, HGU tak bisa terbit diduga karena tak ada dokumen pembebasan lahan. Namun, bisa juga sengaja tak didaftarkan. Dengan begitu, manipulasi pembukuan dalam produksi, keuntungan dan pajak mudah dilakukan oleh perkebunan.
Dalam iklim korporasi buruk, kata Iwan, sisa luas tanah tak ber-HGU bisa dipakai untuk mempertahankan jabatan, menutupi target produksi bahkan bancakan pejabat perkebunan dalam lobi politik, sumbangan parpol, preman dan lain-lain.
Bondan Andriyanu dari Sawit Watch menambahkan, praktik-praktik itu memang banyak terjadi di berbagai daerah. Dia mencontohkan, di Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, ada kebun sawit luas izin HGU dan peta kerja tak sama. Peta kerja lebih luas.
Iwan mengatakan, dugaan korupsi lain terjadi karena penggunaan tanah untuk kerjasama operasional (KSO). Padahal, praktik seperti ini tak boleh alias melanggar SK pemberian HGU yang menyatakan penerima HGU wajib mengusahakan tanah sendiri. “KSO dengan pihak ketiga rawan korupsi.”
Paktik di lapangan, kerapkali perusahaan atau koperasi yang berhubungan dengan pejabat-pejabat perkebunan itu. Banyak perkebunan negara melakukan KSO yang malah merugikan maupun terlampau murah tapi terus dilakukan.
Dia mencontohkan, KSO antara PTPN II dengan Koperasi Nuansa Baru dan CV Bintang Meriah dalam pengelolaan kebun Limau Mungkur seluas 922 hektar. Kerjasama pada 2009, koperasi dan CV Bintang Meriah hanya wajib menyetor 120 ton TBS sawit per bulan.
“Kerja sama tak masuk akal. Serahkan 120 ton TBS per bulan, padahal harusnya seribuan ton lebih. Selisih ini yang dibagi-bagi mereka,” ucap Iwan.
Dugaan korupsi juga pada penyalahgunaan wewenang. Dalam aturan penerbitan HGU, HGB dan hak pakai atas tanah harus melalui proses baik dan tidak ada klaim pihak lain atau berkonflik. Kenyataan, pada lahan-lahan bersengketa kerap dikeluarkan izin-izin, seperti HGU PTPN II di Sei Mencirim Deli Serdang, PTPN IX di Sambirejo Sragen, PTPN VIII di Perkebunan Bunisari Lendra – Garut, dan lain-lain.
“Banyak HGU keluar di lahan bersengketa. Ini rawan korupsi dalam proses penerbitannya. Keadaan ini juga menjadi penyebab mengapa banyak terjadi konflik lahan.”
Kala kasus sengketa ini dibawa pengadilan, lembaga ini hanya melihat bukti formil. Lagi-lagi, warga kerab menjadi bulan-bulanan, bahkan dikriminalisasi karena berupaya mempertahankan lahan mereka.
Laporan akhir tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperlihatkan konflik agraria cenderung mengalami peningkatan. Bahkan, tahun ini KPA mencatat korban jiwa naik drastis, sampai 522%. Tahun 2012, warga tewas tiga orang, tahun ini menjadi 21 orang. Korban lain, 30 orang tertembak, 130 mengalami penganiayaan dan 239 warga ditahan.
Sedang pelaku kekerasan dalam konflik agraria sepanjang 2013 didominasi kepolisian sebanyak 47 kasus, keamanan perusahaan 29 kasus dan TNI sembilan kasus.
Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 (8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.
Konflik terbesar di sektor perkebunan tetapi luasan wilayah terbesar sektor kehutanan. Sektor kehutanan, area konflik agraria terluas sekitar 545.258 hektar disusul perkebunan 527.939,27 hektar dan pertambangan 197.365,90 hektar. Dibandingkan 2012, ada peningkatan areal konflik 318.248,89 atau naik 33,03 persen. Dari sisi jumlah kasus naik 198 atau 86,36 persen.