Konflik Meletus di Bekas Perkebunan Sawit, Aparat Kepolisian Turun Tangan

Puluhan warga transmigrasi Singkut VII, Desa Batu Putih, Kecamatan Singkut, Kabupaten Sarolangun bersiaga menjaga perkebunan mereka sejak pagi, 8 Februari lalu. Berbekal senjata api rakitan, senapan angin, senjata tajam serta bambu runcing.

Ada isu jika warga pendatang asal Desa Pantai dan Desa Rantau Kadam Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan hendak membalas pembakaran 26 pondok ladang yang terjadi tiga hari sebelumnya.

Aparat kepolisian dan TNI serta Asisten I Arief Ampera, Kepala Kantor Kesbangpol Linmas Edi Kusmiran bersama Camat Pelawan Singkut Samsurizal juga hadir di tengah-tengah warga Desa Batu Putih. “Betul, tadinya kita mendapat informasi bakal ada penyerangan dari warga penggarap yang pondoknya dibakar warga trans,” kata Samsurizal.

Kapolsek Singkut AKP A. Lubis mengaku kondisi masih kondusif. “Kita imbau agar warga tidak terpancing oleh provokasi,” kata Lubis kepada Mongabay Indonesia, 8 Februari lalu. Lubis juga meminta masyarakat mengaktifkan sistem keamanan keliling (siskamling) secara bergiliran.

Surono, warga setempat menceritakan, pagi itu sekira jam 6 pagi, lima orang warga hendak menyadap karet di kebun mereka yang tak jauh dari lahan yang digarap masyarakat pendatang asal Sumatra Selatan. Tiba-tiba mereka mendengar berkali-kali letusan senjata api rakitan. Diduga yang meletuskan tembakan adalah para pendatang yang menggarap lahan warga eks perkebunan sawit PT Duta PT Duta Multi Inti Palma Perkasa (DIPP).

“Suara tembakan itu bikin mereka takut. Suaranya terdengar dari beberapa arah. Mereka memilih cepat pulang dan batal menyadap karet,” kata Surono, warga setempat kepada Mongabay-Indonesia, 8 Februari lalu.

Wiji, seorang warga lain juga mendengar letusan itu. Ia menengok langsung  banyak orang yang berada di seberang desanya dan membawa senjata api rakitan. “Saya melihat sendiri para pendatang itu berkerumun seakan ingin menyerang kami,” katanya.

Atas kejadian itu para warga Desa Batu Putih banyak memilih tetap untuk berada di desa dan bersiaga. “Kami berhak mempertahankan lahan kami. Lahan kami punya sertifikat dan setiap tahun kami membayar pajak, tetapi kami tidak pernah menikmati hasil. Warga pendatang justru yang merebut lahan kami,” ujar Surono.

“Kami mempersenjatai diri sebagai bentuk kewaspadaan. Ancaman mereka  sangat serius dan tidak main-main. Jika kondisi tidak segera diselesaikan pemerintah daerah dan aparat bisa saja terjadi bentrokan dan jatuh korban jiwa,” Surono menjelaskan.

Pembakaran Pondok Ladang Didukung Aparat Kepolisian

Ketegangan ini bermula sejak 5 Februari lalu. Sekitar jam 10 pagi, ratusan warga gabungan dari beberapa desa di bawah naungan Koperasi Koperasi Harapan Abadi membakar 26 pondok ladang milik pendatang asal Sumatra Selatan itu yang berada di lokasi eks perkebunan sawit PT DIPP.

Saat didatangi, pondok-pondok ladang nyaris kosong melompong. Hanya ditemukan beberapa barang mereka seperti satu unit sepeda motor merk Yamaha jenis Jupiter Z, satu unit angkong dan tiga butir peluru tajam kaliber 9 mm. Warga juga menemukan sebuah tulisan bernada teror yang berbunyi,” Kami hari ini kalah. Besok menang. Besok siapa yang mati tergeletak,” demikian bunyi tulisan di pondok.

Warga berani membakar karena lahan yang digarap para pendatang asal Sumatra Selatan itu adalah hak milik warga transmigrasi. Lokasi lahan inilah yang merupakan perkebunan sawit eks PT DIPP. Bahkan sebagian besar lahan sudah bersalin menjadi kebun karet dan palawija.

Menurut Ketua Koperasi Mandiri, Abdul Muthaha, konflik ini sudah terjadi sejak 2006 silam lalu antara masyarakat transmigrasi dengan PT DIPP – dulu dimiliki Susanto Lim.

Sejak 1999, PT DIPP mendapat konsesi izin kelapa sawit seluas 7.000 hektare yang berlokasi di Kecamatan Singkut Kabupaten Sarolangun. Namun yang sudah ditanam sekitar 5.200 hektare. Lokasi kebun tersebar di lima desa: Batu Putih, Pematang Kulim, Mekar Sari, Payo Lebar, dan Siliwangi – semuanya berada di Kecamatan Pelawan Singkut, Kabupaten Sarolangun.

Namun semuanya adalah petani plasma dan tak pernah mempunyai kebun inti. Karena terus berkonflik dengan masyarakat, PT PT DIPP  lantas hengkang pada 2006. “Puncaknya setelah base camp perusahaan dibakar massa pada 2005. Hampir 10 tahun konflik ini vakum,” kata Kapolsek Singkut, AKP A. Lubis.

“Lahan tersebut bukan tak bertuan, sertifikatnya atas nama masyarakat transmigrasi. Cuma karena berkonflik lama tak bisa dipanen hingga dipenuhi semak belukar,” kata Abdul Munthaha kepada Mongabay-Indonesia, 7 Februari lalu. Abdul tinggal di transmigrasi Singkut II, Desa Payo Lebar, Kecamatan Singkut – sekitar 15 kilometer dari transmigrasi Singkut VII, Desa Batu Putih.

Sejak perusahaan hengkang, kebun ini mulai diduduki para pendatang dari Sumatra Selatan. Mereka membangun pondok-pondok ladang dan memanen kebun sawit tersebut.

Lubis membantah jika kepolisian dinilai mendukung tindakan anarkis warga dengan membakar pondok ladang para pendatang. “Karena sudah lama tak selesai selama hampir 10 tahun. Masyarakat setempat dengan pendatang juga tak bisa berkomunikasi maka tidak ada cara lain. Kita mendukung masyarakat yang punya legalitas yaitu tanah bersertifikat,” Lubis menjelaskan.

PT DIPP telah memasang iklan di internet sejak 20 Oktober 2012 lalu untuk menjual kebun sawit secara keseluruhan. Tarif yang dipatok Rp 65 juta per hektare.

Dari salinan dokumen yang didapat Mongabay-Indonesia tertulis bahwa Komisaris PT DIPP, Ferry Tan (beralamat di Pontianak, Kalimantan Barat) menyerahkan kuasa penuh kepada Hendi S. (beralamat di Jambi) untuk menjual kebun tersebut dengan kesepakatan masyarakat atau koperasi mendapat kompensasi dari hasil penjualan kebun. Suara kuasa tersebut tertanggal 7 Mei 2012. Namun tak diketahui persis kebun ini dijual kepada perusahaan milik siapa.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,