,

Transparansi dan Ketersediaan Data Deforestasi Indonesia jadi Sorotan

Pada pada 7-8 Februari 2013, Satgas REDD+ dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bertemu dengan sekitar 50 an pakar dan pemerhati kehutanan di Jakarta, membahas metodologi perhitungan deforestasi Indonesia. Kali kedua, pada Jumat (7/2/14), Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bersama Badan Pengelola REDD+ mendiskusikan hal serupa.

Hari itu, sekitar 70 ahli kehutanan dari berbagai negara berkumpul membahas deforestasi, pengelolaan data, informasi dan badan pelaporan emisi sektor kehutanan. Dari Indonesia, hadir ahli‐ahli Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kemenhut, Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan Bappenas.

Diskusi kali ini menghasilkan beberapa kesimpulan penting, antara lain mengenai transparansi dan ketersediaan data. Agar lebih transparan, perlu ada laporan tahunan yang menampilkan seluruh metodologi dan ketersediaan semua data kehutanan bagi publik. Lalu, bersama‐sama menambah atau melengkapi data Kemenhut guna mencapai konsistensi, integritas dan akuntabilitas.

Untuk itu, langkah‐langkah yang perlu diambil antara lain membandingkan antara peta Kemenhut dan University of Maryland (UMD). Kemudian, memanfaatkan produk  seperti INCAS, UMD,  dan lain-lain serta mengeluarkan kumpulan data kehutanan yang kuat tetap dipertahankan dengan melibatkan pemerintah daerah sebagai wali data hutan lokal dan universitas setempat.

Mengenai perbedaan defenisi deforestasi, dibuat pendekatan sederhana dengan berkonsentrasi pada hutan alam yang tersisa. Prioritas utama adalah deforestasi bruto dari data atau informasi hutan alam, dan konsisten dengan pedoman metodologis REDD+.

Dalam diskusi itu juga menyepakati, wewenang institusi terkait penghitungan deforestasi harus diperjelas. Semua alat dan metodologi dalam mendukung transparansi pun harus diperkuat sebagai kunci memperbaiki tata kelola kehutanan.

Kuntoro Mangkusubroto, Kepala UKP4  mengatakan, dengan begitu banyak perbedaan opini dan ketidaksepakatan mengenai pendekatan penghitungan laju deforestasi maka harus menemukan cara terbaik. “Cara terbaik menghitung laju deforestasi sangat penting bagi kita dalam mengukur kemajuan dalam pengelolaan hutan di Indonesia,” katanya dalam rilis kepada media di Jakarta, Senin (10/2/14).

Kuntoro mengingatkan, harus ada pengertian sama bahwa hutan di Indonesia berbeda dengan hutan di belahan bumi utara.“Lahan gambut banyak terdapat di bawah hutan alam kita perlu diperhitungkan serius.”

Hutan alam, katanya, tak hanya sekumpulan tegakan‐tegakan pohon, tapi ada kefragaman hayati yang akan hilang bila pohon ditebangi. Namun, keragaman hayati sangat jarang dibahas dalam diskusi‐diskusi pengurangan emisi deforestasi dan degradasi hutan.

“REDD+ mempunyai lingkup jauh lebih luas dari sekadar mempertahankan pohon berdiri di hutan, namun ekosistem, keragaman hayati dan mereka yang hidup bergantung pada hutan.”

Data Penolakan dan Penundaan Ijin Kemenhut
Untuk mencegah deforestasi dan mencapai target pengurangan emisi, selama masa moratorium pemerintah telah mengeluarkan daftar penolakan dan penangguhan ijin konsesi kepada perusahaan terutama di area yang telah ditetapkan dalam peta moratorium/ PIPIB. Klik pada gambar untuk memperbesar
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,