,

Pengungsi Sinabung Mulai Stres sampai Ada yang Bunuh Diri

Gunung  Sinabung masih erupsi. Sebagian warga belum bisa pulang ke rumah. Mereka sudah berbulan-bulan di pengungsian mengalami masa-masa berat. Ada yang stres, depresi sampai bunuh diri.

Ema Pinem, seorang relawan mengatakan, dalam dua bulan terakhir, pengungsi terlihat mulai melamun, diam, terkadang sampai menangis dan putus asa. Bahkan, seorang pengungsi nekat bunuh diri akibat tak mampu menahan cobaan.

“Awalnya seorang pengungsi di GBKP Simpang VI, Jalan Meriang Ginting, Kabanjahe, sempat depresi. Keluarganya di Medan membawa korban ke Medan. Dua hari disana, dia bunuh diri,” katanya.

Sebagai relawan, dia mencoba menghibur pengungsi dengan berbagai kegiatan positif, mulai menyiapkan hiburan adat Karo, menonton film bersama, hingga hiburan organ tunggal untuk bernyanyi dan menari bersama.

Khusus buat perempuan, jadwal memasak dengan agenda bervariasi. Setiap yang bertugas memasak, diajak jalan ke Kota Kabanjahe, memilih menu yang ingin disajikan pada pengungsi lain.

Sedangkan pria, diberikan kegiatan menambah nilai ekonomis. Salah satu, meracik kopi di pasar tradisional Berastagi, menganyam tikar, dan berbagai kegiatan lain. Khusus anak-anak, setiap hari disiapkan guru pendamping buat mereka belajar.

Para relawan bersama Univeristas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Negeri Medan (Unimed) sudah menyiapkan lokasi untuk belajar mengajar.

Rosdiyana Husein, Psikolog dari Universitas Medan Area (UMA), menyatakan, penyebab stres bagi pengungsi, karena mata pencarian hilang menyebabkan gangguan ekonomi keluarga yang berdampak pada biaya hidup anak-anak.

Mereka juga tidak tahu bagaimana kondisi alam khusus  Sinabung akan normal, belum lagi masa depan tidak pasti akibat kondisi desa belum bisa dihuni. “Pengungsi selama ini bertani, berkumpul dan bercengkrama dengan keluarga besar di sebuah rumah mungil, dan banyak kegiatan lain. Setelah mengungsi, itu tidak ditemukan lagi. Mereka rindu akan rumah, tetapi kalau kembali belum bisa. Itu yang membuat mereka stres, ” kata Rosdiyana.

Untuk menghilangkan stres dan jenuh pengungsi, langkah utama menyiapkan psikolog untuk membantu mereka menyelesaikan cara menghadapi stres. Lalu, menyiapkan siraman rohani atau penguatan agama, dengan menurunkan ustad, dan pendeta serta tokoh agama lain. “Khusus psikolog, mereka bisa dijadwalkan, begitu juga siraman rohani. Jadi setiap hari selalu ada kegiatan menghilangkan stres dan kejenuhan.”

Relawan berupaya mengurangi kejenuhan pengungsi dengan memberikan beragam kegiatan, termasuk bagi anak-anak kecil, antara lain dengan bernyanyi dan bermain bersama. Foto: Ayat S Karokaro
Relawan berupaya mengurangi kejenuhan pengungsi dengan memberikan beragam kegiatan, termasuk bagi anak-anak kecil, antara lain dengan bernyanyi dan bermain bersama. Foto: Ayat S Karokaro

Pantauan Mongabay di sejumlah desa radius lima kilometer dari kawah Sinabung, debu vulkanik masih tebal menutupi udara Karo. Seperti di Desa Tiga Nderket, Kabanjahe, Karo, warga menggunakan masker penutup hidup, karena debu masih tebal. Rumah dan tanaman warga ditutupi debu vulkanik.

Sinabung, masih terus erupsi dan mengeluarkan debu tebal, serta menutupi sebagian besar rumah warga Karo. Tim penanggulangan bencana gabungan TNI, Polri dan SAR, masih terus menyisir radius tiga hingga lima kilometer guna mengantisipasi aktivitas warga di zona berbahaya wajib kosong.

Relokasi

Bagaimana nasib para pengungsi yang tinggal di radius bahaya ini? Menurut Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah merencanakan merelokasi  mereka.

Saat ini, telah didata warga yang tinggal radius dua hingga lima kilometer. Jumlah sebanyak 1.255 jiwa atau 389 keluarga. Rencana relokasi ini, berdasarkan rekomendasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Dia menyebutkan, daerah yang mesti direlokasi, yakni Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem. Daerah ini sangat terancam awan panas, aliran lava, gas beracun, dan lontaran batu pijar jika Sinabung meletus dengan kekuatan besar. Di Desa Sukameriah, 450 jiwa atau 137 keluarga. Di Desa Bekerah 338 jiwa atau 115 keluarga, dan Desa Simacem 467 jiwa atau 137 keluarga. “Kondisi perumahan dan pertanian ketiga desa ini, banyak rusak.”

Model relokasi, mengadopsi rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat dan permukiman berbasis komunitas, seperti di Merapi. Dalam relokasi, warga diberikan bantuan tanah 100 meter persegi untuk perumahan dengan bangunan rumah tipe 36 per keluarga.

Unit hunian, bangunan inti sederhana, disesuaikan bentuk lokasi dengan dua kamar tidur, kamar tamu dan kamar mandi atau WC. Konstruksi bangunan memenuhi kriteria struktur tahan gempa, termasuk orientasi bangunan menghadap jalan untuk memudahkan evakuasi. Juga, mempertimbangkan aspek pencahayaan, dan penghawaan alami, serta menerapkan konsep eco-settlelement.

“Lahan pertanian masih boleh untuk berkebun tetapi tidak boleh tempat tinggal. Saat ini, Pemda Karo masih mencari lahan di luar radius lima kiometer yang aman.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,