Penelitian: Metode RIL Tidak Signifikan Tekan Emisi Karbon

Melakukan upaya untuk menekan dampak penebangan di konsesi Hutan Tanaman Industri dengan metode Reduced Impact Logging (RIL) sebelumnya dipercayai bisa menekan emisi karbon dibandingkan metode pemanenan dengan cara yang standar, yang dinilai meninggalkan jejak bekas kerusakan tebangan lebih banyak. Namun sebuah kajian yang dilansir oleh dua peneliti dari The Nature Conservancy (TNC) dan seorang peneliti dari Universitas Florida justru menyatakan sebaliknya, menebang dengan metode Reduced Impact Logging dalam prakteknya tidak signifikan memberikan dampak dalam menekan emisi karbon di Indonesia.

Bronson Griscom dan Peter Ellis dari The Nature Conservancy dan Jack Putz dari Universitas Florida mengevaluasi sembilan lokasi konsesi di wilayah Kalimantan, dengan mengukur ukuran lebar jejak penebangan dan jumlah pohon yang terdampak oleh pemanenan. Dari jumlah yang ditemukan di lapangan tersebut, mereka memperkirakan nilai emisi yang terjadi melalui metode RIL dan membandingkannya dengan pembalakan dengan metode standar.

Apa yang ditemukan oleh para pakar ini sungguh mengejutkan: metode Reduced Impact Logging (RIL) seperti yang dipraktekkan di Indonesia setidaknya, ternyata tidak signifikan menekan emisi karbon dibandingkan dengan penebangan yang konvensional.

“Kami menemukan bahwa sejumlah konsesi yang bersertifikasi Forest Stewardship Council (FSC, N=3), saat dibandingkan dengan konsesi yang tidak bersertifikasi (N = 6), kami tidak menemukan jumlah emisi karbon dioksida yang lebih rendah dalam aktivitas penebangan mereka, baik pada saat merobohkan pohon, memindahkan batang kayu dan pengangkutan,” ungkap tulisan ini.

Masalahnya, menurut para penulis, adalah praktek Reduced Impact Logging tidak dilakukan dengan benar di lapangan, terkait dengan adanya sistem insentif yang bertentangan. Sebuah lansir blog dari TNC menyatakan bahwa, para peneliti mengidentifikasi empat upaya untuk menekan emisi karbon, namun tidak semua praktek ini dikenal dengan sebutan RIL dan tidak dilakukan secara konsisten di lapangan, keempat praktek ini seharusnya bisa menekan emisi karbon dari aktivitas penebangan di Indonesia sekitar 50%, tanpa mengurangi produksi kayu.

Tumpukan kayu hasil hutan Indonesia. Foto: Aji Wihardandi
Tumpukan kayu hasil hutan Indonesia. Foto: Aji Wihardandi

Cara ini termasuk dengan hanya menebang pohon-pohon yang bisa digunakan, tidak menebang pohon yang berlubang dan memiliki nilai ekologis, menggunakan sistem penarikan dengan kabel untuk menarik kayu dan bukan buldoser, dan melakukan penebangan terarah untuk menekan hilangnya biomassa. Para penulis mencatat bahwa kendati sistem RIL atau pengurangan dampak penebangan tidak secara eksplisit menargetkan pengurangan emisi, fokus pada isu “menunjuk padaadanya jeda penting dalam skema pengurangan dampak penebangan yang ada.”

“Untuk memperjelas hubungan antara RIL dan pengurangan emisi , kami mengusulkan istilah yang lebih eksplisit ‘RIL-C’ untuk merujuk pada subset dari praktek RIL yang dapat didefinisikan oleh ambang terukur dan hasilnya terlihat dalam pengurangan emisi yang terukur pula,” tulis mereka. “Jika sertifikasi hutan tropis yang dihubungkan dengan pengurangan emisi CO2, standar sertifikasi perlu secara eksplisit memerlukan praktik RIL-C.”

Meskipun demikian, hasil penelitian ini meragukan apakah pengurangan dampak penebangan bisa menerima insentif di bawah skema REDD+. Griscom dan rekannya berpendapat bahwa perbaikan sederhana dapat menghasilkan pengurangan emisi, tapi pertanyaannya adalah, apakah perbaikan ini akan benar-benar dilaksanakan di lapangan, terutama dalam konsesi-konsesi yang minim pemantauan seperti yang ada di Kalimantan. Bahayanya adalah REDD+ secara efektif bisa mensubsidi logging di hutan dengan stok karbon tinggi (High Carbon Stock Forst) seperti hutan hujan yang sudah tua tanpa memotong emisi, sementara di sisi lain menurunkan nilai biologis dan ketahanan ekologi daerah.

Bill Laurance dari Universitas James Cook mengatakan bahwa dirinya lebih memilih pendanaan yang disediakan oleh REDD+ digunakan untuk hal lain dibandingkan menyubsidi penebangan di hutan primer. “Dibandingkan menggunakan dana dari REDD+ untuk menekan karbon akibat penebangan, saya lebih baik menggunakan dana seperti itu untuk membeli hutan yang sudah ditebang atau terdegradasi dan menjaganya dari konversi,” ungkap Laurance kepada Mongabay.com. “Indonesia sendiri memiliki 35 juta hektar hutan yang sudah ditebang, sebagian besar ditebang untuk perkebunan kelapa sawit dan bubur kayu. Hutan-hutan yang sudah ditebang ini masih memiliki keragaman hayati dan karbon yang besar, dan karena sebagian kayu yang bisa dijual sudah hilang maka  bisa sangat efektif dari segi harga untuk menekan dan menyelamatkan keragaman hayatinya.”

CITATION: Griscom, B., P. Ellis & F.E. Putz. 2014. Carbon emission performance of commercial logging in East Kalimantan, Indonesia. 2014. Carbon emissions performance of commercial logging in East Kalimantan, Indonesia. Global Change Biology, 20:3. doi: 10.1111/gcb.12386

http://www.youtube.com/watch?v=cYJ67edob68

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,