Wilmar Berupaya Lanjutkan Pembukaan Lahan Saat Jalani Komitmen Nol Deforestasi

Beberapa perusahaan besar yang bertanggung jawab atas perusakan besar-besaran dari hutan hujan di masa lalu, telah mulai berkomitmen untuk mematuhi kebijakan nol-deforestasi. Salah satunya adalah Wilmar, produsen minyak kelapa sawit yang terbesar di dunia saat ini. Wilmar menandatangani komitmen nol-deforestasi pada tangga 15 Desember 2013.

Keputusan itu disambut baik oleh komunitas internasional dan mendapat banyak pujian.  Namun kasus PT. Wilmar Nabati Indonesia (PT. WINA), sebuah anak perusahaan dari Wilmar, menunjukkan bahwa fakta di lapangan tidak semanis janji yang dibuat.

“Perusahaan PT. WINA yang sebelumnya dikenal sebagai PT. Mekar Bumi Andalas (PT. MBA) sangat terkenal secara internasional sebagai perusak hutan mangrove di daerah pesisir dan tepi Sungai Berenga di daerah Teluk Balikpapan (Kalimantan Timur, Indonesia) pada tahun 2007-2008. Kerusakan hutan mangrove ini sedang diselidiki oleh RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan kasus tetap tidak terselesaikan, sehingga menghalangi Wilmar untuk mencapai sertifikasi produk mereka,” kata peneliti dari Republik Ceko, Stanislav Lotha.

Perusakan Mangrove akibat perluasan Lahan. Foto: Hendar
Perusakan Mangrove akibat perluasan Lahan. Foto: dok. Stan Lotha

Bahkan saat ini, Wilmar mengusulkan menambah pembukaan hutan dalam konsesi yang seluasnya 150 ha di Teluk Balikpapan. Hampir seluruh konsesi Wilmar terletak di hutan yang memiliki keragaman hayati yang sangat tinggi dan merupakan habitat penting bagi bekantan dan spesies langka lainnya. RencanaWilmar adalah mengubah ekosistem ini menjadi kawasan industri pengolahan minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO). Rencana tersebut sangat berbeda dengan kebijakan nol-deforestasi yang diumumkan Wilmar baru-baru ini. Dalam kebijakan ini, Wilmar berkomitmen untuk segera menghentikan penebangan hutan yang mempunyai nilai konservasi tinggi (High Conservation Value, atau HCV).

Ada indikasi bahwa Wilmar mencoba untuk menghindari keterbatasan yang ditetapkan oleh kebijakan baru mereka dengan mengusulkan bahwa hutan yang akan dikonversi bukanlah salah satu dari hutan dengan nilai konservasi tinggi. Sebuah insiden baru-baru ini di Balikpapan mendukung kecurigaan ini.

Perluasan lahan yang dilakukan Perusahan pengolahan CPO. Foto: Hendar
Perluasan lahan yang dilakukan Perusahan pengolahan CPO. Foto: dok. Stan Lotha

“Pada 28 Januari 2014, Wilmar menyelenggarakan konsultasi publik AnalisisMengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan evaluasi nilaikon servasi hutan, berkaitan dengan rencana pembangunan pabrik pengolahan minyak sawit mentah di Teluk Balikpapan. Surat undangan 24 Januari 2014 dan itu termasuk daftar panjang LSM konservasi, seperti WWF, TNC, BOS-F, WALHI, antara lain, serta akademisi dan peneliti. Namun, undangan untuk menghadiri pertemuan itu tidak dikirim oleh Wilmar untuk kebanyakan organisasi, dan hanya satu dari mereka yang terdaftar menerima undangan tertulis resmi, tetapi terlambat,” ungkap Stan.

Beberapa organisasi menerima telepon tersebut, tapi itu pun hanya satu hari sebelum pertemuan sehingga terlambat bagi semua orang untuk hadir. Hal ini bahkan diperparah dengan tempat konsultasi publik (sebuah sekolah di desa TelukWaru) terlalu sulit untuk diakses bagi kebanyakan peserta.

Pada Selasa, 11 Februari 2014, total 18 LSM konservasi dan peneliti menanggapi Wilmar dengan surat resmi  di mana mereka mengeluh tentang konsultasi publik mengenai isu-isu lingkungan penting yang seharusnya menyertakan mereka. Organisasi-organisasi ini menganggap konsultasi publik 28 Januari lalu tidak sah karena ketidakhadiran mereka, dan mengharuskan Wilmar melaksanakan konsultasi publik satu kali lagi. Mereka ingin undangan dikirim via e-mail setidaknya satu minggu sebelum konsultasi publik dilaksanakan, dan tempat tersebut harus dapat diakses serta para peserta harus menerima bahan pendukung yang ditulis bersama-sama dengan undangan.

Bekantan di Teluk Balikpapan. Foto: Hendar
Bekantan di Teluk Balikpapan. Foto: dok. Stan Lotha

Sementara itu pihak Wilmar saat dikonfirmasi melalui e‑mail: [email protected], mengatakan bahwa pihaknya telah mengundang beberapa LSM dalam konsultasi publik dan menurutnya merupakan suatu hal yang menurutnya cukup baik. “Mengenai undangan, kami sadari tahu hal itu sangat mendesak, berhubung dalam penentuan lokasi kami berdiskusi dengan pihak BLH dan aparat pemerintahan daerah dan keputusan mengenai lokasi kegiatan. Dimana hasil keputusannya aparat pemerintah daerah meminta agar hal itu dilaksanakan di daerah terdekat dengan area operasional perusahaan, tujuannnya agar bisa sebanyak mungkin anggota masyarakat dapat menghadiri kegiatan tersebut,” kata  Eka Saputra. Ditambahkan Eka, dalam acara tersebut tidak satupun LSM yang hadir, tetapi dari respon beberapa LSM yang diundang memberi tanggapan yang positif terhadap kegiatan tersebut.

Kasus PT. WINA di Teluk Balikpapan menjadi ujian yang penting bagi Wilmar tentang komitmen kebijakan baru mereka. Organisasi seperti Greenpeace atau The Forest Trust (TFT), yang telah terlibat dalam penandatanganan kebijakan nol-deforestasi Wilmar, akan secara rutin memantau perkembangan yang sedang berlangsung di Teluk Balikpapan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,