Letusan Gunung Kelud: Evakuasi Satwa Ternak Tidak Tertangani

Puluhan satwa ternak jenis sapi di Desa Asmorobangun, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, gagal dievakuasi saat terjadinya erupsi gunung Kelud, Jumat (13/2) lalu. Letusan gunung Kelud yang sangat cepat diduga menjadi penyebab tidak dapat dievakuasinya satwa ternak ke tempat yang lebih aman.

Menurut Ketua Kelompok Tani Gangsar Makmur, Sarono, antisipasi dan rencana evakuasi tidak berjalan dengan baik akibat cepatnya rentang waktu status awas dengan terjadinya erupsi.

“Meletusnya sekitar jam sebelas malam. Sebelumnya kita sudah antisipasi termasuk untuk persediaan pakan, kemudian penjagaan juga sudah kita siapkan sedemikian rupa, akan tapi letusannya demikian cepat. Akhirnya beberapa dari pengurus kami ada yang tetap jaga disini, tapi ada yang menyelamatkan diri bersama keluarganya,” tutur Sarono kepada Mongabay-Indonesia.

Sejumlah kandang rusak dan pakan tidak tersedia saat letusan Gunung Kelud terjadi. Foto: Petrus Riski
Sejumlah kandang rusak dan pakan tidak tersedia saat letusan Gunung Kelud terjadi. Foto: Petrus Riski

Jarak antara Desa Asmorobangun dengan gunung Kelud yang mencapai 12 kilometer, menjadikan kawasan itu hujan batu dan material lainnya dari gunung Kelud saat letusan terjadi. Dampak yang dapat dilihat adalah kerusakan parah kandang-kandang satwa ternak akibat kejatuhan batu seukuran kelereng hingga bola tenis yang bersuhu panas.

“Keadaan kandang normal saat sebelum letusan. Tapi setelah ada bencana itu, setelah adanya letusan Kelud, kandang yang dari asbes (atapnya) semua itu gak kuat, hancur,” ucap Mali, salah satu peternak di Desa Asmorobangun.

Tidak hanya atap kandang satwa ternak yang terbuat dari asbes, atap rumah warha yang terbuat dari genting juga banyak yang hancur. Meski demikian, Sarono memastikan bahwa tidak ada satwa ternak sapi milik anggota Kelompok Tani Gangsar Makmur yang menjadi korban atau mati.

“Korban ternak mati tidak ada, mungkin hanya lecet dan lain sebagainya. Untuk pakan, kandang itu rusak semua seperti ini,” ujar Sarono yang menyebut sekitar 70 lebih sapi warga selamat.

Sarono mengungkapkan, upaya pemerintah untuk mengevakuasi satwa ternak ke tempat yang lebih aman sudah ada sebelumnya, namun cepatnya erupsi Kelud dari penetapan status awas membuat warga panik dan tidak sempat menyelamatkan satwa ternaknya.

“Rencana evakuasi memang ada dengan lokasi evakuasi yang telah disiapkan, seperti di sebelah barat posko pengungsian Desa Asmorobangun, di Kecamatan Puncu dilapangan Desa Puncu. Meski tempat sudah siap, semua panik memikirkan keselamatan nyawa manusia, tidak sempat menyelamatkan ternaknya,” terang Sarono yang menduga kondisi paling parah dan berpotensi ada ternak yang mati terjadi pada desa terdekat gunung Kelud.

Pakan dan kandang tak berfungsi setelah abu vulkanik menimpa wilayah terdampak. Foto: Petrus Riski
Pakan dan kandang tak berfungsi setelah abu vulkanik menimpa wilayah terdampak. Foto: Petrus Riski

Belum adanya evakusai satwa ternak diakui Ketua Bidang Penanganan Informatika Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Kabupaten Kediri, Adi Suwignyo. Adi mengatakan upaya mengungsikan satwa ternak telah direncanakan sebelumnya, untuk mengantisipasi warga yang enggan mengungsi karena alasan menjaga ternak.

“Rencana semula saat waspada kita sudah rencanakan pengungsian ternak dilakukan, agar pemilik ternak mau mengungsi. Karena biasanya kalau ternak tidak diungsikan, pemiliknya juga tidak mau mengungsi. Kenyataannya gunung Kelud meletus dengan cepat, evakuasi oleh satlak dan pemda mengutamakan mengungsikan manusia dahulu,” papar Adi Suwignyo.

Hingga kini banyak satwa ternak masih berada di rumah-rumah warga yang ditinggalkan mengungsi, meski sesekali ada warga yang keluar dari pengungsian untuk kembali menengok rumah serta ternak yang ditinggalkan.

Sementara itu Sarono menambahkan, meski letusan gunung Kelud sudah berkurang intesitasnya, saat ini para peternak kesulitan mencarikan pakan bagi satwa ternak mereka.

“Pakan ternak cukup sulit carinya, meski kita sudah persiapkan tapi sudah tercampur abu, cari di lahan pun juga sulit karena sudah kering. Lahan rumput gajah juga hancur. Sekarang kita bingung, dan yang kita pikirkan adalah pakan, kalau ada pakan yan kita pakankan bersama yang penting ini ada pakan untuk ternaknya,” jabar Sarono.

Sarono berharap pemerintah membantu mencarikan solusi persoalan peternak, terutama untuk pengadaan pakan serta pembangunan kembali kandang sapi warga yang hancur.

Harapannya segera kita mendapat fasilitas dari pemerintah, karena kandang tempat berusaha para peternak kami ini, seperti apa kami juga masih bingung. Memang tenaga kerja kita pasti gotong royong dan ikut berpartisipasi, tapi untuk atap kayu dan lain sebagainya harus pengadaan,” lanjut Sarono sambil menunjukkan kerusakan kandang ternaknya.

Adi Suwignyo yang juga sebagai Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kabupaten Kediri mengutarakan, pemerintah akan membantu persoalan pakan satwa ternak warga, salah satunya dengan mengirim petugas membagikan pakan untuk ternak-ternak yang masih tertinggal di rumah.

“Kita gunakan konsentrat, sehingga memberi makan sekali bisa sampai sore. Makanan ternak telah diusahakan bekerjasama dengan perusahaan pakan ternak, dan juga bantuan pakan dan obat-obatanan ternak dari Pemprov Jatim,” imbuh Adi Suwignyo yang hingga kini belum menerima laporan satwa ternak mati akibat letusan gunung Kelud.

Kondisi satwa yang memprihatinkan akibat persiapan evakuasi yang minim. Foto: Petrus Riski
Kondisi satwa yang memprihatinkan akibat persiapan evakuasi yang minim. Foto: Petrus Riski

Penilaian ProFauna Indonesia

ProFauna Indonesia telah membentuk tim penilaian yang terdiri dari 5 orang, untuk melakukan penilaian tentang dampak letusan gunung Kelud terhadap satwa di Kabupaten Kediri dan Malang mulai tanggal 14 Februari 2014. Penilaian dilakukan untuk satwa liar dan juga satwa ternak.

Ketua ProFauna Indonesia Rosek Nursahid kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, hingga kini dampak erupsi gunung Kelud terhadap satwa liar belum terganggu sepenuhnya, sehingga masih dapat bertahan dnegan makanan yang ada di alam. Turunnya beberapa satwa liar seperti monyet, babi hutan dan kijang dinilai belum mengalami gangguan serius, termasuk potensi terjadinya konflik dengan manusia. Persoalan serius kata Rosek justru terjadi pada satwa ternak, yang tidak sempat terevakuasi pada saat erupsi gunung Kelud terjadi.

“Jadi ProFauna menilai tidak ada masalah serius dengan satwa liar dari erupsi Kelud ini, tetapi masalah terbesar justru pada satwa ternak, terutama di Kabupaten Malang, di Kecamatan Ngantang. Masalahnya pemerintah sangat tidak siap,” kata Rosek.

Rosek mengungkapkan, pada saat terjadi bencana alam seperti letusan gunung Kelud, pemerintah seharusnya mengetahui bahwa di desa tersebut merupakan sentra peternakan. Pemerintah seharusnya sudah mengantisipasi dengan menyediakan tempat penampungan satwa ternak di lapangan terbuka yang luas yang memiliki shelter.

“Seharusnya evakuasi dilakukan sejak awal untuk satwa ternak itu. Kenapa terjadi korban manusia, karena para petani atau peternak itu memaksa bertahan karena terlalu sayang dengan satwa ternaknya. Jadi selama satwa ternak itu tidak dilakukan evakuasi, mereka akan selalu naik kembali ke kampungnya, walaupun kampunyaberada pada zona yang berbahaya,” tegas Rosek.

Sementara itu untuk peternakan ayam yang ada di Sabiyu, Kecamatan Kenteng, Rosek menyebut kondisinya mengenaskan akibat telah ditinggal pemiliknya. Peternakan yang berisi ribuan anak ayam itu sudah tidak terurus, dan diperkirakan anak-anak ayam itu akan mati akibat dehidrasi dan terkena abu vulkanik bila tidak segera ditangani.

“Manajemen penanganan satwa ini berujung pada upaya memberikan keselamatan dan keamanan bagi manusia dan masyarakat. Saya lihat itu yang masih lemah untuk diantisipasi,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,