, ,

Badan REDD+ dan IIASA Kerjasama Penanganan Deforestasi Berbasis Lanskap

Badan REDD+ pada Senin (17/2/14) menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan  International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) guna menangani deforestasi dengan perspektif lanskap (bentang alam). Dua provinsi di Jambi dan Kalimantan Timur, menjadi proyek percontohan dari Tropical Forest Initiative (TFI), proyek kerja sama IIASA ini.

Di Indonesia, TFI hadir lewat Komite Nasional Indonesia untuk Aplikasi Analisa Sistem (INCASA), sebagai perwakilan keanggotaan Indonesia di IIASA. Indonesia menjadi anggota IIASA sejak Juni 2012. Koordinator INCASA Kementerian Riset dan Teknologi dan UKP4, dan diketuai Kuntoro Mangkusubroto.

Heru Prasetyo, Kepala Badan REDD+ mengatakan, ini MoU pertama kali sejak badan ini terbentuk akhir tahun lalu. Dia berharap, hasil kerja sama dengan IIASA ini bisa tertuang dalam kebijakan dan dapat dimplementasikan. “Saya percaya REDD+ jalan untuk solusi climate change dan pembangunan,” katanya pada hari itu di Jakarta.

Dia sadar, Badan REDD+ tak bisa berjalan sendiri tetapi harus kerja bersama-sama. Terlebih kondisi di Indonesia, dengan hutan tropis, dan bergambut. “Jadi, menangani deforestasi agak susah. Apalagi 60 persen emisi karbon dari hutan dan gambut, terutama disebabkan alih fungsi lahan.”

Dia juga mengatakan, berbicara mengenai hutan tak hanya tentang pohon, tetapi keragaman hayati dan masyarakat adat maupun lokal yang berdiam di dalamnya.  “Bagaimana membahas kehidupan masyarakat? Ini kompleksitas di dalam mengelola hutan. Ini sangat sulit. Ini bicara tentang ekosistem,” ucap Heru.

Kesulitan juga datang dari defenisi deforestasi yang berbeda antara Indonesia dan di luar. “Jadi ini harus sepakat dulu.

Tak jauh beda diungkapkan Agung Wicaksono, dari UKP4 dan INCASA. Dia mengatakan, berbicara menekan deforestasi (REDD+),  katanya, tak hanya karbon. “Ini bicara tentang hidup, melindungi hutan, keragaman hayati dan manusia yang ada di sana.”

Untuk model di Jambi dan Kaltim, katanya, INCASA, menjembatani IIASA dan World Agroforestry Centre (ICRAF) dengan universistas di Jambi dan Kaltim, serta pemerintah daerah.  Ditambah lagi, belajar dari penerapan model di Brazil.

Dia berharap, dari percontohan nanti bisa menjadi kebijakan nasional. Sebab, kata Agung, di Indonesia, kebijakan masih sektoral. “Model ini bisa ditarik ke level nasional dengan potret menyeluruh dan melibatkan semua stakeholder.”

Microsoft Word - Document7

Peta pertama menggambarkan tutupan hutan yang masih relatif 'hijau'. Namun, ketika dioverlay dengan izin-izin yang sdah dikeluarkan, tutupan hutan menyusu drastis. Bagaimana hutan Indonesia, ke depan?  Sumber: Kementerian Kehutanan
Peta pertama menggambarkan tutupan hutan yang masih relatif ‘hijau’. Namun, ketika dioverlay dengan izin-izin yang sudah dikeluarkan, tutupan hutan menyusut drastis. Bagaimana hutan Indonesia, ke depan? Sumber: Kementerian Kehutanan

Pada kesempatan itu, Agung juga menjelaskan, komitmen Indonesia, menekan emisi karbon sebesar 26 persen pada 2020 dibarengi berbagai permasalahan kehutanan yang dihadapi.

Dia mencontohkan, tumpang tindih perizinan perkebunan, tambang, HTI dan lain-lain. “Ambil contoh di Kalimantan Timur, jika peta di-over lay, tumpang tindih gila-gilaan, antara hutan, kebun, tambang,” ujar dia.

Belum lagi, konflik lahan antara pemegang izin dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Begitu pula ketika melihat peta tutupan hutan Indonesia, dari Kementerian Kehutanan, masih cukup ‘hijau.” Namun, ketika peta di-overlay dengan izin-izin yang sudah dikeluarkan, maka tutupan hutan tinggal kawasan-kawasan kecil yang terfragmentasi.

Dengan ada data base terintegrasi, katanya, bisa dijadikan pintu masuk dalam pengelolaan hutan lebih baik. “Jadi ini tantangan, bagaimana menyeimbangkan pengembangan ekonomi bersamaan dengan melindungi hutan.”

Sonya Dewi dari ICRAF menjelaskan, model perencanaan penggunaan lahan yang mereka terapkan, yakni Luwes dan Lumens. Menurut dia, model ini terintegrasi yang melibatkan berbagai pihak, dari petani, masyarakat lokal (adat), pemerintah, sampai pengusaha. “Jika ada masalah, konflik, negoisasi. Ini sistem negoisasi.”

Idam Suhardi, Deputi Kementerian Riset dan Teknologi mengatakan,  tak mudah menerapkan penanganan deforestasi lewat lanskap ini. Contoh kecil, masalah defenisi deforestasi saja belum sama. “Perlu standar-standar internasional dan kesepakatan-kesepakatan. Ini tak mudah. Disitulah tantangannya.” Belum lagi, deforestasi bukan hanya berbicara pohon tetapi semua yang ada di sana.

Meskipun begitu, Paval Kabat, Direktur Jenderal IIASA yakin, dengan menggabungkan pemerintah, lembaga non pemerintah dan para ahli dari berbagai penjuru dunia bisa menjadi dasar pemecahan masalah untuk masa depan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,