, ,

HKm, Bisa Kurangi Kemiskinan dan Jaga Hutan tapi Tak Dianggap

Sayangnya, meskipun berdampak positif pada pengurangan kemiskinan dan menjaga lingkungan hutan, izin buat HKm ini terbilang lambat.

Hutan kemasyarakatan (HKm) diyakini mampu menekan kemiskinan masyarakat di dalam maupun sekitar hutan. Manfaat ganda diperoleh dengan pola ini, masyarakat mendapatkan penghasilan, dan hutan tetap terjaga. Hal ini diperkuat penelitian LIPI di beberapa HKm maupun pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang menunjukkan perbaikan kehidupan warga sekitar. Sayangnya, seakan tak mendapat perhatian pemerintah. Berbagai kalangan mengharapkan,  hasil positif ini bisa diperhatikan pemerintah hingga menjadi model pemberantasan kemiskinan di dalam dan sekitar hutan.

Demikian salah satu benang merah diskusi terbatas “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat untuk Menanggulangi Kemiskinan,” di Jakarta, Kamis (20/2/14). Hadir sebagai pembicara, Wiratno, Direktur Bina Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan; Gutomo Bayu Aji, Peneliti LIPI, Rustanto Suprapto, Direktur Eksekutif Sulawesi Community Foundation; Hasbi Berliani, Kemitraan; dan Tambiyo, Ketua Peguyupan HKm Gunung Kidul Yogyakarta. Diskusi dipandu Wimar Witoelar, Pendiri Yayasan Perspektif Baru.

Gutomo Bayu Aji, mengatakan, dari studi LIPI pada masyarakat yang kebetulan ada HKm di Lampung, menunjukkan, kontribusi positif dan mengurangi kemiskinan.

Namun, keberhasilan ini tak terjadi secara nasional, baru pada level komunitas. “Di level komunitas itu bisa mengurangi kemiskinan sampai 10 persen.” Sayangnya, model HKm ini seakan tak ditangkap pemerintah pusat menjadi salah satu upaya pengentasan kemiskinan.

Sedang Kemenhut, katanya, mengadakan program ini bukan fokus pada pengentasan kemiskinan. “Anggapan Kemenhut, kemiskinan bukan urusan mereka. Kemiskinan itu urusan kementerian lain.”

Padahal, katanya, HkM (social forestry) itu positif dalam perbaikan kehutanan sekaligus mengentaskan kemiskinan.  Untuk itu, dia berharap, program ini bisa ditangkap pemerintah pusat dan menjadi kebijakan nasional.

Penelitian LIPI, kata Gutomo, dilakukan pada HKm di kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Register 45B terletak di Kecamatan Sumberjaya. Yaitu, pada kelompok tani hutan (KTH) Bina Wana Lestari di Desa Tribudi Syukur, KTH Mitra Wana Lestari Sejahtera di Desa Tugu Sari dan KTH Setia Wana Bhakti di Desa Simpang Sari.

Dalam paper LIPI berjudul Strategi Pengurangan Kemiskinan di Desa-desa Sekitar Hutan (Pengembangan Model PHBM dan HKm) menyebutkan, sampel survei terhadap 200 rumah tangga (RT) petani hutan anggota KTH. Pemilihan responden dengan proposional, 126 RT di Bina Wana Lestari, 34 RT Mitra Wana Lestari Sejahtera dan 40 RT di Setia Wana Bhakti.

Contoh di Bina Wana Lestari. Dalam paper itu disebutkan, warga yang diteliti ini para transmigran. Awalnya, penguasaan lahan hutan anggota rata-rata 1,21 hektar, dengan luas minimum 0, 2 hektar dan maksimum 3,75 hektar. Lalu, sekitar 67,5 persen RT Bina Wana Lestari menguasai lebih satu hektar hutan dengan jenis tanaman kopi, padi, agung, lada, nilai, dan sayuran seperti cabai dan tomat. Lalu, buah-buahan, coklat, jahe, kemiri, pinang dan cempaka, randu dan tenam.

Terdata, dengan ada HKm penguasaan lahan menjadi lebih luas. Awal mula hanya 0,46 hektar menjadi 1,67 hektar. Jadi, rata-rata mendapat tambahan 1, 21 hektar. Pendapatan masyarakatpun meningkat,  per tahun rata-rata mencapai Rp25,140 juta.

Dampak positif pengelolaan hutan oleh masyarakat juga terjadi di Gunung Kidul. Tambiyo, berbagi cerita tentang PHBM di Gunung Kidul. Mereka mempunyai paguyupan petani yang mendapat izin pengelolaan hutan dari Kemenhut pada 2007 seluas 1087,65 hektar, mencakup 13 desa pada enam kecamatan. Wilayah itu, katanya, mencakup agroforestry dan hutan lindung (HL). Di kawasan, HL dibangun wisata alam, seperti di Batu Payung. Umur kayu 7-20 tahun, potensi tanaman 500-800 pohon per hektar.

Mereka sudah membangun kelembagaan kelompok, ada tujuh koperasi. Saat ini mereka mengalami kendala. Sebab, kayu jati sudah berumur 10-18 tahun dan siap tebang tetapi mereka belum panen. “Pada 2012, dapat izin satu tahun, 2013 tak bisa panen karena sempit, waktu panen habis buat urus dokumen dan RKT yang diserahkan ke KPH Yogyakarta. Akhirnya belum bisa panen kayu.”

Bagi dia, pengelolaan hutan oleh warga ini sangat berarti. Dia mencontohkan, Koperasi Setia Makmur, mengelola 115 hektar dengan 254 keluarga. Mereka, kata  Tambiyo, sangat merasakan HKm membantu ekonomi sekaligus menjaga lingkungan hutan. “Sebelum ada HKm  pendidikan SD sudah jadi buruh, sekarang sudah ada peningkatan. Banyak SMP dan SMA,” katanya.  Dalam masa tanam nol sampai lima tahun, petani memanfaatkan lahan dengan tanman tumpang sari, plus beternak, seperti kambing dan sapi.

Salah satu usaha yang dikelola warga di Hutan Desa Labbo adalah peternakan lebah. Mereka biasa panen dua kali dalam setahun, dengan hasil panen untuk setiap petani berkisar antara 10-20 kotak atau 40-80 botol. Foto: Wahyu Chandra

Sedang Rustanto mengatakan, respon daerah dalam membuat kebijakan bagi masyarakat sekitar hutan itu sangat penting. “Jika semua level kabupaten ada kebijakan maka akan memaksa dinas dan instansi sektor lain mendukung kegiatan masyarakat di desa-desa.” Dia mencontohkan di Kabupaten Bulukumba,  Sulsel, setelah ada HKm sekarang ada seksi HKm, dan mendapat alokasi dana APBD.  “Jadi harus ada kombinasi dari kebijakan, perubahan struktur di pemda dan kerja sama dengan yang lain.”

Dia mengatakan, sejak 2006, fokus pada komunitas di sekitar dan dalam hutan di Sulsel, antara lain mendampingi komunitas masyarakat di Bantaeng, Sulsel. “Mereka sangat termarginalisasi dalam pelayanan. Akses kesehatan tak bagus, pendidikan sulit, begitu juga layanan-layanan lain.” Untuk itu, mereka berpikir, bagaimana mengangkat kemampuan komunitas di sekitar dan dalam hutan ini. Sebab, mereka hidup  di sekeliling sumber daya alam yang kaya. “Banyak kasus, malah mereka malah distigma jadi perambah atau pencuri kayu.”

Kehidupan warga ini, akan tambah sengsara ketika kawasan hutan menjadi ‘milik’ perusahaan, akses mereka dipersulit. “Double beban, tak ada perusahaan susah. Ketika ada perusahaan tambah konflik.” Meskipun dia tak menampik ada perusahaan-perusahaan yang bisa bekerja bersama warga, tetapi mayoritas malah berkonflik.

Perkembangan HKm Lambat

Sementara itu, tak rahasia lagi, guna mendapat izin HKm atau hutan desa di Kemenhut bukan perkara mudah. Meskipun, selalu digadang-gadang sebagai program ‘penyelesaian konflik’ oleh Kemenhut, tetapi pemberian izin lamban.

Hasbi Berliyani mengatakan, sebenarnya komitmen pemerintah untuk sosial forestry sudah 20 tahun lalu. “Ini janji pemerintah. Tapi sampe Des 2013, itu hanya 15 persen dari target dicanangkan 2,5 juta hektar. Hanya 362 ribu hektar,” ujar dia.

Kondisi ini memperlihatkan, rapor Kemenhut merah untuk HKm. Dia menilai, kelambatan ini karena tiga hal utama. Pertama, birokrasi perizinan sangat panjang. “Ada yang menganalisis, sampai 29 meja dilewati untuk mendapatkan SK Menhut buat alokasikan wilayah pada masyarakat. Ia melalui empat Direktorat Jenderal. Yang cepat ada enam bulan, tetapi ada sampai tiga Lebaran (tiga tahun) ga dapet.”

Kedua, target ini tak serta merta masuk ke pemerintah daerah (pemda). “Ada missing link antara Kemenhut dan pemda.”  Ketiga, masalah anggaran minim, dengan target besar. “Jadi, semacam komitmen lisan diatas kertas. Sedang implementasi patut dipertanyakan karena anggaran rendah. Idealnya, jika Kemenhut ingin lepas 500 hektar per tahun dana sekitar Rp300 miliar,” ujar dia.

Ketiga, dari rekomendasi LIPI, pengentasan kemiskinan lewat kehutanan rakyat menunjukkan kontribusi signifikan tetapi masih di bawah Kemenhut, belum lintas sektoral. Untuk itu, perlu mengangkat HKm ini agar menjadi perhatian pemerintah sebagai salah satu cara atasi kemiskinan di kawasan hutan.

Wiratno tak membantah kelambanan ini. Menurut dia, jika memang pro rakyat seharusnya pemerintah kongkrit dalam memberikan dukungan pendanaan. “Ini tak hanya di Kemenhut juga di daerah, baik provinsi dan kabupaten.”

Dia mengatakan, dalam pemberian izin HKm kadang menghadapi berbagai kendala di lapangan. Misal, UPT tak cepat mengidentifikasi, ada tumpang tindih (overlapping) baik wilayah hutan maupun permohonan HKm ada di dua wilayah administrasi berbeda. Tak hanya, itu, kesulitan juga terjadi di internal Kemenhut.

“Untuk peta saya harus ke Planologi, dan lain-lain. Biasa, urusan rakyat memang kebagian di pinggir. Peta HPH dan tambang lebih cepat diproses. Ini memang ada mis komunikasi di antara eselon I. Ini jadi tugas saya sekarang,” ucap Wiratno. Dia menjabat posisi ini baru hitungan bulan. Dia berharap, pro rakyat yang menjadi ‘tagline’, bukan hanya jargon di DPR.

Diapun merasa terganggu dengan izin HKm maupun hutan desa yang begitu lama, misal, sampai tiga tahun. “Ada izin HKm dua tahun, tapi kalo ga dikelola gugur. Ini ga pro rakyat, seenak udel. Kalo akses rakyat dibuka akan bagus. Ini bukan perusahaan-perusahaan besar.  Keberpihakan ini penting. Level bawah harus ada hutan desa, model yang dikelola bersama dengan pemda. Nanti bisa belajar dari HKm model.”

Wiratno menyadari terjadi ketimpangan besar penguasaan lahan di negeri ini antara perusahaan dan rakyat “Hutan kita 130 juta hektar tapi defakto siapa yang menguasai?” Menurut dia, sudah saatnya berlaku rezim pemberdayaan dengan bekerja bersama-sama. “Harus dikeroyok rame-rame.”  Ke depan, katanya, Kemenhut tak hanya memberikan izin juga akan mendampingi masyarakat dalam mengelola lahan.

 Laporan penelitian LIPI tentang PHBM dan HKm yang bisa mengurangi kemiskinan

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,