, ,

Eksploitasi SDA di Indonesia Perparah Krisis Pangan

Indonesia rawan krisis pangan karena berbagai macam persoalan, terutama eksploitasi dan dominasi sumber daya alam (SDA) oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif, seperti sawit dan tambang. Taufiqul Mujib, Koordinator Kampanye, Peningkatan Kapasitas dan Pengetahuan Oxfam Indonesia, mengatakan, keadaan ini, mengakibatkan kekacauan iklim dan degradasi ekologis.

Persoalan lain, katanya, liberalisasi sistem perdagangan pangan, dan marjinalisasi penghasil pangan skala kecil. Lalu, kebijakan pangan membahayakan, dan ketidakstabilan harga pangan, serta perempuan terlempar dari akses tanah dan air.

Indeks ketahanan pangan Indonesia tahun 2012,  jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Berdasarkan rilis Oxfam, untuk Asia Tenggara, dari tujuh negara, Indonesia pada urutan kelima. Peringkat pertama, Malaysia, disusul Thailand, Vietnam, dan Fhilipina. Indonesia di atas Myanmar bn Kamboja dengan kategori moderat. Di tingkat global, Indonesia pada peringkat 65 dari 105 negara.

Oxfam mencatat, alih fungsi lahan terjadi 110.000 hektar per tahun. Jika luas lahan baku tahun 2002 seluas 7.748.840 hektar, 2011 lahan baku tinggal 6.758.840 hektar. Pada 2014, lahan baku diperkirakan tersisa 6.428.840 hektar.

“Jika lahan terus berkurang, diikuti kenaikan penduduk 1,4 persen, pada 2020 Indonesia dipastikan kekurangan pangan,” katanya kepada Mongabay, dalam Journalist Camp “Peningkatan Kapasitas Jurnalis dalam Mendukung Kampanye Keadilan Pangan” yang digelar AJI Gorontalo, 15-16 Februari 2014.

Dia mengatakan, peringkat Indonesia di tingkat Asia Tenggara hanya urutan kelima bisa dilihat dari indikator angka kecukupan gizi. Saat ini, Oxfam membuat rencana kebijakan bertanggung jawab yang tegas pada hak masyarakat untuk mendapatkan nutrisi cukup meskipun ada perubahan iklim. Oxfam menilai, swasta lebih bertanggung jawab mengurangi emisi dan turut serta mendorong kelentingan penghasil pangan skala kecil.

Selain itu, Oxfam mendorong penghasil pangan skala kecil tangguh dalam menghadapi perubahan iklim. Termasuk, konsumen sadar dan menuntut makanan diproduksi bertanggung jawab, dan membuat hidup mereka lebih berkelanjutan. Keadilan pangan itu, katanya,  ketika setiap laki-laki, perempuan, dan anak, memiliki akses fisik dan ekonomi setiap saat pada pangan layak.

Masalah di Gorontalo       

Sementara itu, Wawan Tolinggi, Dosen Pertanian Universitas Negeri Gorontalo (UNG), mengatakan, ada beberapa isu strategis ketahanan pangan di daerah ini berdasarkan evaluasi kinerja pembangunan daerah oleh Bappenas dan UNG tahun 2013. Antara lain,  pengelolaan sumber daya alam tak ramah lingkungan, alih fungsi lahan pertanian untuk keperluan lain makin tinggi, dan pemilikan lahan usaha tani masih kecil. Lalu, permodalan petani masih terbatas, penyuluh pertanian terkonsentrasi pada bidang pertanian, kelembagaan sektor pertanian belum mandiri, serta produk pertanian memiliki nilai tambah kecil.

Wawan mengkritik, beberapa kebijakan ketahanan pangan di Gorontalo. Sebab, pemetaan daerah rawan pangan oleh pemerintah daerah belum menjadi rekomendasi kebijakan penyusunan program kerawanan pangan di kabupaten dan kota. “Kebijakan peningkatan kapasitas produksi dalam menjamin ketersediaan pangan cenderung berorientasi pada padi dan jagung,” kata Wawan.

Pengelolaan cadangan pangan dalam menjamin ketersediaan pun belum optimal karena koordinasi antarinstansi dalam pencegahan dan penanggulangan rawan pangan, lemah. Sedang kebijakan distribusi pangan belum menjamin akses dan harga terjangkau masyarakat. Ditambah lagi, kebijakan peningkatan konsumsi dan keamanan pangan belum mendorong diversifikasi pola konsumsi berbasis pangan lokal.

Wawan menambahkan, peta kerawanan pangan pemerintah Gorontalo pada 2011 dan 2013 harus menjadi rekomendasi kebijakan termasuk solusi di kabupaten dan kota.

Menurut dia, pemda harus membuat standar makanan berkualitas termasuk penyediaan pangan wajib mempertimbangkan nilai-nilai kultural masyarakat dan keamanan pangan. Pemerintah, katanya,  perlu membuat kebijakan keragaman pangan lokal selain beras dan jagung.

Dia mengatakan, pemerintah harus konsisten menghentikan alih fungsi lahan pertanian produktif untuk kepentingan lain, misal perkantoran, bisnis dan perumahan. Sebab, di Gorontalo, terjadi 60 persen degradasi lahan. Tak kalah penting, pemda harus mengimplementasikan asuransi gagal panen (puso) bagi petani sesuai UU nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,