Walhi Aceh menyatakan, ribuan orang pada empat kabupaten di Aceh yakni Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Selatan dan Pidie, saat ini terancam serius terpapar penggunaan merkuri dari tambang emas. Ada 1.370 orang setiap hari bersentuhan langsung dengan logam berat berbahaya ini.
Muhammad Nur, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Banda Aceh, Jumat (21/2/14) menyebutkan, ada lima sentra pengolahan bijih emas dari penambangan rakyat cukup besar di Aceh. Yakni, di Gunung Ujeun (Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya), Sungai Mas di Kabupaten Aceh Barat, Sawang di Kabupaten Aceh Selatan, serta Tangse dan Geumpang di Kabupaten Pidie.
Penambangan skala lebih kecil lebih banyak lagi di kabupaten lain. Mereka menggunakan merkuri untuk memisahkan bijih emas dengan tanah dan bebatuan lain.
Penggunaan merkuri secara bebas dan tanpa pengawasan pihak berwenang ini, katanya, menyebabkan pencemaran air sungai dan air tanah. Apalagi, banyak gelondongan (sentra pengolahan batuan emas) dekat dengan pemukiman penduduk.
Walhi menyebutkan, setiap gelondongan dikelola empat sampai lima orang. Jumlah gelondongan tiap kabupaten mencapai 48– 87 unit. “Artinya, sebagian besar masyarakat sudah terkontaminasi langsung dengan bahan berbahaya ini. Masyarakat Aceh di bawah ancaman serius penyakit mematikan ini.”
Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh melakukan uji baku mutu air di Sungai Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, juga menemukan air sudah tercemar merkuri.
Menurut Cut Nazly, peneliti dari Bapedal Aceh, pada 2013 mereka menemukan dari enam titik lokasi sungai yang diuji sampel air, empat titik ditemukan logam merkuri dengan jumlah di atas ambang baku mutu air yang baik. Kadar merkuri tinggi di air sungai ditemukan pada saat puncak kerja pengolahan emas di mesin gelondongan yang banyak tersebar di dekat sungai dan pemukiman warga.
“Ini indikasi awal sungai sudah tercemar merkuri. Kalau dibiarkan bisa berbahaya.”
WWF Indonesia mendesak pemerintah segera menangani pencemaran merkuri di beberapa sungai di Aceh Jaya ini. Pemerintah diminta segera meneliti baku mutu air mengingat sungai-sungai itu menjadi sumber air kehidupan masyarakat.
Dede Suhendra, Project Leader WWF Indonesia Kantor Program Aceh, mengatakan, jika kondisi ini dibiarkan berlangsung khawatir kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Sabee maupun sub-DAS lain yang terhubung dengan lanskap kawasan ini, bisa tercemar.
Pemerintah diminta segera menghentikan dan mengambil tindakan tegas penggunaan merkuri ini. Juga segera mengkaji untuk mengetahui dampak yang telah ditimbulkan. Selain itu, pengawasan sangat ketat harus dilakukan pemerintah guna memastikan tidak ada penggunaan merkuri dalam berbagai kegiatan. “Pemerintah selama ini membiarkan penggunaan merkuri ini.”
Dede mengatakan, penggunaan merkuri yang tidak memiliki izin merupakan kejahatan jadi harus ditindak tegas. Apalagi, pada 10 Oktober 2013 lalu di Kumamoto, Jepang, sejarah baru dunia dicatat dimana lebih dari 140 negara termasuk Indonesia menandatangani konvensi Minamata tentang Merkuri atau The Minamata Convention on Merkury.
WWF mendukung upaya kepolisian yang mulai menyelidiki perdagangan ilegal merkuri di Aceh.“WWF juga menyerukan kepada Pemerintah Aceh segera menyusun kebijakan pelarangan atas pengunaan merkuri di Aceh.”
Untuk lokasi-lokasi penambangan ini, ada yang dibuka dalam kawasan hutan lindung, di atas gunung yang sulit dijangkau. Ia memerlukan kendaraan khusus yang bisa melalui jalan terjal dan berlumpur. Bahkan ada yang harus berjalan kaki selama berjam-jam karena tak ada jalan ke lokasi.
Namun, minat berburu emas tak surut. Bahkan pekerja khusus menggali emas di dalam lubang-lubang dalam dilakukan pekerja-pekerja dari luar Aceh seperti Sumatera Utara, Jawa, dan Sulawesi.
Walhi menyebutkan, dalam enam tahun terakhir ada 22 orang meninggal karena kecelakaan kerja seperti tertimbun longsor atau kehabisan oksigen dalam lubang galian. “Walhi prihatin dengan kejadian yang menimpa masyarakat Aceh maupun pendatang,” ucap Nur.
Saat ini, jumlah pekerja di sektor pertambangan 3.529 orang di 10 kabupaten dan kota. Ia tersebar di Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Kabupaten Subulussalam.
Walhi Aceh menyayangkan, baik warga yang mengambil kekayaan sumberdaya Aceh demi mengejar sesuap nasi tanpa memperhatikan keselamatan jiwa. Untuk itu, Walhi meminta pertanggungjawaban pemerintah dalam mengatasi persoalan serius ini.
Pemerintah, katanya harus segera memetakan kembali wilayah-wilayah pertambangan dan mempertegas status hukum. “Perlu tindakan tegas agar masyarakat untuk melakukan aktivitas berbahaya itu.”