Cegah Longsor, Generasi Muda Walhi Jogja Tanami Bukit Menoreh

Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB, Minggu, 23 Februari 2014 silam, sekitar lima puluh orang berkumpul di kantor Wahana Lingkungan Hidup Yogyakarta dan siap melakukan kegiatan penanaman pohon di Bukit Menoreh, Kulon Progo, Yogyakarta. Tak lama berselang berkisar sepuluh menit kemudian, mereka melakukan perjalanan sekitar satu jam menuju kediaman Tri Prasetyo, ketua Karang Taruna, Dusun Ngargosari, Desa Tegalrejo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

Sesampai di kediaman ketua karang taruna, mereka rehat sejenak sembari mengobrolkan rencana kegiatan penanaman pohon di lereng Bukit Menoreh. Kegiatan penanaman yang mereka namakan “Menanam Cinta di Bukit Menoreh” ini merupakan kedua kalinya. Sebelumnya tahun 2013 kegiatan dilaksanakan di dusun Selorejo, Ngargoretno, Salaman, Magelang.

Mulia Putri, dari Sahabat Lingkungan Jogja kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, tempat memang sama yakni di Bukit Menoreh, namun lokasi penanaman berbeda. Selain itu, tamanan yang kami tanam dikontrol oleh masyarakat di daerah tersebut, baik oleh kelompok tani dan karang taruna.

Aktivitas penanaman yang dilakukan oleh Walhi Jogja di Menoreh beberapa waktu lalu. Foto: Walhi Jogja
Aktivitas penanaman yang dilakukan oleh Walhi Jogja di Menoreh beberapa waktu lalu. Foto: Walhi Jogja

“Kami memilih Bukit Menoreh karena daerah ini rawan bencana longsor. Daerah ini juga menjadi daerah dampingan WALHI Jogja,” kata Mulia Putri menjelaskan soal kegiatan “Menanam Cinta di Bukit Menoreh (MCBM) #2” ini.

Bibit pohon yang ditanam diperoleh dari sistem “Donasi Pohon” yang merupakan bagian dari program Donasi Hijau WALHI Yogyakarta. Cara ini menjadi satu sarana untuk menggalang partisipasi aktif masyarakat. Donasi tanaman yang terkumpul dalam aksi penanaman ini digunakan untuk keperluan operasional kegiatan penanaman, seperti pengadaaan bibit, pupuk, polybag, dan lainnya.

Sebanyak 445 bibit pohon tanaman buah dan konservasi terdiri dari bibit durian 143 buah, duwet 35 buah, asam jawa 13 buah, preh 2 buah, sirsak 112 buah, alpukat 94 buah, rambutan 10 buah, Kluwih 5 Buah, Srikaya 23 buah dan Jambu Biji 8 buah dipersiapkan untuk ditanam di titik-titik yang telah ditentukan di lokasi.

Foto: Walhi Jogja
Foto: Walhi Jogja

“Sangat diperlukan pula edukasi kepada masyarakat sekitar agar terjadi keharmonisan antara masyarakat sekitar dengan alam,” kata Mulia Putri.

Direktur Eksekutif Walhi Jogja, Halik Sandera kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, daerah Bukit Menoreh punya keterancaman atau kerusakan tanaman dan hutan karena wilayah Menoreh sering terjadi longsor dan jenis tanaman yang tumbuh serta berkembang adalah tanaman kayu sehingga perlu diimbangi dengan pengembangan tanaman buah dan tanaman konservasi di wilayah-wilayah yang dijadikan kawasan lindung dan penyangga.

Selain itu, keterancaman lainnya yaitu adanya lokasi pertambangan di pegunungan Menoreh, seperti tambang marmer di Desa Ngargoretno Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang dan tambang emas rakyat di Kecamatan Kokap, Kulon Progo, DI Yogyakarta.

“Dampak kerusakan di Menoreh saat musim kemarau beberapa lokasi mengalami kekeringan dan kekurangan air bersih dan turunnya satwa liar ke lahan pertanian, disaat musim hujan banyak terjadi longsor,” kata Halik Sandera yang akrab disapa Chepot.

Chepot nemambahkan, dirinya memberikan apresiasi besar secara khusus untuk wilayah Desa Ngargoretno Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Masyarakat sudah membuat peraturan desa (PerDes) larangan berburu untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Namun hal tersebut tidak diimbangi oleh kebijakan pemerintah Kabupaten Magelang dimana Kecamatan Salaman, Magelang malah dijadikan kawasan pertambangan yang dituangkan dalam  dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Magelang.

Oleh karena itu, menurutnya, sudah seharusnya pengelolaan kawasan Bukit Menoreh dilakukan secara terintegrasi antar wilayah, karena secara administrasi berada di wilayah tiga kabupaten. Selain itu, perencanaan pengelolaan kawasan Menoreh harus melibatkan masyarakat sekitar secara partisipatif karena masyarakatlah yang paham tentang wilayahnya sehingga manfaatnya bisa diterima secara maksimal dan kawasan tetap terjaga dan lestari.

“Jika tidak ada tindakan baik untuk menyelamatkan Menoreh, bukan tidak mungkin bencana longsor, krisis air bersih dan krisis pangan bisa terjadi kembali,” tutup Chepot.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,