,

Menanti Penyu Dilindungi Adat Laut Aceh

Panglima laot di Ujung Pancu, membentuk kawasan konservasi perairan untuk melindungi potensi laut di sana dari ekspolitasi. Di kawasan ini diatur mana zona inti yang harus dilindungi, mana kawasan pantai peneluran penyu dan mana zona yang bisa dimanfaatkan nelayan.

Setiap musim timur tiba, itu masa bagi Jafaruddin Harun selalu melek setiap malam. Pria menjelang paruh baya ini rajin menjelajah pasir Pantai Lhoknga sejauh 3 kilometer, mencari tanda-tanda penyu ke darat. Lakon itu sudah dijalani sejak dua tahun lalu, sejak dia terpanggil untuk menyelamatkan telur-telur penyu, berlomba kecepatan dengan para pemburu yang ramai datang ke Lhonga.

Jika beruntung, Jafar akan mendapat utuh semua telur dalam satu sarang. Itu jarang terjadi. Para pemburu telur penyu lebih ramai, meski kini Jafar dibantu tiga orang kawan yang sekarang ikut patroli malam.

Bulan Oktober sampai Januari masa laut tenang, penyu-penyu Lekang dan Belimbing berukuran hingga dua meter akan datang ke pantai. Ini pantai pemandian yang setiap hari ramai dikunjungi warga. Pantai berpasir putih ini menghadap laut Samudra Hindia yang berombak besar.

Terletak hanya 15 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh di pinggir jalan menuju Meulaboh. Persis di sebrang jalan ada pabrik semen PT. Lafarage Cement Indonesia, yang selalu riuh dengan bunyi mesin dan lampu terang. Ajaib masih ada penyu berani datang ke pantai itu untuk bertelur.

Di Lhoknga, Jafar tinggal bersama istri dan dua anak yang masih kecil di warung beratap rumbia tanpa listrik. Sehari-hari mereka menjual minuman dan indomie rebus untuk pengunjung pantai. Di sisi warung Jafar menanam telur-telur yang didapat dalam lubang yang dipagari kawat. Februari 2014,  sudah empat kali telur menetas dari sarang yang berbeda;  41 lekang,  25 belimbing, 71 lekang dan 16 belimbing.

Jafar  mengundang anak sekolah dan mahasiswa datang melepas tukik-tukik ke laut. “Agar makin banyak generasi muda peduli sama penyu,”katanya.

Dari 300 telur yang ditanam di musim ini, hanya setengah yang menetas. Ternyata tidak gampang memastikan semua telur menghasilkan tukik. “Sarang yang telur lebih banyak, kemungkinan menetas lebih besar,” ucap Jafar.

Kualitas telur yang masih bagus, angin kencang, suhu udara yang terlalu panas mempengaruhi  kemungkinan telur menetas.  Jafar tidak pernah  belajar cara menetaskan telur penyu. Awalnya mencoba-coba. Kini, dia banyak belajar dari mahasiswa yang datang membantu membuat karantina yang lebih baik.

Selama musim penyu bertelur sejak Oktober 2013 sampai Januari 2014, sudah 32 penyu naik ke Pantai Lhoknga untuk bertelur. Sayangnya, Jafar hanya beruntung bisa menyelamatkan satu sarang utuh karena kebetulan si penyu bertelur dekat warung.  Selebihnya, dia harus berbagi dengan pemburu telur.  Ada pemburu yang rela membagi sedikit telur, tapi lebih banyak malah minta diganti dengan uang.

Jafar pun merogoh kocek membayar Rp4.000 per butir telur. Pemburu kebanyakan orang lokal di sekitar Lhoknga. Mereka mencari telur penyu sebagian dikonsumsi, sebagian dijual.

Mudah sekali menemukan penjual telur penyu di keramaian Kota Banda Aceh. Padahal, penyu adalah satwa laut terancam punah dan dilindungi Undang-undang.  Andoko, staf BKSDA Aceh yang sosialisasi penyelamatan penyu mengatakan, nyaris tak bisa melindungi telur penyu dari perburuan. “Hingga saat ini kami hanya bisa sampai taraf mengimbau agar orang-orang tidak mengkonsumsi telur penyu.”

Rahmad, aktivis penyelamat penyu mengatakan, dari empat pantai peneluran penyu di Aceh Besar dan di Aceh Jaya yang pernah disurvei. Setiap musim bertelur rata-ata ada 12.500 butir telur penyu diambil pemburu. Jika harga telur dijual di pasaran berkisar Rp5.000-Rp7.000 per butir, uang yang didapat lumayan, meskipun sebagian telur dikonsumsi sendiri.

“Para pemburu kebanyakan tidak tahu kalau penyu dilindungi UU. Perlu sosialisasi lebih banyak kepada warga.”

Aceh memiliki panjang garis pantai mencapai 1.660 Kilometer.  Pantai bagian barat Aceh mulai dari Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Aceh Selatan hingga Singkil merupakan tempat peneluran penyu utama.

Para pelajar, mahasiswa dan warga ramai-ramai  melepaskan tukik-tukik yang baru menetas di Pantai Lhoknga, hasil karantina Jafaruddin Harun dan tim. Foto: Chik Rini
Para pelajar, mahasiswa dan warga ramai-ramai melepaskan tukik-tukik yang baru menetas di Pantai Lhoknga, hasil karantina Jafaruddin Harun dan tim. Foto: Chik Rini

Dari enam jenis penyu di dunia, empat jenis penyu bertelur di pantai Aceh, seperti lekang atau abu-abu (Lepidochelys olivacea), belimbing (Dermochelys Coriacea ), dan hijau (Chelonia Mydas ). Jenis sisik (Eretmochelys imbricata) ditemukan bertelur khusus di Kepulauan Banyak, Kabupaten Aceh Singkil. Penyu-penyu ini datang dari Samudra Hindia, Selat Malaka dan Lautan Pasifik.

Perlindungan penyu yang bertelur hanya di Pulau Bengkaru-Kepulauan Banyak di Aceh Singkil. Kawasan ini merupakan Taman Laut yang dilindungi. Di pesisir daratan Aceh pemburu masih bebas mengambil telur.

Adat laut Aceh tidak melarang orang mengambil telur penyu. Menurut Panglima Laot Aceh Besar Baharuddin, dalam hukum adat laut di Aceh, jika menemukan telur penyu, semua harus dibagi rata sesuai jumlah orang di lokasi saat itu. “Namun jika menemukan penyu tersangkut di jaring nelayan, harus dilepaskan.”

Saat ini, beberapa kawasan lhok (pantai) di Kabupaten Aceh Besar ada insiatif masyarakat lokal mulai menyelamatkan telur-telur penyu. Tahun 2011, kelompok sadar wisata Kabari dan masyarakat untuk pertama kali melakukan karantina telur-telur penyu yang ditemukan di Pantai Lampu’uk dan Lange.

Sampai musim bertelur tahun ini, mereka bisa menyelamatkan lebih dari 1.000 telur penyu dengan presentasi keberhasilan menetas antara 48 persen–98 persen. Tahun pertama bisa selamatkan 100 telur, 2012 ada 230 telur dan 2013 bisa 700 telur.

Menurut Yudi, Ketua Tim Penyu Lampuuk, perburuan tinggi dan tim pemantau masih sedikit menyebabkan ada sarang-sarang terlambat diselamatkan dari predator seperti biawak dan anjing. Namun, sejalan dengan waktu, upaya mereka lakukan pelan-pelan mulai menarik perhatian masyarakat dan pemerintah. “Alhamdulillah, sekarang banyak masyarakat Lampu’uk mulai mendukung pelestarian penyu.”

Saat ini, ada lima tempat masyarakat lokal mulai bernisiatif meyelamatkan telur penyu dan menetaskan. Selain kelompok Jafaruddin di Lhoknga dan tim pemantau penyu di Lampu’uk, ada panglima laot di Ujung Pancu, ada juga kelompok masyarakat di Pantai Syiah Kuala Banda Aceh dan kelompok masyarakat di Panga Aceh Jaya.

Di Ujung Pancu, panglima laot kini membentuk kawasan konservasi perairan untuk melindungi potensi laut di sana dari ekspolitasi. Di kawasan ini diatur mana zona inti yang harus dilindungi, mana kawasan pantai peneluran penyu dan mana zona yang bisa dimanfaatkan nelayan. “Kami juga membuat aturan panglima laot dimana nelayan tidak boleh membuat pancing yang mata rapat supaya tidak berisiko terpancing penyu. Kami melarang nelayan memasang jala sejajar pantai jika ada laporan penyu akan naik ke pantai agar tidak menghalangi penyu naik,” kata Baharuddin.

Jaringan Advokasi  untuk Laut Aceh (Kuala) saat ini melakukan pendekatan dengan beberapa Panglima Laot di Aceh Besar untuk mendorong aturan adat dalam pengambilan telur penyu di alam. Menurut Sekretaris Jenderal Jaringan Kuala, Marzuki, mereka ingin adat laut Aceh memasukan perlindungan penyu.

“Kami berharap setiap telur penyu yang didapat, ada bagian yang sama banyak disisakan untuk alam, agar memastikan tetap ada tukik-tukik yang bisa menetas dan kembali ke laut setiap musim. Ini cara kita untuk membantu melestarikan penyu-penyu yang sudah hampir punah,” kata Marzuki.

Komunitas pecinta lingkungan dari gerakan Earth Hour Aceh menggalang kepedulian pelestarian penyu dengan menyerukan adopsi penyu untuk bisa orang-orang seperti  Jafaruddin Harun.

Nurjannah Husein, Koordinator Senior Earth Hour Aceh, mengatakan, masyarakat bisa memberikan dukungan pelestarian penyu dengan mengadopsi telur-telur penyu untuk membiayai tim patroli dan membangun tempat karantina lebih baik.

“Setiap musim peteluran penyu, kita bisa mengembangkan adopsi penyu untuk membantu masyarakat lokal menyelamatkan telur-telur penyu. Dengan dana yang cukup mereka bisa menyelamatkan lebih banyak telur lagi untuk ditetaskan.”

Jafaruddin Harun saat melepas penyu bersama komunitas Earth Hour Aceh. Foto: Chik Rini
Jafaruddin Harun saat melepas penyu bersama komunitas Earth Hour Aceh. Foto: Chik Rini
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,