,

Berwisata di Sungai Musi Bersama Amoniak dan Debu Batubara

Selama 10 tahun terakhir, pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel) maupun Palembang,  gencar mempromosikan wisata Sungai Musi. Banyak wisatawan berkunjung menikmati sungai di kota tertua di nusantara ini. Sebagian besar kecewa karena mereka disajikan polusi udara di sungai terpanjang kedua di Indonesia ini.

Sejumlah wisatawan dari Jakarta, awalnya senang naik perahu ketek—perahu bermesin—dari Dermaga Benteng Kuto Besak menuju Pulau Kemaro, menjelang perayaan Cap Go Meh 2014 beberapa waktu lalu. Tiba-tiba mereka harus menutup hidung dan mulut saat melintas di depan pabrik PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri). Bau pesing yang menyengat menyerang mereka. Kedua mata pun terasa pedih. Ternyata, bagu  amoniak (NH3) dari Pusri.

Pusri merupakan pabrik pupuk urea. Dalam pengelolaan pupuk, pabrik pupuk tertua di Asia Tenggara ini menggunakan amoniak sebagai bahan baku. Amoniak juga produk antara dari Pusri yang diolah dari oksigen, air dan gas alam.

Gangguan bau amoniak ini sudah puluhan tahun dirasakan masyarakat di sekitar Pusri, seperti di Kalidoni, Sei-Selincah, 1 Ilir, Sei-Buah dan wilayah Plaju. “Sejak kecil aku sudah biasa mencium bau amoniak dari Pusri,” kata Salim, warga 1 Ilir.

“Bahkan dulu kami sering mendapatkan ikan mabok di Sungai Musi, yang katanya akibat limbah amoniak. Sekarang itu jarang terjadi, dan bau sudah tidak setiap hari.”

Terhadap polusi ini, warga beberapa kali protes. Namun, protes ini tidak memberikan solusi warga bebas dari polusi amoniak, kecuali mereka pindah. Pusri pun hanya berusaha mengurangi polusi amoniak dengan memperbaiki sistem pembuangan limbah dan membuat ruang terbuka hijau (RTH) di sekitar pabrik yang menjadi pembatas lokasi pabrik dengan pemukiman warga.

Perusahaan juga memberikan biaya kesehatan atau pengobatan, kala polusi amoniak menganggu saluran pernapasan, mata, kulit, dan mengurangi kekebalan tubuh.

Green Barrier PT Pusri, ruang terbuka hijau (RTH) dengan pemukiman penduduk di 1 Ilir. Foto: Taufik WIjaya
Green Barrier PT Pusri, ruang terbuka hijau (RTH) dengan pemukiman penduduk di 1 Ilir. Foto: Taufik WIjaya

Pindah Pabrik

“Jika ada yang berpendapat Pusri harus pindah itu cukup masuk akal. Itu kan tidak gampang,” kata Zin Ismed, Sekretaris PT Pusri Palembang.

Kepindahan Pusri, katanya harus didukung penuh pemerintah dan ketersediaan bahan baku seperti gas alam. Jika pindah akan memberikan dampak signifikan bagi masyarakat sekitar Pusri saat ini. Selama ini,  mereka mendapatkan pemasukan dari aktivitas Pusri, baik sebagai karyawan, maupun buruh.

Wacana pemindahan pabrik Pusri sempat mencuat beberapa waktu lalu. Salah satu di sekitar proyek pelabuhan Tanjung Api-Api. “Kita selalu siap, tapi semua tergantung pemerintah.”

Guna mengatasi polusi amoniak ini,  Pusri membangun empat unit PGRU (purge gas recovery unit). Fungsinya, menangkap kembali amoniak terlepas menjadi bahan baku pupuk. “Amoniak itu mahal. Amoniak yang terlepas itu merugikan Pusri karena harus mengeluarkan biaya baru buat memproduksi. Jadi PGRU itu berfungsi menangkap kembali amoniak yang terlepas.”

Mengenai masih ada polusi amoniak, seperti dirasakan warga yang melintas di Sungai Musi sekitar pabrik, kata Ismed lantaran tiga dari empat pabrik milik Pusri masih teknologi lama yang tidak ramah lingkungan. Kerja PGRU pun jadi tidak maksimal.

“Jadi solusi mengganti tiga pabrik yang usia rata-rata di atas 30 tahun dengan pabrik teknologi baru yang ramah lingkungan. Pusri terus berupaya. Caranya bertahap sebab biaya pembuatan setiap pabrik dengan teknologi baru ramah lingkungan mencapai Rp6-7 triliun per unit,” kata Ismed.

Musi Harus Bebas Industri

Polusi udara di Sungai Musi bukan hanya amoniak dari Pusri, juga diduga pemicu perubahan iklim. Di pinggiran Palembang yang masih dialiri Sungai Musi, polusi udara datang dari aktivitas pabrik pengelolaan getah karet dan batubara. Misal, di Ki Marogan, Gandus, Plaju, dan Musi II.

“Aktivitas dermaga batubara di Ki Marogan juga menyebabkan polusi udara berubah debu hitam, yang sangat mengganggu masyarakat sekitar maupun yang melintasi Sungai Musi. “Begitu pula pabrik pengelolaan karet menimbulkan polusi udara,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel.

Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah melarang berbagai aktivitas industri di Sungai Musi.“ Pusri harus didorong pindah dari Sungai Musi. Jangan diberikan izin berbagai aktifitas industri seperti batubara dan karet di tepi Sungai Musi. Ini akan mengurangi kuliatas air dan menimbulkan polusi udara.”

Jika terus dibiarkan, kata Hadi, bukan hanya program wisata Sungai Musi terganggu, juga sumber air bersih bagi masyarakat Palembang. “Hampir semua warga Palembang sangat bergantung air bersih dari Sungai Musi. Baik langsung maupun melalui perusahaan air, yang mengambil juga dari sini.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,