,

Caleg Berkomitmen Lingkungan Minim, Berintegritas Rendah Tinggi

Hasil studi Walhi menemukan, calon anggota legislatif yang melaju pada pemilu 2014, memiliki komitmen rendah terhadap isu lingkungan hidup. Alhasil, isu lingkungan hidup pun diperkirakan tak menjadi agenda politik pemerintah ke depan. Dari penelusuran itu juga ditemukan caleg yang tak memiliki integritas sangat tinggi.

Abdul Wahid Situmorang, Peneliti Walhi Institute mengatakan, melihat kualitas caleg dari sisi komitmen terhadap lingkungan sangat penting di tengah krisis ekologi parah di negeri ini.  “Banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, pemanasan global, kualitas air dan udara turun serta pencemaran meninggkat. Ini yang menjadi latar belakang dibuat indeks caleg ini,” katanya dalam launching hasil kajian di Jakarta, Kamis (6/3/14).

Menurut dia, beragam bencana ini,  menimbulkan kerugian berlipat ganda yang harus dipikul masyarakat maupun negara. Parahnya, kebijakan tak berpihak terlebih penyebab bencana ini melibatkan pengusaha dalam lingkaran kekuasaan.

“Itulah mengapa Walhi melakukan kajian ini. Karena peran penting negara, salah satu DPR. Jadi perlu tahu kualitas calog anggota DPR,  yang memiliki kompetensi, kepemimpinan, komitmen dan berintegritas. Karena mereka pembuat kebijakan ke depan.”

Dari penelusuran ini, katanya, menghasilkan dari sisi aspek kompetensi hanya 1,8 persen caleg kompeten sebagai anggota DPR, 39 persen tak memiliki kompetensi langsung dan 61 persen sama sekali tak memiliki kompetensi. Jika dilihat ke partai politik, PKB memiliki indeks kompetensi caleg tertinggi 3,53 persen, tetapi terbanyak pula tak memiliki kompentensi sebesar 78,96 persen.

Untuk aspek kepemimpinan sebagai anggota DPR, 1,1 persen caleg menenuhi kriteria. “Mereka ini yang pernah memiliki kepempimpinan di dalam organisasi perjuangan lingkungan atau organisasi lain.” Terbesar tetap yang tak memiliki pengalaman di organisasi sama sekali sebesar 55 persen.  Secara partai politik, PDIP memiliki persentase tertinggi 4,21 persen caleg berpengalaman organisasi dan tak memiliki pengalaman terbanyak PKB 69,24 persen dan PBB 69,13 persen.

Dilihat dari komitmen caleg, hanya 13 persen memiliki komitmen lingkungan hidup, dan 2,3 persen tak bisa terlihat karena data tak tersedia. Terbesar,  32 persen komitmen lingkungan hidup caleg tak jelas.

Untuk integritas caleg lebih parah, sebesar 86 persen integritas dipertanyakan. Hanya sembilan persen memiliki integritas jelas. Jika dilihat dari caleg partai politik, Partai Demokrat menempati presentasi tertinggi berintegritas sebesar 9,64 persen tetapi juga terbanyak integritas rendah 20,54 persen.

“Mengapa jadi pejabat negara ketat seleksi, jadi wakil rakyat tak ketat. Malah asal-asalan. Integritas dan lain-lain ga jelas,” kata Wahid.

Penelitian ini, dilakukan dengan kajian terhadap curikulum vitae (CV) para caleg di website KPU, memeriksa berita dan laporan  jaringan anti korupsi, HAM dan sosial dan lewat penelusuran Walhi di berbagai daerah.

Kendala yang dihadapi, kata Wahid, CV di KPU tak lengkap merekam sosok caleg alias kualitas CV sangat buruk. Bahkan, ada caleg yang tak bersedia data diakses publik.

“Sungguh mengherankan, mengapa KPU meloloskan CV buruk seperti ini. Rekam jejak caleg tak jelas. Aneh sekali, kala seleksi pejabat negara seperi KPK, hakim agung, seleksi dilakukan begitu ketat. Mengapa, seleksi calon yang menjadi wakil rakyat seburuk ini?” tanya Wahid.

Khalisah Khalid dari Walhi mengatakan, kisah lama bakal terulang pada anggota parlemen tahun ini. Dia khawatir, ke depan lagi-lagi, tak ada kasus-kasus SDA dan agraria yang ditangani DPR.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, ternyata apa yang menjadi kekhawatiran terhadap para caleg terbukti dari studi ini: minim yang memiliki komitmen lingkungan.

Dari temuan ini terlihat, politisi yang bakal duduk tetap jauh dari isu-isu yang menjadi permasalahan masyarakat. “Konflik-konflik SDA, dan aksi-aksi warga terkait SDA ternyata tak dihutung dengan baik oleh para politisi ini.”

Kondisi ini, katanya,  juga menunjukkan, partai politik tak memperhatikan isu-isu di masyarakat dan perlu respon wakil rakyat.  Hal ini, menjawab pertanyaan mengapa kebijakan terkait perlindungan alam dan lingkungan mandeg.

Tak heran, bila DPR dinilai bukan lembaga efektif bagi masyarakat dalam mencari penyelesaian persoalan lingkungan dan SDA. Selama ini, masalah lingkungan memang banyak di-drive pemerintah. “DPR seakan tak tahu isu perubahan iklim. Kita tak melihat upaya agresif DPR dalam kerja-kerja itu. Lagi-lagi  riset ini jadi pengingat, masyarakat sipil harus kerja lebih keras lagi. Masyarakat korban lingkungan ini harus bertarung lebih serius lagi. Kalau hanya ngandalin hasil pemilu, hasilnya temuan ini. Dipastikan tak ada perkembangan signifikan.”

M Irsyad Thamrin, Dewan Nasional Walhi mengatakan, dengan kualitas caleg seperti ini, perlu tekanan kuat dan meluas dari seluruh komponen bangsa untuk agenda penyelamatan dari bencana ekologis.  “Warga pemilih, khusus pemilih muda dan pemula, harus memperhatikan ini.  Masa depan mereka akan dipertaruhkan jika tidak ada perbaikan kualitas caleg-caleg saat ini.”

Dari hasil kajian ini, Walhi memberikan beberapa rekomendasi. Bagi penyelenggara pemilu, Walhi mendesak revisi UU Pemilu dengan memasukkan pasal kewajiban caleg mendapatkan clearance dari PPATK, KPK, Komas HAM, Komisi Ombusdman bagi pejabat negara, Komisi Yudisial bagi hakim. Lalu, Komisi Kejaksaaan bagi jaksa guna memastikan integritas caleg  merupakan kader terbaik yang diminta dipilih rakyat.

Buat partai politik, harus menjadikan agenda politik lingkungan
bagian platform politik. Lalu,  melakukan pendidikan politik kepada kader partai hingga melahirkan caleg yang memiliki empat aspek dalam penelitian ini. Untuk masyarakat, harus mulai aktif memeriksa calon dan men-track berbagai praktik mereka.

Banjir di Manado. Banjir terjadi di berbagai daerah merupakan bencana ekologis yang lepas dari pantauan caleg dan partai politik sebagai isu lingkungan yang makin kritis. Foto: Rommy Carter Toloh

Desak Caleg Peduli Lingkungan

Tak jauh beda dengan Walhi, penilaian Huma caleg yang memiliki komitmen terhadap perubahan iklim atau pembangunan rendah emisi karbon juga sedikit. “Pemilu hanya sirkulasi elit berebut kekuasaan. Sementara rakyat terus diabaikan. Hingga saat ini tidak ada satu pun caleg atau capres yang tegas mengatakan Indonesia kehilangan kedaulatan,” kata Chalid Muhammad, dari Institut Hijau Indonesia (IHI), di Jakarta.

Chalid mengatakan,  para anggota dewan di parlemen sekarang, diragukan keberpihakan kepada rakyat. Sebab, ratusan perundang-undangan justru dibuat untuk mengakomodir kepentingan asing. Kepentingan bangsa sendiri diabaikan.  “Seluruh sektor dikuasai asing. Hutan, minyak, tambang bahkan skema perdagangan karbon juga dipertaruhkan oleh kepentingan asing. Semua peraturan ada dibuat mengakomodir kepentingan asing.”

Dalam kasus pembakaran hutan dan lahan,  misal, 90 persen perusahaan besar dan asing.  Namun, hingga kini pemerintah tidak berani menindak hukum. Keadaan ini menunjukkan, Indonesia berada dalam tekanan korporasi dan tidak berdaulat penuh.

“Caleg yang maju sekarang mayoritas mereka yang saat ini duduk di parlemen, tapi maju lagi. Padahal, mereka tidak berbuat banyak untuk melepaskan dominasi asing. Perundang-undangan yang mereka buat jauh dari keberpihakan terhadap rakyat.”

Kontestan baru yang maju, kebanyakan orang-orang yang berafiliasi dengan perusahaan besar seperti perkebunan sawit, tambang, HTI dan lain-lain.  Komitmen mereka, menekan korporasi persak lingkungan diragukan.“Begitupun dengan capres. Orang yang muncul sekarang ini mayoritas pemilik perusahaan besar. Atau kalaupun tidak aktif di perusahaan, ada sanak saudara yang menjalankan perusahaan yang dia miliki.”

Chalid menegaskan, caleg maupun capres yang akan bertarung di pemilu harus membuat janji politik tegas dan bisa diukur. Mereka harus mau membuat kontrak perjanjian untuk berkomitmen merevisi semua peraturan yang tidak memihak rakyat.

Data IHI menyebutkan, selama SBY berkuasa sejak 2004 -2013, ada 194.056 orang meninggal dunia akibat bencana. Warga mengungsi ada 6.863.249 orang.

Andiko, Direktur Eksekutif Perkumpulan Huma, mengatakan, Indonesia memerlukan pemimpin cerdas dan kuat. Pemimpin yang tidak hanya mengandalkan pada pembangunan ekonomi yang mengedepankan eksploitasi SDA.

“Kita harus koreksi semua kegiatan yang dampak begitu masif terhadap Indonesia. Pemulihan kerusakan SDA harus menjadi agenda utama. Sehingga ketika nanti mereka memimpin, Indonesia bisa menjadi pemain utama pembangunan ekonomi rendah emisi.”

Dia mengatakan, awal 2014 Indonesia sudah dihadiahi bencana karena perilaku manusia. Data Huma menyebutkan,  hingga kini ada 317 konflik tenurial belum selesai. Melihat ini, Andiko berharap pemimpin yang terpilih bisa menyelesaikan masalah ini.

“Mereka yang terpilih harus berkomitmen review mendalam secara vertikal maupun horizontal terhadap semua peraturan yang tidak berpihak kepada rakyat dan pengembangan ekonomi berkelanjutan. Mereka juga harus bisa meresolusi konflik  dan memperluas hak wilayah kelola SDA masyarakat. Juga melakukan pembaruan kebijakan,” kata Andiko.

Dia mengatakan, caleg dan calon presiden layak dipilih adalah mereka yang memiliki kepemimpinan kuat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan berbasis hak. Indonesia, katanya,  tidak bisa lagi bertumpu pada model ekonomi eksploitatif tak terkendali. “Ini akan menjerumuskan negara dalam kerentanan pangan, air, energi serta bencana terus menerus.”

Hasil Studi Indeks Calon Legislatif DPR-RI Pro Lingkungan 2014-2019

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,