Ketika Lembaga Peradilan Tak Memberi Keadilan bagi Para Petani Sekitar Hutan

Kriminalisasi petani, maupun warga di sekitar hutan terus terjadi. Tidak sedikit, mereka yang berjuang mempertahankan hak adat, menjaga hutan, berakhir di bilik penjara. Tak ada keadilan bagi mereka.

Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengatakan, penindasan kaum tani kian matang. Di Jawa, akhir-akhir ini petani penggarap sekitar hutan, menjadi sasaran kriminalisasi dan perampasan tanah oleh Perum Perhutani.

Di Indramayu, ada Pak Okih, petani 57 tahun ini akan menghabiskan masa tua di penjara. Okih, dituduh mencuri kayu roboh di lahan yang diklaim Perhutani. Okih dianggap merugikan Perhutani Rp4.200.000.

Iwan mengatakan, dari analisis dan proses persidangan menunjukkan, delapan kayu roboh bukan dicuri Okih, tetapi diberikan mandor dan asisten Perum Perhutani (asper).

Bahkan dalam persidangan, tak satupun dapat membuktikan, tanah tempat kayu itu diambil milik Perhutani. Namun, majelis hakim PN Indramayu, diketuai Sunarti, memutuskan Okih bersalah. Dia dihukum tujuh bulan, denda Rp500.000 seperti tuntutan JPU, M Erma.

“Pada 2005, kayu itu roboh karena bencana alam, dan direndam agar kuat. Tahun 2009 kayu dimanfaatkan Okih atas arahan Mandor Kasda, Ade, Sukri dan Asper Nanang.”

Hakim Sunarti, menganggap Okih yang buta huruf itu, harus tahu menerima pemberian itu melanggar hukum. Padahal,  Okih tak tahu ada hukum  itu. “Yang tahu kan seharusnya petugas Perhutani, mengapa mereka berani memberikan kayu kepada Okih? Dalam persidangan Jaksa tidak pernah mau menghadirkan mandor-mandor ini sebagai saksi. Jaksa tidak dapat menunjukkan bukti surat atas kepemilikan kayu Perhutani itu, apalagi bukti kepemilikan lahan.”

Menurut Iwan, kasus ini lanjutan Serikat Tani Indonesia (STI), para pimpinan mereka baru ditangkap, dan divonis 1,5 tahun. Tak heran, dalam persidangan terungkap Okih sebelumnya Agustus 2013, diminta keluar dari STI oleh petugas perhutani. Dia menolak. Buntutnya, dipenjara atas laporan Perhutani soal pemberian kayu.

Dari catatan KPA, konflik agraria melibatkan Perhutani, yang berhadapan langsung dengan penggarap, seringkali bermuara pada kriminalisasi petani. Misal, kasus penangkapan 17 petani disangka menebang jati, di lahan Perhutani KPH Banyumas Barat, pada 13 November 2013. Mereka dilaporkan menebang 106 jati, dan mendirikan gubuk di lahan 0,3 hektar di Petak 28G Resor Pemangkuan Hutan Kedungwadas, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat.

Di Jember, pada 12 Januari 2013, gara-gara 12 ranting mahoni, tiga petani ditangkap. Selain dijebloskan ke sel Polsek Panti, Jember, tiga petani anggota LMDH Rengganis, dianiaya polisi hutan KPH Jember.

Di Tasikmalaya, pada 1 Mei 2013, Apad dan Kikin, dua petani SPP, dituduh mengeroyok anggota Polhut, Lasmiyako. Mereka ditangkap tanpa dokumen atau surat panggilan, serta penangkapan resmi dari Polres Tasikmalaya. Kikin, ditangkap saat mengembala kerbau di ladang, Apad saat membeli bensin di Cikatomas.

Di Lumajang, pada 18 Oktober 2013, Ariyono, Petani Serikat Petani Lumajang (SPL) Jawa Timur, ditahan Polsek Guci Alit, tiga petugas cagar alam, dan polhut disaksikan Kepala Dusun Margomulyo, Desa Kenongo, dengan tuduhan mencuri kayu.

“Kayu dituduhkan dicuri Ajun, sebenarnya dari tanah warga sendiri. Warga mengaku memiliki SPPT sejak 2004 dan membayar pajak pada negara tiap tahun. Tanah kini bersengketa dengan Cagar Alam Nasional Bromo Tengger.”

Iwan menyebutkan, vonis bersalah pada petani penggarap makin mengada-ada dan bisa disimpulkan, hakim mengingkari tugas memberi keadilan.

Dalam konflik agraria, hampir tak pernah para petani mendapatkan keadilan di pengadilan. Berbanding terbalik dengan para pemilik modal dan aparat yang selalu diakomodir pengadilan. “Kami mengecam keras pengadilan yang memenjarakan para petani.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,