,

Satu Juta Warga Adat di Sumsel Berkonflik dengan Perkebunan Sawit

Sekitar satu juta warga adat dari 119 marga di Sumatra Selatan (Sumsel) terlibat konflik lahan dengan perkebunan sawit sejak 1990-an. Mereka kehilangan lahan, korban jiwa, kriminalisasi, sampai hutan suaka kehilangan keragaman hayati.

Rustandi Adriansyah,  Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel mengatakan, luas lahan yang dikuasai perusahaan sawit di sana mencapai satu juta hektar. Perusahaan-perusahaan ini,  berkonflik dengan sekitar satu juta masyarakat adat di daerah itu.

“Jumlah korban konflik sawit ini mungkin bertambah, sebab data AMAN Sumsel baru delapan dari 12 suku atau 48 dari 119 marga di Sumsel,” katanya akhir Februari 2014.

Konflik ini, menyebabkan banyak korban jiwa seperti dua warga Marga Sodong di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) pada 21 April 2011. Lalu, kriminalisasi warga adat Tungkalulu dan Dawas di Kabupaten Musi Banyuasin dan Penanggiran di Muaraenim. Tak hanya itu, terjadi kerusakan hutan Suaka Margasatwa Dangku di Kabupaten Musi Banyuasin. Di sekitar hutan suaka ini ada marga Dawas dan Tungkalulu.

Dulu, ucap Rustandi, di hutan ini suaka masih ditemukan harimau Sumatera, gajah, kancil, beruang madu, rusa, atau siamang. “Saat ini dipastikan tidak ada lagi harimau dan gajah. Tersisa tregiling dan babi hutan.”

Mengapa masalah ini terjadi?  Menurut dia,  karena kebun sawit di sekitar hutan suaka mengganggu habitat harimau dan gajah. Lahan adat dikuasai perkebunan sawit, masyarakat adat pun terpaksa masuk ke hutan suaka. “Warga mencari hidup seperti menebang pohon, dan memburu rusa hingga pasokan makanan harimau habis.”

Warga Dawas dan Tungkalulu, katanya, sama seperti masyarakat adat lain di Sumsel, tak memburu harimau dan gajah. “Ada mitos di masyarakat adat kalau harimau dan gajah itu puyang (leluhur) hingga tak boleh dibunuh. Jadi, tidak benar kalau hilangnya harimau dan gajah di hutan suaka itu karena diburu masyarakat,” kata Rustandi.

Penebangan liar di hutan Suaka Margasatwa Dangku akibat masyarakat adat terdesak lahan mereka dikuasi  perkebunan sawit. Lahan tempat mereka hidup sudah tak ada lagi hingga masuk hutan suaka. Foto: Taufik Wijaya
Penebangan liar di hutan Suaka Margasatwa Dangku akibat masyarakat adat terdesak, lahan mereka dikuasi perkebunan sawit. Lahan tempat mereka hidup sudah tak ada lagi hingga masuk hutan suaka. Foto: Taufik Wijaya

Sebaliknya, jika masyarakat adat dibela pemerintah dan tak tergusur oleh perkebunan sawit, mungkin satwa-satwa itu masih bertahan. “Dijaga secara adat.”

Kini, masyarakat adat tak mampu memproduksi sejumlah buah-buahan hutan khas Sumsel seperti duku, durian, dan manggis. “Sulit sekali pohon duku, durian maupun manggis. Hutan sudah habis, masyarakat adat juga kehilangan lahan.”

Dari 8,7 juta hektar lahan Sumsel, sekitar 4,9 juta hektar menjadi perkebunan. Paling banyak dikuasai perkebunan sawit sekitar satu juta hektar dan pertambangan batubara seluas 2,7 juta hektar.

Khusus perkebunan sawit, perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat adat antara lain PT Cipta Futura, PT  Dendi Marker Indah Lestari, PT London Sumatra, dan PTPN VII. Lalu, PT Surya Bumi Agro Langgeng, PT Sentosa Mulia Bahagia, PT Hindoli, PT Multrada Multi Maju, PT Tania Selatan, dan PT Persada Sawit Mas.

Untuk itu, dia mendesak pemerintah meninjau ulang hak guna usaha (HGU) yang dikuasai perusahaan sawit dan menghentikan pemberian izin kepada perusahaan besar. Dia juga meminta, masyarakat adat diberi akses luas ke hutan.

“Selama berabad-abad hutan terjaga karena dijaga masyarakat adat. Kalaupun ada perilaku buruk saat ini, seperti penebangan liar, itu semua akibat kehadiran perkebunan yang mendesak masyarakat melakukan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup.”

 Data Sementara Konflik Masyarakat Adat VS Perusahaan Sawit di Sumatera Selatan

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,