Kisah Kearifan Lokal Serampas dan Wacana Enclave TN Kerinci Seblat

Nada suara Alutral B. Serampas tiba-tiba meninggi ketika disinggung soal rencana pematokan tata batas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang kembali mengemuka sejak Februari lalu. Tokoh masyarakat Serampas ini menolak lima desa yang tergabung dalam rumpun Marga Serampas kembali di-enclave dalam TNKS sebagai zona khusus. Lima desa itu adalah Renah Kemumu, Renah Alai, Lubuk Mantilin, Tanjung Kasri, dan Koto Rawang.

Dalam pertemuan beberapa pihak terkait dengan tim tata batas Dirjen Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Kemenhut pada Februari lalu, Alutral mendengar bahwa luasan lahan kelola masyarakat di dua desa: Tanjung Kasri dan Renah Kemumu hanya tersisa masing-masing 500 dan 600 hektare. Selebihnya masuk dalam kawasan TNKS. Inilah yang memicu kemarahan Alutral bersama warga Serampas lainnya. Padahal, menurut Alutral total hutan adat di lima desa itu seluas 43.000 hektare, sesuai sejarah turun temurun.

Mengambil kulit kayu manis di Serampas. Foto: Jogi Sirait
Mengambil kulit kayu manis di Serampas. Foto: Jogi Sirait

Dalam beberapa forum resmi, Alutral selalu bicara dengan nada keras, ”Ini tanah nenek moyang kami. Jauh sebelum ada Taman Nasional, kami sudah berada di sana. Apapun alasannya kami tidak akan pindah!” ujarnya.

Dengan luas kawasan hampir 1,4 juta hektare — terletak di empat provinsi, yaitu: Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumtera Selatan – TNKS merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Memanjang 350 km dari barat laut ke tenggara dengan lebar rata-rata 50 km.

Lima desa itu sesungguhnya berada dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat – kawasan yang ditetapkan menjadi taman nasional sejak 14 Oktober 1999 lalu lewat Surat Keputusan Menhutbun No. 901/Kpts-II/1999. Namun proses pengukuhannya sudah dideklarasikan pada tahun 1982 silam. Pernah pada tahun 1992, Bupati Merangin kala itu Bambang Sukowinarno meminta agar dua desa terujung: Tanjung Kasri dan Renah Kemumu direlokasi. Namun pemerintah pusat belum menyetujui hingga kini.

Peta Margo Serampas
Peta Margo Serampas

Masyarakat Serampas cukup lama terbelenggu dari modernisasi. Total ada sekitar 2.150 jiwa yang bermukim di lima desa itu. “Jika wilayah kelola kami diperkecil, bagaimana kami bisa hidup,” Alutral menegaskan. Alhasil pertemuan dengan tim tata batas tersebut kembali buntu. Ini menjadi pertemuan kesekian kalinya yang menambah berlarut-larutnya pematokan tata batas TNKS.

Menurut Ketua Lembaga Tiga Beradik (LTB), Gusdi Warman pada November 2012 lalu, tim tata batas pernah langsung mematok-matok batas wilayah Desa Lubuk Beringin, Durian Rimbun, dan Lubuk Birah. Ketiga desa ini berdekatan dengan wilayah Serampas. Saat pemasangan patok di Desa Lubuk Beringin, tim tata batas lari terbirit-birit dikejar masyarakat setempat yang mengejar sambil mengacungkan senjata tajam.

Suasana di Desa Lubuk Mantilin. Foto: Yayasan Pinang Sebatang
Suasana di Desa Lubuk Mantilin. Foto: Yayasan Pinang Sebatang

Oleh karena itu, Gusdi meminta masyarakat dan pemerintah untuk kembali duduk bersama membicarakan secara terbuka berapa luasan yang masuk TNKS dan berapa luasan yang masih berstatus kawasan Areal Penggunaan Lain (APL). “Pemerintah tidak tiba-tiba menunjuk ini masuk, ini tidak, tanpa argumentasi yang terbuka dan dapat dipahami masyarakat,” kata Gusdi kepada Mongabay-Indonesia pada 6 Maret lalu.

Sebaliknya, kata Gusdi, masyarakat juga semestinya logis dalam beragumentasi. Masyarakat semestinya bisa memprediksi laju pertumbuhan penduduk dan laju pertambahan kebun. “Jika lahan masyarakat setelah di-enclave menjadi drastis berkurang alasannya apa? Toh, ini masih dalam tahap negoisasi. Semuanya masih bisa dibicarakan hingga tuntas. Bisa jadi kesalahan ini gara-gara pengusulan pemerintah daerah beberapa tahun silam yang memasukkan lima desa itu tanpa melihat ada banyak masyarakat yang tinggal di sana,” ujar Gusdi. Namun begitu, kata Gusdi, persoalan tata batas harus segera diselesaikan karena sudah cukup lama dan berlarut-larut.

Kondisi jalan menuju ke Ranah Kemumu. Foto: Yayasan Pinang Sebatang
Kondisi jalan menuju ke Ranah Kemumu. Foto: Yayasan Pinang Sebatang

Kecemburuan Terhadap Pendatang

Kekecewaan Alutral dipicu dengan berlarut-larutnya ketegasan pemerintah dalam mengatasi perambahan kawasan hutan yang dilakukan para pendatang asal Sumatra Selatan, Bengkulu dan Lampung yang mendiami kawasan hutan produksi sejak tahun 1990an silam.

Berdasarkan hasil inventarisir Pemerintah Kabupaten Merangin pada tahun 2009, jumlah hutan produksi yang dirambah para pendatang tersebut seluas 9.815,39 hektare. Para pedatang pada saat itu diperkirakan berjumlah 3.263 kepala keluarga atau 10.814 jiwa.

Pada tahun 1990an, para pendatang dari Pagar Alam, Sumatra Selatan mulai merambah APL di Desa Sungai Tebal dan Nilo Dingin, Kecamatan Lembah Masurai dengan menanami kopi. Pada tahun 1996 hingga 2002, perambahan meluas hingga ke kawasan hutan produksi di Batang Nilo – Nilo Dingin yang membentang dari Desa Sungai Talang sampai ke Desa Sungai Lalang.

Peta Gempa
Peta Gempa

Pada tahun 2002, setelah HPH Serestra II dan HPH PT Injapsin pergi, perambahan semakin meluas. Pada tahun 2008 perambahan semakin meningkat ke kawasan hutan konservasi (TNKS Sipurak Hook). Pada tahun 2008 hingga Agustus 2009, perambahan meluas hingga ke Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sedingin di Kecamatan Jangkat dan Sungai Tenang. “Mereka diberi lahan kok kami dikurangi” ujar Alutral.

Bupati Merangin, Al Haris mengatakan dalam waktu dekat pihaknya kembali akan mendudukkan bersama antara masyarakat dan pemerintah pusat. Kedua pihak sama-sama ngotot. Masyarakat berpatokan dengan sejarah hutan adat sementara pemerintah berusaha menyelamatkan kawasan hutan. “Mungkin setelah duduk bersama kita baru bisa menyelesaikan kegundahan kedua belah pihak,” katanya kepada Mongabay Indonesia pada 7 Maret lalu melalui telepon selulernya.

Soal usulannya kepada Menteri Kehutanan untuk melepaskan kawasan hutan produksi seluas 8.000 hektare kepada masyarakat pendatang, dia berharap jangan menimbulkan kecemburuan sosial bagi masyarakat Serampas. “Kita sudah pusing menghadapi eksodus ini. Nanti kita verifikasi siapa saja yang berharap. Saya yakin lahan seluas itu sudah cukup buat masyarakat pendatang untuk memimalisir konflik,” ujarnya. Berdasarkan laporan camat setempat, katanya, jumlah masyarakat pendatang tidak sampai 10.000 kepala keluarga.

Sementara itu, Kepala Seksi Pengelolaan TNKS Wilayah II, Dian Risdianto mengatakan pihaknya hanya sebatas pengelola taman nasional. Soal penentuan tata batas, dia menyerahkan kepada BPKH Kemenhut dan Bupati Merangin selaku ketua Tim. “Kami hanya berpegang pada SK Menhut tetap penetapan TNKS sebagai taman nasional,” katanya kepada Mongabay Indonesia pada 7 Maret lalu lewat telepon selulernya.

Dian mengakui sejak tahun 2007 lalu, kedua tersebut: Tanjung Kasri dan Renah Kemumu masuk dalam dua zonasi: zonasi pemukiman dan tradisional. “Saya yakin persoalan tata batas agar segera selesai,” ujarnya.

Kearifan Lokal

Kearifan lokal masyarakat Serampas cukup menarik. Menurut Alutral, masyarakat setempat dilarang keras menebang kayu di hulu sungai dan di lembah yang curam. Mereka percaya karena hal itu bisa mengakibatkan erosi. Tanah juga dilarang dijual kepada orang luar. Jika ketahuan, orang yang menjual maupun yang membeli akan diusir dari Serampas. Tanah yang diperjualbelikan akan diambil alih desa atau anak nagari.

Kayu-kayu yang ditebang dari hutan tidak boleh untuk diperjualbelikan. Biasanya hanya untuk konsumsi sendiri dan kayu bakar. Jika ingin membuka ladang semua kayu boleh ditebang kecuali cempedak, manggis, durian, petai, pohon sri (buahnya biasanya dimakan burung). Alasannya karena ini adalah tanaman peninggalan nenek moyang.

Kenapa hulu sungai tidak boleh ditebang karena bisa erosi dan hulu sungai dianggap angker. Berladang di dekat hulu sungai pun dilarang. “Karena sering menyebabkan sakit-sakitan bahkan bisa meninggal,” kata Alutral.

Soal kepemilikan tanah juga diatur dalam adat. Setiap warga dibatasi maksimal memiliki 2 hektare lahan dalam kurun waktu satu tahun. Tanah tersebut wajib ditanami. Bagi yang mampu bisa memiliki lahan lebih hingga maksimal 4 hektare. Dengan catatan lahan tersebut ditanami. Setiap orang juga dilarang memiliki rumah lebih dari satu buah.

Gusdi juga mengakui kearifan lokal masyarakat Serampas. Masyarakat menurutnya juga sudah melakukan usaha-usaha konservasi seperti Rimbo Gano dan Lubuk Larangan yang sama sekali tak boleh dikelola sebagai kebun. “Artinya pemerintah perlu mempertimbangkan hutan adat sebagai hak kelola masyarakat sebab mereka terbukti memiliki kemampuan melestarikan hutan,” Gusdi menegaskan.

Subur Tapi Miskin

Suhu udara di Serampas cenderung dingin. Tanahnya subur dan cocok untuk segala jenis tanaman macam jeruk, durian, apel, anggur. Dibanding 4 desa lainnya, desa Renah Alai yang paling dingin, sekitar 1.200 di atas permukaan laut (dpl). Hanya di desa ini yang tidak dapat ditanami padi. Sementara empat desa lainnya dapat ditanami padi ladang maupun padi sawah.

Selain padi, mayoritas hasil kebun warga Serampas kulit kayu manis (cassiavera), dan kopi. Untuk tiga desa yang paling terisolir Renah Kemumu, Tanjung Kasri, dan Lubuk Mantilin jenis sayuran: kentang, cabe, bawang, dsb tidak laku dijual dan hanya konsumsi sendiri. Padi sangat tabu mereka jual. Semata-mata hanya untuk memenuhi ketersediaan pangan.

Tenaga listrik yang digerakkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) itu baru dinikmati masyarakat sejak 10 Januari 2010. Turbinnya dari Pemerintah Kabupaten Merangin, sedangkan irigasinya swadaya masyarakat. Dari turbin itu kemudian listrik disalurkan lewat pipa, selanjutnya disalurkan lewat kabel yang bertiang kayu menuju rumah-rumah masyarakat. Warga menikmati listrik dari jam 4 sore hingga jam 7 pagi.

Rumah-rumah tua di Tanjung Kasri. Foto: Yayasan Pinang Sebatang
Rumah-rumah tua di Tanjung Kasri. Foto: Yayasan Pinang Sebatang

Bercorak Megalitikum

Dr Bill, seorang ahli arkeolog dan geolog adalah orang pertama yang meneliti di Serampas. Pada tahun 1972-1974 pria berdarah Inggris ini diutus pemerintah Kanada dengan berpatokan peta dari Den Haag. Kedatangannya yang diberi nama operasi gading dua ini dimaksudkan untuk melihat potensi emas dan sejarah Serampas.

Bill meneliti dari desa Ranah Kemumu sampai ke desa Seblat Ulu, Kabupaten Rejang Lebong. Bill menggali lubang sepanjang 4 meter, lebar 2 meter dengan kedalaman 4 meter. Berdasarkan penggalian itu, Bill menyatakan bahwa Serampas pernah berdiri Kerajaan 4.000 tahun lalu. Sama tuanya dengan kota Victoria di Afrika Selatan dan Kutai di Kalimantan. Sedangkan hasil penelitiannya soal potensi emas tidak dijelaskan.

Pada tahun 2002-2006, John David Neidel, seorang arkeolog berdarah Amerika Serikat kembali meneliti. David meneliti dari desa Lempur, Renah Kemumu hingga ke desa terujung di Kecamatan Jangkat yakni desa Pematang Pauh.

David menelusuri 24 buah bekas dusun-dusun lama yang pernah ada di sekitar Renah Kemumu. David meneliti 3 kuburan besar yang ada di Serampas. Panjang 6 meter, lebar 2,5 meter dan tinggi gundukan tanah dari permukaan tanah 2 meter. Kemudian David juga menelusuri semua benda-benda peninggalan.

Hasilnya, David menemukan masyarakat Serampas bercorak tradisi megalitikum. Bahkan tradisi megalitikum di dataran tinggi Jambi bertahan hingga kedatangan Islam. Tradisi megalitikum di kawasan tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18, ketika Sultan Jambi memerintahkan kepada para penguasa (depati) di dataran tinggi Jambi agar mengubah kepercayaannya.

Analisis Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi menyebutkan bahwa Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (840 — 1120 M). Batu larung ternyata hanya ditemukan di kawasan dataran tinggi Jambi Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci. Hingga kini telah ditemukan batu larung sebanyak 12 buah di Serampas dan 8 buah di Kerinci.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,