,

Pukat Harimau Marak Diduga Dilindungi Polisi, Nelayan Protes ke Polres Sergai

Ratusan nelayan dari Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), Sumatera Utara (Sumut), menamakan diri Aliansi Nelayan Serdang Bedagai, Senin (10/3/14), menggelar protes ke Mapolres Sergai. Mereka mendesak Propam, menyelidiki oknum kepolisian diduga menjadi backing dan menerima upeti dari kapal pengguna pukat harimau dan pukat apung.

Para nelayan ini menuntut, kepolisian memberikan sanksi hukum, dan menangkap pelaku perusak laut di Kabupaten Sergai. Mereka terus beroperasi tanpa takut padahal merusak habitat laut.

Muhammad Muaz Munauwar, juru bicara Aliansi Nelayan Sergai, mengatakan, perusakan biota laut oleh kapal pukat harimau sudah sangat mengerikan.

Ada dua kapal pukat masih beroperasi di Kabupaten Sergai hingga kini. Pukat harimau, berjenis keroncong, dan beroperasi dengan membentangkan pukat sepanjang satu kilometer hingga dua kilometer ke dalam laut. Setelah itu, kapal menarik pukat ke permukaan. Dampaknya, bukan saja ikan, seluruh biota laut terjaring seperti terumbu karang, sampai anak-anak ikan.

Dalam sekali operasi selama 15 hari hingga satu bulan di laut, pukat harimau bisa menangkap ikan dan biota laut lain senilai Rp1 miliar.

Pada 2004, terumbu karang cukup banyak di perairan ini. Sejak 2005-Februari 2014, terumbu karang rusak parah dan mati. Dari penelitian mahasiswa Universitas Sumut, bersama mahasiswa dari Universitas Gajah Mada (UGM), kerusakan laut akibat pukat ini, mencapai lebih dari 67 persen. “Artinya, pukat harimau ini, mempercepat ikan dan habitat laut mati, termasuk terumbu karang,” kata Muaz.

Tak hanya pukat harimau, kapal pukat apung juga masih beroperasi. Pukat apung, berjenis keroncong, beroperasi dengan membentangkan pukat sepanjang satu hingga dua kilometer dan didiamkan. Tidak seperti pukat harimau, kapal berjalan sambil menarik pukat. Pukat ini, menunggu segala ikan berbagai ukuran, terjaring. Kapal jenis ini, mendapatkan penghasilan sampai Rp1,2 miliar per sekali operasi.

Dampaknya,  pendapatan nelayan tradisional berkurang, karena ikan tak ada lagi. Ikan tak lagi bisa bertelur, karena terumbu karang rusak. Anak ikan sulit ditemukan.

Dua perusak laut ini bisa bebas beroperasi karena mafia sudah bekerjasama dengan oknum kepolisian laut, yang bertugas di bawah koordinasi Satuan Polisi Air (Satpolair) Polres Sergai, dan Polda Sumut.

Menurut dia, suap dan upeti pemilik kapal pukat ini kepada oknum penegak hukum, menyebabkan mereka beraksi bebas. Di Kabupaten Sergai, lokasi dua pukat perusak itu, ada di laut Kecamatan Teluk Mengkudu, dan Kecamatan Tanjung Beringin.

“Sebelum ada pukat ini, kita bisa membawa 150 kilogram lebih tangkapan ikan selama melaut dua hari. Sekarang, banyak nelayan menjual perahu karena sulit dapat ikan.”

Nelayan protes ke Polres Sergai, karena diduga aparat polisi terlibat yang melindungi aksi para pengguna pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro
Nelayan protes ke Polres Sergai, karena diduga aparat polisi terlibat yang melindungi aksi para pengguna pukat harimau dan apung. Foto: Ayat S Karokaro

Sedangkan Ahmad Juhari atau Mat Antud, nelayan Desa Nagur, Dusun IV, Kecamatan Tanjung Beringin, mengatakan, pukat mencapai 121 unit, dari Kota Tanjung Balai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Batubara, Belawan Medan, bahkan perbatasan Aceh dan Riau. Juga di perairan Kabupaten Sergai.

Pria 62 tahun ini sejak remaja menjadi nelayan dan mencari ikan di perairan Sergai. Dia mengatakan, 15 tahun lalu, kembung, gelama samge, gelama batu, udang kelong dan udang suwalo, cumi-cumi, senangin, dan bawal, banyak ditemukan. Sekarang, katanya, sudah sulit di pinggir maupun tengah laut Sergai. Dua pukat ini tak hanya beroperasi di tengah juga tepi laut. “Terang-terangan. Saat kapal patroli laut bertugas, mereka tak peduli dan terus mengeruk tanpa takut sedikitpun.”

Nelayan yang melawan, mendapatkan penganiayaan. Kapal dibakar, ditangkap serta dilemparkan ke laut. Di Kabupaten Sergai, ada empat nelayan hilang saat melaut, diduga kapal ditabrak pukat harimau dan apung.

“Dulu penghasilan tiga pelaut diatas Rp300 ribu, dan bisa membawa pulang tangkapan. Sekarang, belanja untuk melaut sudah tidak bisa. Ikan sulit. Penghasilan tidak bisa memenuhi kebutuhan. Kemana pemerintah dan aparat? Apakah mereka akan membiarkan nelayan terus makin miskin dan susah?” Dia menyampaikan keluhan di hadapan sejumlah perwira Polres Sergai dan ratusan polisi pengawal aksi.

Kompol Soepriatmono P, Wakil Kapolres Sergai, membantah ada keterlibatan kepolisian menerima suap atau sogokan dan membiarkan kapal pukat harimau dan apung.  Namun,  mereka tetap menurunkan tim untuk menyelidiki.  “Kita serius bekerja. Karena keterbatasan armada dan personil, belum dapat maksimal. Informasi nelayan sangat kita harapkan menambah info soal perusakan laut.”

Sebagai bentuk keseriusan mereka menegakkan hukum di laut, katanya, dalam satu tahun ini, sudah menyidik 12 kasus pencemaran, pencurian ikan, perusakan laut, oleh pengguna pukat harimau dan apung. Berkas 12 kasus itu,  sudah masuk ke pengadilan. “Percayakan pada kami. Jika ada anggota terlibat, kita sikat habis.”

Ahmad Juhari, nelayan ini menangis di Polres Sergai ketika bercerita soal kesulitan nelayan menangkap ikan dan  biota laut yang rusak karena pukat harimau. Foto:  Ayat S Karokaro
Ahmad Juhari, nelayan ini menangis di Polres Sergai ketika bercerita soal kesulitan nelayan menangkap ikan dan biota laut yang rusak karena pukat harimau. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,