,

Sikapi RPP Gambut, Koalisi Masyarakat Sipil Surati Presiden

Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut (RPP Gambut). Aturan ini merupakan turunan dari UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Sebenarnya, kebijakan ini bisa menjadi alat menjamin perlindungan gambut, tetapi bisa sebaliknya kala terbuka banyak peluang perusakan.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, mengkritisi beberapa bagian dalam draf RPP yang dinilai mengabaikan perlindungan gambut dan hak-hak masyarakat adat. Merekapun membuat surat terbuka penolakan pengesahan RPP Gambut, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Rabu (12/3/14).

Adapun koalisi ini, terdiri dari Walhi, HuMa, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Forest Watch Indonesia (FWI), Bank Information Center (BIC), Debt Watch Indonesia, dan Forum Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Iklim. Juga, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Greenpeace, Sampan Kalimantan, Lingkar Borneo, KKI Warsi, Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMG-J), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Surat terbuka itu, ditembuskan kepada Menteri Lingkungan Hidup,  Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertanian, Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri,  Kepala UKP4 dan Kepala BP REDD+.

Dalam surat itu, koalisi mengkhawatirkan, RPP Gambut tak cukup kuat melindungi ekosistem gambut. Bahkan terkesan lemah jika dibandingkan dengan Inpres No. 6 tahun 2013.

Pengaturan RPP Gambut, kata koalisi, semestinya menjadi upaya perlindungan total ekosistem gambut yang memiliki sifat tak terpulihkan. Namun, RPP ini masih memberi toleransi tinggi terhadap kerusakan ekosistem gambut dengan membagi menjadi fungsi lindung dan budidaya.

Tak hanya itu. Koalisi juga mengkritisi RPP yang hanya menyebutkan sanksi administratif. Padahal, pelanggaran terhadap kriteria baku gambut merupakan delik pidana.

Koalisi pun meminta penundaan pengesahan kebijakan ini dan pemerintah kembali mengkaji isi RPP karena dinilai cacat hukum. Sebelum RPP, Presiden pun diminta memastikan, penyusunan PP Kriteria Baku Kerusakan Ekosistem Gambut sesuai mandat Pasal 21 UU PPLH.

Presiden juga diminta mengkaji ulang dan audit lingkungan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah gambut.

Menurut koalisi,  sebelum kebijakan ini, seharusnya pemerintah mendahulukan penyusunan PP Inventarisasi Lingkungan Hidup,  PP  Penetapan Wilayah Ekoregion, dan PP Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan begitu, pemerintah pusat maupun daerah bisa menyusun grand design perencanaan lingkungan menyeluruh dan terpadu.

Pemerintah juga diminta menginventarisasi lingkungan hidup sesuai UU PPLH dan  memastikan kebijakan itu dilanjutkan dengan penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPP Lingkungan Hidup baik nasional maupun daerah.

Kanal-kanal di lahan gambut pun mulai dibangun dan segera menjadi kebun sawit oleh perusahaan. Bagaimana RPP Gambut, mengatur masalah ini? Foto: Sapariah Saturi
Kanal-kanal di lahan gambut pun mulai dibangun dan segera menjadi kebun sawit oleh perusahaan. Bagaimana RPP Gambut, mengatur masalah ini? Foto: Sapariah Saturi

Koalisi meminta pemerintah segera menetapkan kebijakan tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pemerintahpun diminta berkonsultasi dan mempublikasikan kajian akademis  terkait rencana penerbitan kebijakan ini.

Teguh Surya dari Greenpeace mengatakan, kebijakan ini bisa menjadi momentum untuk memastikan perlindungan kuat terhadap lahan gambut. “Namun, bisa menjadi bencana ketika lahan gambut tetap dibenarkan dikonversi sebagaimana aturan Permentan 14/ 2009,” katanya, belum lama ini.

Menurut dia, pengaturan integrasi peta moratorium dan hutan adat, dalam RPP ini juga belum jelas. Kata Teguh, banyak hal yang belum terjawab dalam RPP ini. “Bagaimana lahan gambut yang berada dalam wilayah hutan adat? Bagaimana lahan gambut di luar wilayah moratorium? Bagaimana kawasan yang memiliki fungsi lindung gambut tetapi di konsesi perusahaan, apakah bisa di-review dan dikeluarkan dari konsesi itu?”

Dalam RPP itu, basis perlindungan lahan gambut, hanya berdasarkan luas tutupan kawasan, yaitu fungsi lindung, sedikitnya 30% dari luas kawasan gambut yang dihitung dari puncak kubah gambut dan sekitar. Jika di luar itu, ketebalan masih tiga meter, dan spesies dilindungi, menteri bisa menetapkan sebagai fungsi lindung ekosistem gambut.

Rancangan kebijakan itu menyebutkan, penetapan fungsi ekosistem gambut di kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan, dan Kementerian Pekerjaan Umum, yang membawahi sumberdaya air dan penataan ruang. “Bagaimana Kementerian Pertanian, bukankah sebagian besar perkebunan sawit telah mengkonversi dan berada di lahan gambut?”

Kebijakan ini, fokus pada perlindungan gambut kedalaman lebih dari satu meter, terutama kawasan kubah gambut. Pemerintahpun akan mengeluarkan satu peta berjudul “Peta Kesatuan Hidrologis Gambut.” Ia dibagi dalam tiga skala berbeda sesuai level administrasi pemerintahan, nasional 1: 250.000, propinsi 1:100.000, dan kabupaten/kota 1:50.000.

Draf RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut per Oktober 2013

Perusahaan yang membuka kebun sawit di gambut dalam di Rawa Tripa, Aceh. Bagaimana RPP Gambut, mengatur masalah ini? Foto: Chik Rini
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,