,

Mata Angkasa Kembangkan Pesawat Mini buat Monitoring Kawasan Konservasi

Penggunaan pesawat aeromodelling kini tak hanya sebagai hobi. Ada manfaat lebih. Salah satu, untuk monitoring kawasan konservasi. Inilah yang dikembangkan Mata Angkasa, sebuah perusahaan penyedia jasa aerial monitoring dan areal mapping di Bekasi, Jawa Barat (Jabar). Salah satu jenis pesawat aeromodelling yang dikembangkan yaitu tipe drones.

Perangkat aeromodel sebagai aerial monitoring disebut unmanned aerial vehicle (UAV) atau  first person view (FPV). “Perangkat ini, sudah digunakan militer negara maju dan sering untuk kegiatan penelitian,” kata Ali Munthaha, teknisi Mata Angkasa, saat ujicoba pesawat drones di kawasan Sentul Rabu, (12/3/14).

Ali mengatakan, sistem kerja pesawat itu memasang kamera dengan resolusi tinggi pada perangkat aeromodel. Dengan radio pemancar (video downlink) sinyal dikirimkan ke receiver/ground station. Operator akan mendapat pemandangan dari atas seperti pada cockpit pesawat. Pesawat drones bisa mengudara dengan kecepatan 60 km per jam.

Ia dilengkapi on screen display (OSD).  Perangkat ini jantung FPV. OSD membantu operator karena mampu merekam informasi seperti  ketinggian, jarak penerbangan dari titik awal terbang, arah penerbangan, arah kembali ke titik awal, kemiringan, kondisi tenaga baterai dan lain-lain. Perangkat OSD terdiri dari  GPS board, current sensor, infrared sensor.

“Pesawat juga dapat dikendalikan otomatis oleh OSD board. Fungsi OSD boad pada pesawat menjaga kestabilan dan mengarahkan pesawat ke titik tujuan. Juga mengarahkan pesawat kembali ke titik awal, menjaga kecepatan penerbangan, sekaligus menjaga ketinggian.”

Pesawat ini bisa digunakan malam hari untuk merekam aktivitas satwa liar. Kamera thermal,  untuk merekam panas tubuh atau aktivitas ilegal seperti ada manusia menyalakan api unggun di kawasan hutan, illegaloging dan lain-lain.

Pesawat drones, menjawab    tantangan pengawasan konservasi yang terkendala personel maupun data kurang akurat. Dengan pesawat tak berawak ini monitoring bisa lebih efektif dan efesien. Foto: Indra Nugraha
Pesawat drones, menjawab tantangan pengawasan konservasi yang terkendala personel maupun data kurang akurat. Dengan pesawat tak berawak ini monitoring bisa lebih efektif dan efesien. Foto: Indra Nugraha

Untuk monitoring satwa liar dilakukan dua kali dalam sehari. Pesawat mengudara di titik koordinat yang sama. Hingga akan terlihat perbedaan aktivitas siang dan malam hari. Mapping area bisa dengan cepat dan akurat. “Persepsi orang tentang aeromodelling itu dibilang mahal. Pengetahuan orang-orang konservasi mengenai ini juga masih kurang. Padahal manfaat sangat banyak,” kata Ali.

Komponen pesawat ini ringan tetapi mampu merekam data dengan tepat dan akurat. Bisa mengetahui titik koordinat detail lewat gambar yang dihasilkan. Kamera yang dipasang di badan pesawat akan mengambil gambar tiap tiga detik. “Ini akan membantu pekerja konservasi. Selama ini, mereka menggunakan GPS seringkali terdapat kesalahan. Adapun penggunaan satelite masih dianggap mahal.”

Mengoperasikan pesawat drones perlu biaya sekitar Rp50-Rp200 juta, namun data yang didapatkan jauh lebih berharga dibandingkan uang yang dikeluarkan. “Data jauh lebih akurat. Ketajaman gambar bisa maksimal bila dibandingkan monitoring menggunakan helikopter, atau pesawat jauh lebih efisien. Helikopter harus ada izin dan terdapat minimal ketinggian terbang, pesawat terbang di bawah awan.”

Pesawat ini cukup praktis, bisa dilipat. Uji coba pernah dilakukan saat monitoring erupsi Sinabung, persiapan rilis orangutan di Kalimantan Barat dan beberapa tempat lain.“Kalau pun ada kesalahan dan kerusakan pesawat biasa lebih karena human error. Misal, operator memaksakan pesawat beroperasi meski angin sedang kencang atau hujan.”

Ali mengatakan, pengembangan pesawat aeromodelling untuk konservasi baru kali ini dilakukan Mata Angkasa. Sebelumnya, mereka fokus kegiatan komersil seperti pembuatan film dan perusahaan.

Elisabet Purastuti, Ujung Kulon Project Leader WWF-Indonesia, mengatakan, pesawat ini membuat proses survei menjadi lebih mudah. Untuk menghitung badak di Taman Nasional Ujung Kulon, misal, tak perlu menurunkan banyak orang ke hutan. “Biaya monitoring menjadi lebih efisien.”

Arief Rubianto,  Manajer Perlindungan Yayasan Badak Indonesia (YABI),  mengatakan, keterbatasan petugas bisa terjawab dengan alat ini. “Pesawat ini bisa menjadi solusi untuk mendapatkan data akurat dengan cara efisien.”

Selama ini, katanya, dalam monitoring badak, seringkali terdapat human error hingga data kurang akurat. “Kita bisa tahu titik koordinat foto dimana. Jadi pengawasan lebih mudah. Ini pendekatan baru dan peluang bagus.”

Pesawat drones, meskipun biasa operasional relatif mahal berkisar Rp50-Rp200 juta tetapi hasil data maupun monitoring yang didapat jauh lebih akurat dari menggunakan petugas. Foto: Indra Nugraha
Pesawat drones, meskipun biaya operasional relatif mahal berkisar Rp50-Rp200 juta tetapi hasil data maupun monitoring yang didapat jauh lebih bagus dan akurat dibanding menggunakan petugas. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,