Dukungan dari para ulama dan pemuka agama untuk tidak merusak alam dan lingkungan semakin santer disuarakan, jika sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa no 4 tahun 2014, tentang Pelestarian Satwa Langka untuk menjaga Keseimbangan Ekosistem, maka kali ini dukungan serupa diserukan oleh pemuka agama di Sumatera Selatan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mempertimbangkan akhirat.
Bagi para ulama di Sumatera Selatan, kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini amat berdampak buruk bagi manusia dan seluruh mahluk yang ada sekarang dan masa yang akan datang.
“Jangan hanya memikirkan kepentingan dunia dan bersifat kekinian. Harus dipertimbangkan kepentingan akhirat, yang nantinya akan bersikap arif terhadap sesama manusia maupun lingkungan hidup,” kata Mal’an Abdullah, salah satu ulama terkemuka dan dosen di IAIN Raden Fatah di Palembang, yang juga mempelopori forum komunikasi lintas agama di Sumatra Selatan, seusai peristiwa kerusuhan 1998.
“Lolos di dunia, baik karena kekuatan hukum dan politik, tidaklah menjamin seorang manusia lolos dari pengadilan di akhirat,” ujarnya lebih lanjut.
Pernyataan Mal’an ini terkait dengan kondisi hutan di Sumsel yang kian rusak dan habis akibat berbagai aktifitas pertambangan, perkebunan, dan industri lainnya. Dari data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, dari luas Propinsi Sumatera Selatan sekitar 8,7 juta hektar, sekitar 3,7 juta hektar adalah luas hutannya. yang kini tersisa sekitar 800 ribu hektar saja. Sementara lahan di Sumsel yang digunakan bagi pertambangan, perkebunan, dan industri, sekitar 4,9 juta hektar. Yang paling banyak memakan lahan yakni pertambangan batubara seluas 2,7 juta hektar, perkebunan sawit satu juta hektar, serta sisanya Hutan Tanaman Industri (HTI), migas, dan lainnya.
Dampaknya, mulai dari pencemaran, kerusakan dan kemacetan di jalan, sungai, hingga terancamnya sejumlah flora dan fauna khas Sumatra, hingga menjadi penyumbang besar bagi karbon dan metana dunia.
Dijelaskan Mal’an, dalam ajaran Islam, bumi dan alam semesta beserta isinya diciptakan Allah yang diperuntukan bagi umat manusia sepanjang zaman. “Bukan untuk manusia pada satu zaman saja,” katanya.
Oleh karena itu, setiap manusia dalam bertindak terhadap alam, tidak hanya memikirkan dampaknya bagi umat manusia pada hari ini, juga bagi umat manusia di masa mendatang. “Hutan itu bukan hanya milik manusia hari ini. Hutan itu juga milik manusia di masa mendatang. Jadi jangan dirusak atau dihabisi. Hutan itu merupakan sumber kehidupan manusia. Bukan hanya sebagai sumber makanan, juga sebagai sumber oksigen, dan penjaga iklim dunia, yang sangat berguna bagi kehidupan manusia di masa mendatang,” katanya.
“Allah itu memerintahkan manusia untuk memegang prinsip lestari terhadap alam semesta,” katanya.
Jadi, jika ada manusia yang bertindak merusak alam, yang merugikan manusia pada hari ini maupun di masa mendatang, jelas merupakan perbuatan dosa. “Kalau tidak percaya, ya, nanti pada saat pengadilan di akhirat baru menyesali semuanya. Tapi ya sudah terlambat saat itu. Yang ada tinggal proses penghukuman dari Allah,” ujar Mal’an.
Ulama harus Aktif Memberikan Masukan
Otonomi daerah yang salah diterjemahkan, kata Mal’an, merupakan salah satu penyebab rusaknya lingkungan hidup, khususnya hutan, di Indonesia.
Dengan prinsip untuk mendapatkan pemasukan yang besar, banyak daerah melakukannya dengan menjual sumber daya alam sebesar-besarnya. Akibatnya banyak hutan yang dirusak guna mendapatkan keuntungan dari aktifitas penambangan migas, batubara, sawit, mapun perkebunan lainnya.
Mal’an pun berharap para ulama yang berada di daerah, turut memberikan masukan kepada para pejabat pemerintah maupun legislator mengenai pertimbangan akhirat tersebut.
“Semuanya tergantung dari pemerintah. Bukan hanya larangan, tapi juga kebijakan pembangunan yang benar-benar peduli dengan lingkungan hidup, sehingga tidak memberi ruang bagi pengrusakan lingkungan hidup dan berpihak pada kepentingan umat manusia hari ini dan mendatang. Caranya ya itu, buat kebijakan yang mempertimbangkan akhirat,” kata Mal’an.
Sikap para ulama di Sumatera Selatan ini sejalan dengan sikap yang diambil Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Samarinda yang sebelumnya telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan terhadap semua aktivitas pertambangan yang terbukti merusak lingkungan.