,

Greenpeace Ungkap Batubara Tak Hanya Rusak Lingkungan juga Lukai Ekonomi

Kandungan batubara di berbagai daerah di Indonesia seakan ingin dikuras habis. Di Kalimantan dan Sumatera, ribuan izin eksploitasi batubara diterbitkan pemerintah. Batubara digadang-gadang pemerintah sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional, bahkan pemerintah memperjuangkan pembangunan infrastrtuktur seperti rel kereta api guna menyokong industri ini.

Namun, “jualan” pemerintah ini ternyata berbeda dengan fakta yang diungkapkan Greenpeace. Laporan yang dirilis 18 Maret 2014 mengungkapkan, batubara malah memperburuk kinerja ekonomi. Bukan itu saja, operasi tambang ini menciptakan teror bagi kehidupan masyarakat sekitar, memperdalam kemiskinan, dan menciptakan kerusakan lingkungan begitu parah.

Dalam laporan berjudul “Batubara Melukai Perekonomian Indonesia” ini memperlihatkan, pada periode 2001-2012, Indonesia mengalami pertumbuhan luar biasa di sektor pertambangan batubara. Bahkan, sejak 2011, Indonesia menjadi pengekspor batubara terbesar di dunia, mengalahkan Australia. Padahal cadangan batubara negeri ini hanya tiga persen dari cadangan dunia.

Produksi batubara meningkat lebih dari 450 juta ton tahun 2012.  Sayangnya, peningkatan produksi batubara begitu tinggi ini, ternyata hanya menyumbang empat persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“Padahal fakta tidak begitu. Industri ini bernilai rendah dan menimbulkan banyak kerusakan,” kata Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia di Jakarta, hari itu.

Belakangan ini, harga batubara terus turun. Perekonomian pun berimbas kuat menyebabkan fluktuasi besar dalam neraca pembayaran dan nilai tukar. Makin lengkaplah jejeran kerugian dari pengembangan berlebihan industri ekstraktif ini.

Greenpeace juga mengungkap dampak tambang batubara bagi daerah sekitar. “Masyarakat, sekitar tambang batubara ini menderita.” Satu contoh, eksploitasi batubara di Kalimantan Timur.  “Desa-desa sekitar tambang banyak miskin. Tambang berdampak buruk bagi pertanian, perikanan dan sektor lain,” kata Arif.

Pekerja tambang di lapangan tambangan batubara di Makroman, Kalimantan Timur. Foto: Greenpeace
Pekerja tambang di lapangan tambangan batubara di Makroman, Kalimantan Timur. Foto: Greenpeace

Bukan itu saja. Dampak tambang ini menyebabkan gangguan kesehatan bagi warga dan bencana alam. Belum lagi, lubang-lubang tambang yang ditinggal menganga banyak merenggut korban jiwa. “Di Samarinda, misal, tambang batubara menyebabkan polusi udara, banjir terus menerus dan beragam penyakit.”

Tambah miris lagi, katanya, banyak desa sekitar tambang batubara masih tak teraliri listrik. Padahal, sumber daya batubara di sekitar mereka digunakan buat menyuplai pembangkit listrik di berbagai kota di negeri ini bahkan berbagai negara.

Dari kajian Greenpeace memperlihatkan, terjadi pelemahan terus menerus di pasar batubara global. Permintaan dari negara-negara pengimpor, seperti China terus menurun.

Selama dua tahun terakhir, polusi di China mencapai rekor, tingkat PM 2,5 pada Januari 2013. Ini lebih dari 30 kali tingkat aman menurut WHO, yaitu 25 mikrogram per meter kubik. Kebijakan baru pun mulai berlaku pada 26 provinsi di negeri itu yakni, memangkas produksi dan konsumsi batubara.

Kini, katanya, China mulai mengembangkan energi terbarukan, seperti pembangkit tenaga angin. “Permintaan batubara dari Indonesia pun praktis turun.”

Untuk itu, sudah waktunya Indonesia meninggalkan pembangunan ekonomi dari eksploitasi batubara. “Jika Indonesia masih bertopang batubara, jangka panjang bisa melukai perekonomian lebih jauh dan tak sesuai komitmen yang katanya mau pembangunan rendah karbon.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,