,

Penguatan Warga buat Kelola Hutan Adat di Papua

Minggu, 23 Maret 2014, kami berkendara mobil menuju Simpang Tiga Kampung Wayau, sekitar 90 kilometer ke pedalaman Merauke. Orang Merauke menyebut simpang ini dengan tiga kampung karena terletak persis di jalan menuju Kampung Wayau, Kampung Senegi dan Kampung Salor.

Di Simpang Tiga Kampung Wayau itu, tengah berlangsung pelatihan masyarakat mengelola hutan adat. Mereka ini dari berbagai koperasi, yakni, Koperasi Serba Usaha (KSU) Mo Make Unaf dari Kampung Kaliliki, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke. Ada KSU Jibogol dari Kampung Guriad, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura; KSU Lwagubin Srem dari Kampung Beneik, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura. Lalu, KSU Tetom Jaya dari Kampung Tetom Distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi dan KSU Year Asai dari Distrik Windesi Kabupaten Yapen. Dua lagi, KSU Beco dan KSU Jipawer dari Kabupaten Asmat. Masing-masing kelompok ini didampingi Dinas Kehutanan daerah mereka.

Hendrik Aboway, Ketua KSU Tetom Jaya, Distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi sangat bersyukur mendapat pelatihan dari WWF ini. Hutan rakyat, katanya, habis karena izin yang dikeluarkan pemerintah kepada pengusaha kayu. “Mudah-mudahan hutan adat kami bisa terjaga dari para pengusaha,” katanya.

Senada diungkapkan Agustinus Kanki Balagaize, Ketua KSU Mo Make Unaf. “Kegiatan ini sungguh baik.” Menurut dia, pengelolaan hutan masyarakat hukum adat di Papua dimulai sejak 2010. Sejalan dengan Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 tahun 2010  mengenai usaha pemanfaatan hasil hutan kayu masyarakat hukum adat.

Kebijakan pengelolaan hutan ini, katanya, wujud keberpihakan pemerintah Papua kepada masyarakat adat. “Agar warga bisa mengelola dan memanfaatkan hutan adat mereka.”

Kebijakan gubernur itu merupakan pelaksanaan UU Otonomi Khusus bagi Papua dan peraturan daerah khusus tentang pengelolaan hutan berkelanjutan di daerah ini.

Pertemuan WWF  dengan masyarakat adat yang tergabung dalam KSU di Merauke. Pertemuan ini bertempat di Simpang Wayau . Foto: Agapitus Batbual
Pertemuan WWF dengan masyarakat adat yang tergabung dalam KSU di Merauke. Pertemuan ini bertempat di Simpang Wayau . Foto: Agapitus Batbual

Paschalina Ch. M. Rahawarin, Trans Fly Landscape Manager WWF Indonesia mengatakan, pendampingan best management practice ini bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Papua. Kelompok-kelompok ini, katanya, telah mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu masyarakat adat.

“Mereka dilatih, bagaimana memahami dan terampil mengelola hutan mulai dari produksi, mengelola lingkungan, dengan cara terbaik dan berkesinambungan,” katanya.

Mereka juga dilatih mengoperasikan portable saw mill (lukas mill) dan pemahaman kelembagaan serta pemberdayaan maupun pengelolaan dana koperasi. “Kita harapkan, pelatihan ini berguna untuk usaha KSU di seluruh dampingan WWF Indonesia di Papua.”

Efendi Kanan, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Merauke menyambut baik kegiatan ini. Kelompok ini berlajar bagaimana mengelola koperasi. Mulai dari survei, pengolahan lahan termasuk perbenihan, penggunaan alat hingga pemasaran. “Pemerintah Merauke sangat mendukung. Masyarat di sekitar kawasan hutan adat harus sejahtera dulu baru, yang lain.”

Fasilitator menjelaskan cara  survei, ukuran kayu dan diameter serta cara mengolah kayu. Foto: Agapitul Batbual
Fasilitator menjelaskan cara survei, ukuran kayu dan diameter serta cara mengolah kayu. Foto: Agapitul Batbual
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,