,

Suaka Margasatwa Dangku Terancam, Lahan Adat Warga Terampas

Suaka Margasatwa Dangku berada di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel). Kawasan ini berjarak sekitar 150 kilometer dari Palembang, kini memiliki luas 31.752 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan Mei 1991. Sebelum itu, SK Menhut tahun 1986, menetapkan luas Margasatwa Dangku 70.240 hektar.

Saat ini, kondisi hutan Suaka Margasatwa Dangku, mulai kritis. Sulit ditemukan harimau Sumatera, gajah, tapir, dan sejumlah flora khas hutan tropis berkurang. Suaka Margasatwa ini dikelilingi perkebunan sawit dan HTI. Namun, tuduhan perusakan santer tertuju pada sekitar 2.000 keluarga yang berkebun di sana.

Warga membantah. “Tidak benar itu. Harimau, gajah, tapir, sudah lama tidak ditemukan di hutan Dangku. Mereka hilang sejak perusahaan perkebunan, batubara dan minyak hadir,” kata Yusril Arafat, warga Tungkalulu, akhir Maret 2014.

Yusril bersama warga lain tengah memperjuangkan status hukum lahan yang mereka tempat dari pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin. “Para leluhur kami mengajarkan agar tidak membunuh harimau dan gajah, sebab dipercaya dua hewan itu puyang (leluhur).”

Sedang tapir, trenggiling, kera, babi hutan, maupun beruang madu, katanya, tidak dimakan karena haram. “Yang sering diburu mungkin hanya rusa untuk dimakan dan burung untuk dipelihara,” ujar dia.

Suaka Margasatwa Dangku, sebelah utara berbatasan dengan perkebunan sawit PT Berkat Sawit Sejati, sebelah selatan perkebunan sawit PT Musi Banyuasin Indah dan HTI milik PT Pakerin serta kebun sawit PT Pinago. Lalu, sebelah barat berbatasan dengan kawasan hutan lindung, dan sebelah timur dengan areal penggunaan lain.

Sebelum ditetapkan pemerintah sebagai Register 37, Suaka Margasatwa Dangku, sekitar 20 ribu hektar lahan di lansekap Dangku merupakan hutan adat marga Tungkalulu. Marga Tungkalulu terbentuk pada 1926, kali pertama dipimpin pesirah Bahmat alias Badui. Saat marga terbentuk mereka menjadikan lansekap Dangku sebagai tanah adat, sebagai sumber kehidupan dari bertani. Luas hutan adat mencapai 160 kilometer persegi.

Di lansekap Dangku terdapat tujuh sungai, yakni, Sungai Tungkal, Jerangkang, Petaling, Petai, Dawas, Biduk dan Sungai Lilin. Di sana, ada sejumlah flora endemik seperti meranti, merawan, medang, manggeris, jelutung, balam, tembesu dan merbau. Lahan ini juga habitat harimau Sumatera, gajah, rusa, tapir, trenggiling, kera ekor panjang, landak, babi hutan dan beruang madu, serta burung seperti rangkong dan raja udang.

Ketika sebagian tanah adat dijadikan Suaka Margasatwa Dangku, masyarakat belum merasakan dampak negatif. Masih ada lahan adat lain untuk bertani dan berkebun. Kala tanah adat diberikan pemerintah untuk perkebunan, migas dan pertambangan, masyarakat merasakan kesulitan hidup.

Puncaknya pada 2006, aparat polisi mengusir dan merusak rumah warga yang diklaim masuk wilayah perkebunan sawit milik PT Sentosa Mulia Bahagia (SMB). Ada warga menjadi gila dan bunuh diri. Kala sebagian warga ingin bertani di tanah adat yang masuk Suaka Margasatwa Dangku, mereka pun ditangkap dan dipenjara. Sekitar 18 ribu warga kehilangan lahan pertanian dan hidup miskin.

Perjuangan warga terus berjalan. Sejak 2012 hingga kini, sekitar 2.000 keluarga membangun pondok dan berkebun di Suaka Margasatwa Dangku. “Kami melakukan ini karena hidup kami miskin. Selama puluhan tahun kami kehilangan lahan pertanian.” 

Kabupaten Musi Bayuasin dengan luas 14.265,96 kilometer persegi merupakan kawasan di Sumsel yang paling banyak dimanfaatkan perusahaan.

Berdasarkan data Walhi, ada 68 perusahaan mendapat kuasa penambangan batubara dengan luas lokasi sekitar 1.108.032 hektar di Kabupaten Musi Banyuasin. Puluhan perusahaan sawit, baik asing maupun nasional, mengusai sekitar 191.425 hektar. Perusahaan perkebunan karet 4.148 hektar.

Perkebunan rakyat pun tumbuh di Musi Banyuasin. Sekitar 164.993 hektar untuk karet, dan 22.195 hektar sawit. Namun, paling besar lahan dikuasai hutan tanaman industri (HTI). Ada sembilan perusahaan HTI di Musi Banyuasin, di Sumsel 19 perusahaan.

Pertemuan pemerintah Kabupaten Muba dan Provinsi Sumsel,  membahas soal  masyarakat adat yang tinggal di Suaka Margasatwa Dangku. Foto: Taufik Wijaya
Pertemuan pemerintah Kabupaten Muba dan Provinsi Sumsel, membahas soal masyarakat adat yang tinggal di Suaka Margasatwa Dangku. Foto: Taufik Wijaya

Dikepung Perusahaan

Dikutip dari buku Konsep Menuju Pembangunan Kawasan Esensial Koridor Satwa: Kawasan Hutan Harapan-Suaka Margasatwa Dangku Provinsi Sumatera Selatan yang diterbitkan Dinas Kehutanan Sumsel, pada 2013,  penggunaan lahan di lansekap Dangku didominasi oleh berbagai status kawasan hutan, seperti HTI, perkebunan sawit, eksplorasi migas dan batubara, serta sebagian kecil dijadikan pemukiman penduduk. Perusahaan migas yang beroperasi di sekitar Suaka Margasatwa Dangku yakni ConocoPhillip, dua HTI, empat perusahaan sawit.

Sementara warga di sekitar lansekap Dangku menetap di 15 desa. Ke-15 desa itu Desa Peninggalan, Simpang Tungkal, Pangkalan Tungkal, Berlian Jaya, Tampang Baru yang masuk Kecamatan Bayung Lencir. Lalu Desa Pangkalan Bulian, Lubuk Bintialo, Bukit Pangkuasan, Bukit Sejahtera, Bukit Selabu, Saud, Talang Buluh, dan Sako Suban yang masuk Kecamatan Batanghari Leko.  Ditambah Desa Macang Sakti dari Kecamatan Sanga Desa dan Desa Dawas dari Kecamatan Keluang.

Keberadaan perusahaan-perusahaan dan pemukiman penduduk, dinilai berpotensi melahirkan konflik kepentingan ekonomi dengan konservasi. Sebab,  keberadaan mereka langsung maupun tidak langsung mendorong kepunahan keragaman hayati di kawasan lansekap Dangku, seperti fragmentasi, pemburuan liar, illegal logging, dan kebakaran hutan.

Menurut buku yang merupakan kumpulan pemikiran sejumlah akademisi menyimpulkan, ada beberapa aktivitas yang diindentifikasi mengancam kelestarian keragaman hayati di kawasan lansekap Dangku. Antara lain, illegal logging, perburuan satwa untuk perdagangan ilegal, dan alih fungsi untuk pertambangan mineral dan batubara. Lalu, pembukaan dan pembangunan jalan baru, dan kebakaran hutan serta perambahan untuk pemukiman dan perkebunan.

Warga sebagian besar dari Marga Tungkalulu dan Dawas, yang tinggal di tanah adat di dalam Suaka Margasatwa Dangku, bersedia meninggalkan hutan demi menjaga kelestarian keragaman hayati. Syaratnya, tanah adat mereka yang dikuasai perusahaan perkebunan dikembalikan.

“Kami juga sayang alam. Selama puluhan tahun, kami menjaga. Kerusakan itu bukan karena perilaku kami. Masak menjaga kelestarian fauna dan flora kami harus mati kelaparan. Kami mau pindah, asal tanah adat yang dikuasai perkebunan kembali,” kata Yusril. Dia berpegang pada Keputusan Mahkamah Konstitusi No.35 tentang pengakuan hutan adat.

Menurut Yusril, 2.000 keluarga di Suaka Margasatwa Dangku menanam karet, bambu, buah-buahan seperti duku, durian dan cempedak, pisang, serta sayuran dan palawijaya. “Itu cocok tanam sesuai tradisi kami selama ini.”

Adios Syafri, dari Wahana Bumi Hijau (WBH), menilai, masyarakat dapat bertahan di hutan Suaka Margsatwa Dangku, asal tak mengganggu fungsi margasatwa. Misal, membuat kebun tanaman hutan, tidak berburu satwa, dan tak menggunakan api dalam membuka lahan.

“Jika memang perlu direlokasi, tentu disiapkan lahan dahulu untuk sumber kehidupan mereka. Setahu saya, banyak kawasan hutan bekas HTI seperti di lokasi PT Pakerin dapat dijadikan lokasi masyarakat.”

Beni Hernendi, Wakil Bupati Musi Banyuasin mengatakan, tengah mewacanakan peraturan daerah mengenai hutan adat, dan hak masyarakat adat mengakses hutan. “Upaya ini juga didukung pemerintah pusat maupun provinsi,” katanya, Jumat (28/3/14).

Dia menyadari, aktivitas di Dangku,  merupakan pilihan terburuk bagi masyarakat, yang memang sangat membutuhkan lahan untuk bertani. “Tidak mungkin dilakukan pengusiran terhadap rakyat Musi Banyuasin yang butuh makan. Kami berharap,  sementara ini masyarakat tidak mengganggu fungsi hutan.”

Menurut dia, melalui berbagai kebijakan, termasuk rencana perda adat, tetap mengarahkan pemenuhan hak masyarakat adat dengan semangat menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Neville Kemp, Direktur Ekologika kecewa jika masyarakat merusak hutan. Dia yakin, masyarakat adat arif dengan lingkungan hidup.

Julian Junaidi Polong dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Palembang, mengatakan,  masyarakat adat di Sumsel, menghargai kelestarian hutan. “Justru yang menjadi persoalan pendatang, yang dulu hidup di perkotaan, yang memanfaatkan hutan. Baik sebagai investor maupun petani sawit.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,