Restorasi Ekosistem Upaya untuk Memulihkan Kondisi Hutan Indonesia

Dogma lama bahwa hutan adalah penyedia kayu telah menjadikan hutan di Indonesia rusak parah.  Tidak saja kerugian ekonomi yang terjadi, namun kerugian sosial, potensi hilangnya jasa lingkungan dan keragaman hayati.  Pengelolaan di hutan produksi harusnya bukan untuk kayu semata tetapi tetapi harus meliputi prinsip keberlanjutan, produktivitas, konektivitas, keaslian dan keragaman hayati.

Koreksi terhadap pengelolaan hutan produksi dari komoditas kayu, saat ini coba dilakukan melalui perbaikan yang dikenal dengan upaya Restorasi Ekosistem di wilayah hutan produksi yang diatur lewat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).  Jika hutan konservasi dikelola oleh pemerintah, maka Restorasi Ekosistem (RE) akan dilakukan oleh swasta yang berminat.

Kegiatan IUPHHK-RE bertujuan untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta non-hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.  Demikian pula, RE merupakan upaya untuk mempertahankan fungsi dan keterwakilan ekosistem hutan alam melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan.

Hingga Maret 2014, ijin RE telah dikeluarkan kepada 12 perusahaan dengan cakupan luasan 480.093 ha.  Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan, IUPHHK-RE mendapat alokasi seluas 2.695.026 hektar. Ijin RE pertama di Indonesia yang dikenal dengan nama Hutan Harapan sendiri telah berjalan Konsorsium Burung Indonesia di Sumatera Selatan sejak tahun 2007.

“Hal positif dari RE adalah akan tercipta pengembangan usaha multi produk dan jasa serta laju deforestasi dan emisi karbon dari hutan produksi berkurang,” ungkap Mangarah Silalahi, Kepala Resource Center Pengembangan Restorasi Ekosistem Burung Indonesia.

Menurutnya pengelolaan IUPHHK-RE harus didukung karena sangat berpeluang untuk mempertahankan konektivitas bentang hutan alam dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati.

Perambahan kawasan, salah satu masalah di area restorasi ekosistem. Skema Restorasi Ekosistem harus memikirkan upaya penyelesaian konflik dan masalah sosial. Foto: Aulia Erlanga/ Burung Indonesia

Tantangan Restorasi Ekosistem

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Hutan dari Institut Pertanian Bogor menyebutkan bahwa keberadaan RE bukannya tanpa hambatan.  Menurut Hariadi, masalah restorasi ekosistem saat ini bukan lagi melulu masalah teknis kehutanan seperti penanaman dan pemiliharaan tetapi yang lebih penting adalah menempatakan persoalan sosial.

Pengelolaan hutan harus berubah dari definisi fisik ke interaksi sosial dan pola ruang.  Sehingga solusinya dengan demikian harus mencari model usaha yang kontekstual sesuai dengan kondisi lapangan.

“Hal utama dari restorasi ekosistem berada di tingkat manajemen unit.  Jika penetapan lokasi ijin tumpang tindih, maka akan timbul konflik sosial. Masalah tata batas krusial supaya tidak timbul konflik.  Jangan lagi nanti kampung orang masuk ke dalam kawasan konsesi.”

Hariadi juga menyoroti masalah penggunaan peta indikatif.  Menurutnya peta 1:100.000 yang selama ini dipakai di Kehutanan tidak lagi layak, seharusnya peta yang digunakan adalah peta 1:50.000 atau 1:25.000 sesuai dengan pertimbangan teknis dari Gubernur/ Bupati yang setara dengan skala peta Hak Guna Usaha (HGU).

“Harus juga diingat sekarang dengan adanya keputusan MK 35/2012 kawasan hutan itu bukan lagi semuanya adalah kawasan hutan negara, selain hutan negara juga ada hutan hak dan hutan adat,”  ujarnya menambahkan.

Sebaran RE

Demikian pula jika RE diharapkan akan eksis tanpa melakukan eksploitasi kayu, maka perlu dicarikan skema struktur finansial yang tepat dan sumber pembiayaan yang tepat.  Bagi para pelaku usaha maka diperlukan suatu aspek kepastian usaha dalam pemanfaatan hutan produksi yang mencakup kepastian kawasan, waktu dan jaminan hukum.

“Termasuk harusnya ada insentif kebijakan bagi pelaku usaha RE” menurut Sukianto Lusli dari Konsorsium Burung yang sekarang sedang mengurus ijin IUPHHK-RE di Gorontalo.

Menurutnya akan berat jika ijin RE disamakan dengan pengelolaan kayu. Literatur dan paradigma lama, termasuk aturan regulasi yang berlaku untuk HPH sudah harus direvisi agar cocok bagi pengelolaan RE.  Tanpa adanya eksploitasi ekstraktif seperti kayu, bahkan malahan mengeluarkan dana investasi untuk restorasi, maka perhitungan ekonomi seperti Return on Investment (RoI) dalam paradigma lama tidak akan cocok dalam skema bisnis RE yang amat jauh berbeda.

Berbeda dengan IUPHHK-HA (Hutan Alam) yang memiliki maksimum ijin 55 tahun, maka IUPHHK-RE memiliki konsesi hingga 60 tahun dan dapat diperpanjang hingga 35 tahun.

Para pelaku juga meminta pemerintah agar lokasi yang dicadangkan untuk RE berada dalam lokasi yang strategis, tidak terpisah dan tidak berada dalam kawasan yang sulit dijangkau, termasuk potensi konflik yang dapat diatasi.  Para pelaku pun menyoroti masalah ekonomi biaya tinggi yang kerap terjadi dalam pengusahaan kehutanan.

Dalam proses pengelolaan RE, jika keseimbangan hayati telah tercapai maka pemerintah juga harus harus membuka peluang bagi pemegang konsesi untuk berbagai pemanfaatan hasil hutan dan tidak diharuskan kembali ke kayu.

Bagi para pelaku RE, peluang pendanaan pengelolaan dapat berasal dari peluang internasional untuk pembayaran kompensasi biaya karbon.  Pemerintah diharapkan dapat keluar dengan kebijakan yang dapat memudahkan aliran skema finansial untuk mengambil peluang ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
,