Dituding Beli Kelapa Sawit Bermasalah, P&G Rilis Komitmen Nol Deforestasi

Salah satu produsen kebutuhan rumah tangga asal Amerika Serikat, Procter & Gamble secara resmi mengumumkan langkah untuk mengambil kelapa sawit yang bisa dilacak dan tidak merusak hutan alam dalam rantai pasokan mereka secara keseluruhan. Langkah ini diumumkan oleh Procter & Gamble (P&G) hari Selasa, 8 April 2014 silam, setelah tekanan yang bertubi-tubi dialamatkan bagi perusahaan yang salah satu produknya adalah sampo Head and Shoulders ini.

Sebulan setelah organisasi Greenpeace menjalankan kampanye terhadap perusahaan yang berbasis di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat ini, pihak P&G akhirnya memutuskan untuk memperbaiki sistem pembelian kelapa sawit mereka hanya dari sumber-sumber yang terpercaya mulai tahu 2020 mendatang, yang artinya peraturan baru ini baru akan dijalankan sepenuhnya sekitar enam tahun mendatang.

Kondisi hutan Indonesia akibat ekspansi kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Foto: Greenpeace
Kondisi hutan Indonesia akibat ekspansi kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Foto: Greenpeace

Dalam pernyataan yang dirilis secara resmi oleh pihak perusahaan, mereka menyatakan komitmennya untuk membeli kelapa sawit dari perusahaan yang tidak melakukan perusakan terhadap hutan hujan tropis. “Komitmen no deforestation P&G dalam rantai pasokan kelapa sawit tidak bisa ditawar. Tujuan kami adalah untuk membangun solusi efektif dalam jangka panjang terhadap isu keberlanjutan dalam kelapa sawit. Kami berkomitmen untuk melakukan perubahan positif melalui seluruh rantai suplai, tidak hanya untuk kami, namun juga untuk industri dan juga petani kecil yang tergantung pada komoditi ini,” ungkap Wakil Presiden P&G untuk Keberlanjutan Global, Len Sauers.

Saat ini, sebenarnya P&G sudah membeli kelapa sawit yang bersertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). P&G adalah anggota RSPO dan melakukan pembelian sesuai standar yang ditetapkan oleh kriteria organisasi tersebut. Namun melalui target baru ini, komitmen P&G bertekad melakukan lebih dari standar yang ditetapkan oleh RSPO, degan tujuan untuk membangun praktek keberlanjutan yang bisa diandalkan, efektif dan awet di seluruh pemasok mereka.

1114-chart-top-deforesters

Beberapa poin penting dalam memastikan komitmen anti-deforestasi dalam seluruh pasokan mereka dijabarkan dalam beberapa poin:

1. Membuat sistem yang bisa melacak sumber kelapa sawit hingga ke pabrik pengolahan mulai 31 Desember 2015.

2. Memastikan tidak ada aktivitas penebangan ilegal di dalam rantai pemasok hingga ke perkebunan di tahun 2020. Khusus untuk kelapa sawit pihak pemasok harus memasukkan rencana kerja mereka kepada pihak P&G tanggal 31 Desember 2015, dimana mereka harus bisa memastikan bahwa pihak penyuplai bisa menunjukkan bahwa mereka mampu menjamin praktek penanaman dan produksi mereka di lapangan bebas deforestasi di tahun 2020.

3. Bekerjasama dengan penyuplai, pihak industri, LSM, para pakar dan pemangku kepentingan lainnya untuk mempromosikan standar dan praktek industri yang konsisten dalam pembelian kelapa sawit yang berkelanjutan.

4. terus mendukung hak-hak asasi manusia seperti tercantum dalam Panduan Keberlanjutan bagi Penyupai P&G, dan mendukung hak-hak masyarakat adat.

5. Memberikan laporan tahunan terkait kemajuan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

1114-INDONESIA-tree-cover600

Pihak Greenpeace sendiri, kendati menyambut baik komitmen yang disampaikan oleh P&G namun mereka tetap mendorong perusahaan ini untuk secepat mungkin mendorong para penyuplai mereka melakukan praktek produksi yang tidak merusak hutan tropis dunia. “Greenpeace menyambut baik P&G yang membuat komitmen yang lebih kuat untuk membeli kelapa sawit yang berkelanjutan,” ungkap Joao Talocchi, juru bicara Greenpeace menanggapi isu ini, seperti dimuat dalam situs mereka. “Hal terpenting saat ini adalah P&G bisa menekan seluruh pemasok kelapa sawit mereka untuk mengikuti standar ini dan melakukannya secepat mungkin untuk membuat perubahan nyata dalam hutan tropis Indonesia.”

Indonesia adalah salah satu wilayah yang kehilangan hutan hujan tropis paling cepat di dunia. Laju deforestasi di Indonesia nomor dua di dunia setelah Brasil hingga tahun 2011 silam.

Hutan Kalimantan akibat ekspansi kelapa sawit. Foto: Greenpeace
Hutan Kalimantan akibat ekspansi kelapa sawit. Foto: Greenpeace

Menurut penelitian yang dipimpin oleh Matt Hansen dari University of Maryland, menemukan bahwa Indonesia kehilangan 15,8 juta hektar antara tahun 2000 dan 2012, peringkat kelima di belakang Rusia, Brasil, Amerika Serikat, dan Kanada dalam hal hilangnya hutan. Adapun sekitar 7 juta hektar hutan ditanam selama periode tersebut.

Namun dari lima negara hutan di atas, berdasarkan persentase, maka Indonesia berada di peringkat pertama dari laju kehilangan hutan yaitu 8,4 persen. Sebagai perbandingan, Brasil hanya kehilangan separuh dari proporsi tersebut.

Dari 98 persen kehilangan hutan di Indonesia, deforestasi terjadi di wilayah hutan berkerapatan tinggi yang ada di Sumatera dan Kalimantan, lokasi dimana konversi akibat hutan tanaman industri dan perkebunan sawit berkembang amat marak selama 20 tahun terakhir.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,