,

Hukum Lingkungan di Indonesia versus Brazil, Ini Bedanya…

“UU Lingkungan Hidup tidak akan selamat kalau rule of law tidak ada.” Begitu dingkapkan Antonio Herman Benyamin, ahli hukum lingkungan Catholic University of Brazilia pada seminar bertajuk “Trends in Enviromental Law; A Comparative Perspective” di Jakarta, Selasa (15/4/14).

Di Indonesia, katanya, sejak zaman Soeharto, mereka tidak serius melihat hal ini. Pemerintah membuat UU Lingkungan Hidup karena negara lain melakukan hal itu atau agar masyarakat lupa keburukan lain tanpa integritas. “Kita harus membuat hukum lingkungan melindungi masa depan.”

Benyamin berbagi cerita mengenai penerapan hukum lingkungan di Brazil. Di Brazil, ada sembilan UU dikeluarkan soal lingkungan. Terminologi ekologis banyak disebut dalam UU. Ketika berbicara mengenai pembangunan berkesinambungan, penekanan ada pada keseimbangan ekologis.

“Ini basis dari segala hal. Ini pilar pembangunan. Sumber alam dan lingkungan merupakan dasar segala hal yang kita bicarakan. Ini dasar pembicaraan hukum lingkungan.”

Dalam menjalankan agenda pembangunan, katanya, Brazil tak menggunakan istilah pembangunan berkelanjutan, tetapi  pembangunan menekankan keseimbangan ekologis.

“Kemarin saya berbicara tentang kejadian hukum hutan di Brazil 1995. Ini hal bagus. Ini tidak didesain untuk melindungi hutan, tapi melindungi air. Secara tidak langsung hutan diselamatkan.”

Dalam membangun hukum lingkungan hidup, perlu peningkatan kapasitas legal dan keilmuan. Baik penegakan judicial maupun administratif. Selain itu, perlu juga integrasi antara pengetahuan, struktur institusional, pengembangan pendidikan, pertimbangan ekonomi dan kerangka hukum itu sendiri.

Benyamin mengatakan,  UU Lingkungan Hidup  memerlukan status. Beberapa sekolah hukum mencoba mengembangkan UU Lingkungan Hidup ini.

Menurut dia, hukum lingkungan hidup bukan hal sederhana. Persoalan lingkungan sangat kompleks. Terlebih dalam pandangan hukum, persoalan lingkungan menjadi lebih sulit dijelaskan.

“Hukum lingkungan menjadi sangat kompleks. Banyak pertikaian ditemukan di hukum biasa. Ketika berbicara lingkungan, polusi misal. Bagaimana mendifinisikan ini semua? Tiap negara mempunyai perspektif berbeda soal polusi. Atau misalnya ketika berbicara siklus karbon, kita tidak banyak mengetahui hal itu,” katanya.

Inilah pembangunan berkelanjutan versi Indonesia. Hutan rusak, air tercemar tak apa, asal sudah ada izin pemerintah dan penegakan hukumpun menjadi tumpul. Foto: Lili Rambe

Hakim High Court of Brazil itu mengatakan, permasalahan lingkungan bukan hanya milik satu negara, tetapi masalah internasional. “Tapi dalam pembangunan hukum lingkungan, kita berbicara tingkatan-tingkatan pemerintahan berbeda. Biasa, pendekatan antarpembuat UU berbeda-beda. Mereka  membuat perspektif berbeda. Misal, ketika membuat satu perundang-undangan, mereka tidak melihat UU tanah, UU air, dan lain-lain. Kita harus melihat ini semua.”

Dalam kesempatan sama, Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ mengatakan, banyak hal bisa dicontoh dari Brazil terkait penegakan hukum atas tindak pidana kejahatan SDA.  Brazil pernah menangkap 600 orang termasuk 150 pejabat terlibat perusakan hutan. Kondisi ini membuktikan, penegakan hukum di sana tidak pandang bulu.

“Terjadi pengurangan deforestasi signifikan. Pemerintah Brazil membangun polisi federal dengan integritas sangat baik dan keberanian kuat. Orang-orang muda pilihan Brazil pergi ke Amazon, dan berhasil membongkar kartel atau mafia pembabatan hutan yang luar biasa.”

Pemerintah Indonesia, kata Heru, sudah ada upaya. Terlebih sejak keluar UU 32  tahun 2009 tentang  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, dia menyadari, selama ini yang ditindak hanya individu. Korporasi yang terlibat banyak pengusakan hutan tak tersentuh.

“Kita sedang mendorong memudahkan penegak hukum menindak korporasi. Pedoman ini agar memudahkan koordinasi dalam menangani. Banyak elemen perlu dikuatkan agar bisa berjalan efektif,” kata Heru.

Takdir Rahmadi, Hakim Mahkamah Agung, mengatakan  perkembangan, hukum lingkungan itu baik Brazil maupun Indonesia mulai tahun 80-an. Hingga kini, ada UU 32 tahun 2009. Di Internasional, tidak lagi berbicara hukum lingkungan. Maka muncul diskusi enviromental  rule of law.

Dia melihat, dalam UU Kehutanan, semua orang sepakat dalam kawasan lindung, tak boleh ada izin tambang. Kenyataan, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) memberikan izin tambang di hutan lindung. Apalagi perusahaan asing yang bermain.  Ada masalah di sini.

“Dengan UU Keterbukaan Informasi, sebenarnya Indonesia sudah oke. Masyarakat bisa menggugat. Dilihat dari norma ini, ada peran serta masyarakat di sana.”

Inilah pembangunan berkelanjutan versi Indonesia. Hutan lindung boleh dibabat buat tambang asal ada izin. Ini hutan lindung di Batang Toru yang rusak untuk pembuatan camp perusahaan tambang. Foto: Yayasan Ekosistem Lestari
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,