,

Rudi Putra, Penyelamat Leuser yang Berangus Kebun Sawit Ilegal

Rudi Putra, tahun lalu mendapatkan  Future For Nature Award” dari Belanda. Pada 2014, menerima The Goldman Environmental Prize di California.

Tahun lalu, Mama Aleta, pegiat lingkungan negeri ini mendapatkan penghargaan internasional The Goldman Environmental Prize, atas perjuangan melawan tambang di Nusa Tenggara Timur (NTT). April tahun 2014, penghargaan serupa diterima pegiat lingkungan dari Aceh,  Rudi Hadiansyah Putra, atas perjuangan menyelamatkan kawasan ekosistem Lauser (KEL). Pada Februari tahun lalu, dia juga mendapatkan Future For Nature Award” dari Belanda.

Pria kelahiran Seruway, 1977 ini, satu dari enam warga negara di dunia yang meraih penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup  dan menerima uang tunai $175.000 atau sekitar Rp2 miliar per orang. Mereka menerima anugerah pada Senin (28/4/14) di San Francisco Opera House, California, Amerika Serikat.

The Goldman Environmental Prize didirikan tokoh masyarakat dan dermawan Richard dan Rhoda Goldman dari San Francisco pada 1989. Para pemenang dipilih oleh dewan juri internasional berdasarkan nominasi rahasia yang diserahkan melalui jaringan kerja organisasi-organisasi dan orang-orang dalam bidang lingkungan hidup.

Rudi, melalui perjuangan keras bersama tim, berhasil menghentikan laju perkebunan sawit ilegal yang menyebabkan deforestasi masif di KEL, di Kabupaten Aceh Tenggara, sambil melindungi badak Sumatera yang terancam punah.

Rudi menunjukkan minat kuat pada alam dan kehidupan satwa. Dia mempelajari biologi pelestarian, dan jatuh cinta pada badak Sumatera. Satwa ini, anggota paling kecil dan paling terancam punah dari keluarga badak.

Dia lulusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh dan Magister Konservasi Biodiversitas Tropika di IPB. Selama 14 tahun berupaya melindungi satwa di KEL. Ini kawasan konservasi harapan terakhir dunia bagi upaya penyelamatan beberapa satwa langka.

Rudi, saat berdiskusi bersama masyarakat sekitar. Foto: dokumen Goldman Prize
Rudi, saat berdiskusi bersama masyarakat sekitar. Foto: dokumen Goldman Prize

Dia rutin patroli rutin mencegah perburuan satwa liar. Juga aktif merestorasi kawasan hutan yang berubah fungsi menjadi perkebunan sawit agar menjadi hutan kembali.

Terlebih, sekitar empat juga orang bergantung hidup dari KEL ini. Mereka mengandalkan hutan sebagai lahan pertanian dan sumber air.

Hutan memberikan perlindungan sangat besar dari ancaman banjir yang kian sering terjadi dalam tahun-tahun terakhir ini. Dia menyadari,  kini tidak saja melindungi badak dan habitat, juga orang-orang yang tinggal di kawasan itu.

Rudi menyadari, melawan perburuan liar penting. Namun, harus lebih dulu melawan perusakan habitat akibat perkebunan sawit liar.

Dimulai 2009, dia bersama Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) berjuang ‘menyisir’ perkebunan sawit yang beroperasi ilegal di KEL. “Ada 24 perkebunan ditutup luas 10.000 hektar,” katanya, pada Maret 2013.

Setelah mendapat dukungan dari masyarakat setempat, Rudi langsung mendekati kepolisian agar menutup sejumlah perkebunan sawit liar di sekitar KEL. Dia juga berbicara dengan ratusan ribu warga yang kehilangan rumah dan keluarga, akibat banjir Aceh 2006. Mereka berjuang untuk mendapatkan air bersih.

Para pemilik perkebunan sawit pun didekati Rudi. Dia mengingatkan, tindakan mereka bertentangan dengan UU. Rudi berhasil meyakinkan mereka setelah menunjukkan batas-batas area pelestarian. Akhirnya, sejumlah pemilik menutup perkebunan dan mengembalikan tanah kepada pemerintah.

Rudi, intens berkomunikasi dengan warga dan mengajak bersama-sama menjaga Lauser. Foto: dokumen Goldman Prize
Rudi, intens berkomunikasi dengan warga dan mengajak bersama-sama menjaga Leuser. Foto: dokumen Goldman Prize

Setelah berhasil membersihkan kebun-kebun sawit ilegal, koridor satwa liar pun tercipta lagi. Gajah, harimau, dan orangutan menemukan kembali habitat mereka. Untuk kali pertama, pemandangan ini terjadi dalam 12 tahun terakhir. Populasi badak Sumatera di KEL pun perlahan naik dalam satu dasawarsa terakhir.

Dia sempat down kala BPKEL, dibubarkan Gubernur pada 2012. Pada 2007, BPKEL dibentuk Gubernur Irwandi Yusuf. Pada 2008 mulai mengidentifikasi masalah di Tamiang. Mereka memonitoring dengan satelit, melihat kondisi kehancuran hutan di hilir dan hulu.

“Ada hutan tapi rusak karena hampir seluruh wilayah dulu HPH. Ini parah sekali. Seluruh wilayah logging, 90 persen hutan rusak,” katanya.

Lalu, BPKEL memonitoring lewat udara. Terdapat wilayah cantik di tengah hutan, tetapi ada kebun sawit tengah hutan. Monitoring udara terlihat buka hutan dengan alat berat. Ada juga pembukaan jalan ilegal. Ada buka lahan banyak sekali padahal itu habitat satwa. BPKEL bekerja sama dengan polisi, masyarakat dan LSM.

Kini, badan tempatnya bernaung diamputasi, namun tak menyurutkan langkah Rudi untuk tetap berjuang.

Rudi terlibat dalam perjuangan melawan ancaman baru terhadap hutan tropis. Sebuah rancangan tata ruang wilayah Aceh (RTRWA) yang akan membuka akses hutan tropis di KEL.

“KEL harapan konservasi bagi badak, harimau, gajah dan orangutan.  Kalau tak usaha setop rencana Pemerintah dan DPR Aceh ini, mungkin satwa-satwa ini hanya bertahan dalam lima tahun ini,” ucap Rudi, kala itu.

Pada 2013, dia juga menggagas petisi meminta dukungan masyarakat nasional dan internasional agar menentang rencana Pemerintah Aceh itu. Petisi ini berhasil mengumpulkan 1,4 juta tanda tangan. Langkah ini diakui dan menjadi bahan pembicaraan internasional di antara para pejabat Pemerintah Norwegia, Uni Eropa, Indonesia dan Aceh.

Hari-harinya diisi buat menjaga KEL. Foto: dokumen Goldman Prize
Hari-harinya diisi buat menjaga KEL. Foto: dokumen Goldman Prize
Foto: dokumen Goldman Prize
Foto: dokumen Goldman Prize
Artikel yang diterbitkan oleh