,

Penambangan Pasir Marak, Mangrove Hilang, Abrasi Pantai Merauke Mengkhawatirkan

Kampung Nasem, Distrik Merauke dengan Dusun Ndalir, Distrik Noukenjerai dibatasi oleh sebuah sungai. Ada Pos Taman Nasional Wasur, tak jauh dari situ. Kedua daerah ini berada di pesisir pantai.

Dulu ia pantai indah. Di tepian hijau oleh hutan mangrove. Kala, musim panas, di kawasan pesisir ini banyak burung dari penjuru dunia berkumpul. Mereka mencari makan di pantai. Namun, sejak 1990-an, banyak penambang pasir, di Kali Ndalir, Kampung Nasem. Abrasi pantai makin parah.

Awalnya, ada jalan di tepian pantai, terbuat dari beton karena abrasi pemerintah Merauke membangun tanggul. Ratusan kayu bulat ditancapkan di lumpur. Terlihat kokoh. Namun, karena penambangan pasir makin parah, akses jalanpun putus. Hutan mangrove hilang. Akhirnya, jalan alternatif dibuat sepanjang sekitar 500 meter.

Tambang terus jalan. Alhasil, jembatan lebar sekitar tujuh meter dan panjang 10 meter, dengan penyangga besi hampir runtuh tersapu ombak. Sebuah rumah milik penduduk terbuat dari beton berfungsi menahan deburan ombak. Si tuan rumah menahan rumah dari deburan ombak dengan beton bekas jalan raya.

Yosep Mahuze, warga sekitar Dusun Ndalir mengatakan, sebagian warga yang mengaku pemilik ulayat di sekitar pantai ini tak mau tahu ancaman abrasi. Mereka seakan tak tahu filosofi tanah sebagai mama atau ibu.

“Coba cari kerja lain. Jangan cuma angkut pasir sampai abrasi hingga sedikit lagi jembatan runtuh. Padahal urat nadi dua distrik ini,” katanya.

Dia sudah melaporkan kasus ini ke polisi dan Satpol PP. Kini, penambang pasir mengubah strategi. Mereka beraktivitas malam hari. Kalaupun siang, mereka menyembunyikan mobil di semak belukar. “Bila terasa aman, baru melanjutkan aktivitas lagi.”

Abrasi makin parah. Foto: Agapitus Batbual
Abrasi makin parah. Foto: Agapitus Batbual
Rumah warga yang berfungsi menahan abrasi pantai. Foto: Agapitus Batbual
Rumah warga yang berfungsi menahan abrasi pantai. Foto: Agapitus Batbual

Pemerintah diminta memberikan pencerahan kepada warga penambang ini. Salah satu, memberi mereka pengertian jika jembatan putus, otomatis akses jalan terhenti. Masyarakat Kampung Kondo, Kampung Tomerauw, Kampung Tomer, Kampung Onggaya,  tak bisa lagi ke Merauke. Begitupun sebaliknya.

“Warga disini sangat terganggu dan terancam dengan penggalian pasir ini.”

Secara adat, katanya, penggali pasir ilegal ini merusak kadungan ibu. Kali ini baru pasir digali. Ke depan, tanah pun dijual. “Pemerintah Meruake harus tegas menyanksi penggali pasir. Kasih hukuman supaya mereka sadar. Merasa anak asli Marind jangan jual atau gali pasir karena merusak adat.”

Hasan Matdoan, Kepala Distrik Merauke mengungkapkan, penggalian pasir sudah dilarang tetapi memang masih ada. Titik rawan penggalian itu di Kampung Buti hingga Kampung Nasem dan Dusun Ndalir.  “Masih berjalan tetapi malam hari, atau siang saat petugas tidak ada.”

Menurut dia, kelurahan sering mengawasi dan mencegah termasuk mengamankan beberapa kendaraan pengangkut pasir.

Dia membenarkan, jika penggalian pasir dibiarkan, air laut pasti masuk ke Rawa Dogamit dan ke Danau Rawa Biru. Padahal, Danau Rawa Biru itu pusat air bersih satu-satunya.

Penambangan pasir makin mendekati jalan...Foto: Agapitus Batbual
Penambangan pasir makin mendekati jalan…Foto: Agapitus Batbual
Di pantai ini, kala musim kemarau menjadi persinggahan burung-burung migrasi. Foto: Agapitus Batbual
Di pantai ini, kala musim kemarau menjadi persinggahan burung-burung migrasi. Foto: Agapitus Batbual
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,