Pesona Emas Hitam Ancam Bumi Khatulistiwa

Industri pertambangan bak dewa bagi sebagian masyarakat di Kalimantan Barat (Kalbar). Tambang dianggap memberikan pekerjaan, perbaikan infrastruktur serta sarana dan prasarana. Terlebih, di perusahaan tambang, ada kemasan corporate social responsibility dan community development. Tanpa sadar, berbagai masalah menanti.

Arif Munandar, Peneliti Swandiri Institute, mengungkapkan, di Kalbar, hingga kini ada 721 konsesi pertambangan, dengan luas mencapai luas 5 juta hektar dan tersebar di semua kabupaten. Ketapang 1,3 juta hektar diberikan pada 156 perusahaan. Lalu Landak (86) dan Kapuas Hulu (73).

Perusahaan Tiongkok yang berinvestasi di Ketapang didominasi Citra Investama Investindo TBK, melalui salah satu anak perusahaan PT Harita PAM Group (Harita). Untuk cakupan Kalbar, salah satu andalan selain perkebunan sawit itu pertambangan.

Menurut Arif, meski Ketapang memiliki potensi tambang sangat besar, namun kondisi ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan warga. Dari data, kemiskinan di Ketapang, relatif lebih tinggi dari kabupaten lain.

Industri ekstraktif, katanya, justru menyebabkan pemanfataan sumber daya alam warga makin berkurang. “Dulu mereka bisa memanfaatkan berbagai sumberdaya hutan, seperti rotan, kayu, damar, dan lain-lain. Sekarang semua sudah banyak hilang. Sebagian besar warga justru menjadi buruh. Itu semua tidak meningkatkat kesejahteraan mereka.”

Data BPS 2011, penduduk miskin di Ketapang, lebih 37.000 orang. Ini jumlah penduduk miskin terbesar di Kalbar. Menyusul Sambas dan Landak, yang memiliki perkebunan dan pertambangan.

Ratusan tahun lalu, Belanda dan Jepang telah mengeskploitasi emas di sini. Emas masih mempunyai deposit 541,6 juta ton tersebar di Bengkayang, Sekadau, Sintang, Kapuas Hulu, Landak, dan Melawi.

Belakangan fakta menunjukkan, Kalbar berpotensi emas lain yakni, bauksit, dikenal dengan emas hitam. Produksi per tahun mencapai 25 juta ton. Potensi mencapai 3 miliar ton, dengan masa eksploitasi 150 tahun ke depan.

Bauksit yang sudah dicuci namun tidak sempat ekspor, karena regulasi pemerintah. Kini menumpuk di area pelabuhan yang juga mati. Foto: Aseanty Pahlevi
Bauksit yang sudah dicuci namun tidak sempat ekspor, karena regulasi pemerintah. Kini menumpuk di area pelabuhan yang juga mati. Foto: Aseanty Pahlevi

Data Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar, hingga 2011, Kalbar ada 651 izin usaha pertambangan dan 477 izin eksplorasi. Sedangkan izin eksploitasi 174 perusahaan. Dari semua izin ini, tidak semua memulai kegiatan usaha. Sebagian hanya broker.

Izin terbanyak dikeluarkan Ketapang, 60 perusahaan sudah eksplorasi. Izin ini meliputi bahan tambang, bauksit, biji besi, timah, emas, mangan, galena, baal clay, zircon, sampai pasir kuarsa.

Di Kalbar, terutama Ketapang, bauksit jadi primadona baru. “Di Ketapang, lapisan bauksit tidak begitu dalam, digali semeter sudah ketemu. Jadi tidak ada itu cekungan seperti di Papua,” kata Ali, supir kontraktor pertambangan.

Di Ketapang, Harita berencana mendirikan dua pabrik pengolahan bauksit dengan investasi Rp 4,5 triliun per pabrik. Persyaratan deposit minimal 120 juta ton terpenuhi. Di pabrik ini, bauksit diolah menjadi alumina. Jika teralisir, pabrik ini pertama di Indonesia. Bahkan, bisa mengolah bauksit dari daerah lain di Kalimantan.

Masalah mengintai Kalbar. Mursyid Hidayat, Aktivis Lembaga Gemawan, mengatakan, kebijakan menggali sumber pendapatan negara lewat eksploitasi tambang ini berisiko. “Dampak tambang tidak sebanding dengan hasil, terutama penurunan kualitas lingkungan dan konflik lahan,” kata Dayat.

Menurut Arif, banyak contoh kerusakan lingkungan dampak tambang begitu parah. Reklamasipun sangat sulit. “Biaya reklamasi bekas pertambangan tiga kali lipat dibanding keuntungan. Sebagian besar perusahaan memilih tak reklamasi.”

Sumber: Dinas Pertambangan
Sumber: Dinas Pertambangan
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,