Kebakaran Hutan, Menimbulkan Kerugian Ekonomi Terparah

Dari rentetan bencana alam besar yang dialami Indonesia sejak tahun 1900, kebakaran hutan adalah yang paling banyak memberikan kerugian ekonomi. Paling parah kerugian dialami pada masa kebakaran hutan dan lahan di tahun 1997 yang mencapai 4,45 miliar dollar Amerika. Angka ini dua kali lipat dari kerugian bencana tsunami  Aceh di tahun 2004 lalu. Meski lebih dari 17 tahun terbakarnya hutan Indonesia, hingga saat ini belum ada harapan dari kebijakan yang dibuat pemerintah mampu menguranginya secara signifikan. Berbagai seminar pun telah ditaja.

Lahan gambut Riau. Kebakaran di Riau, sebagian besar terjadi di lahan gambut.   Sumber: Walhi
Lahan gambut Riau. Kebakaran di Riau, sebagian besar terjadi di lahan gambut. Sumber: Walhi

Sementara itu Provinsi Riau adalah provinsi yang paling menderita dari kebakaran hutan dan lahan tersebut. Kepala Pusat Data dan Informasi Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kebakaran yang terjadi di awal tahun yakni selama dua bulan pada Februari dan Maret telah menyebabkan kerugian hingga 20 triliun rupiah.  Angka itu sendiri diperoleh dari hitungan produk domestik bruto (PDB) Riau akibat aktivitas ekonomi masyarakat yang terganggu seperti penerbangan yang ditutup hingga beberapa hari.

“Bencana asap mengganggu 30 persen aktivitas perputaran ekonomi di Riau. Itu baru dari sisi ekonomi. Belum lagi sisi kesehatan dan manusianya,” ujar kepala pusat data dan informasi humas Badan Nasional Penanggulanan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho Selasa (29/4) di Pekanbaru.

Peta kebakaran WRI, sebagian besar kebakaran hutan terjadi di kawasan perkebunan. Sumber WRI
Peta kebakaran WRI, sebagian besar kebakaran hutan terjadi di kawasan perkebunan. Sumber WRI

“Sebulan saja Februari tahun ini sudah sepuluh triliun. Melebihi dari ABPD tahun ini yang cuma delapan triliun,” kata Purwo.

Selain kerugian ekonomi, kebakaran hutan dan lahan di awal tahun ini juga telah menyebabkan 21.900 hektar hutan hancur dan ini lebih luas dari tahun lalu 16 ribu hektar. Sementara total masyarakat yang terpapar partikel asap mencapai lebih dari 55 ribu jiwa dan puluhan sekolah terpaksa diliburkan sepekan lebih.

Klik pada gambar untuk memperbesar
Klik pada gambar untuk memperbesar

Sementara dana penanggulangan bencana secara nasional yang telah disiapkan sekitar 5 miliar rupiah ternyata telah terpakai sekitar 167 miliar rupiah untuk kebakaran hutan di Riau di awal tahun ini. “Ini sudah sepertiganya terpakai di Riau saja,” tambahnya.

Besarnya kerugian dari dampak kebakaran hutan dan lahan serta anggaran yang dialokasikan untuk pemadaman api tidak memantik semangat pemerintah Riau untuk mengantisipasinya. Ketidakseriusan pemerintah daerah dalam menghadapi bencana kebakaran hutan yang lebih ekstrim yang diperkirakan terjadi di bulan Mei hingga Agustus mendatang terlihat dari rapat koordinasi persiapan penanggulangan bencana asap di Kantor Gubernur Riau Senin (28/4/2014) lalu yang tidak dihadiri pejabat penting kabupaten dan kota di Riau.

Sisa hutan dan lahan gambut yang hangus terbakar di Jurong, Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu Riau terlihat pada 24/6/13. Foto: Zamzami
Sisa hutan dan lahan gambut yang hangus terbakar di Jurong, Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu Riau terlihat pada 24/6/13. Foto: Zamzami

Deputi Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Tri Budiarto mengungkapkan kecewaannya terhadap pemerintah daerah Riau. “Ternyata yang saya sayangkan masih ada perbedaan persepsi mengenai betapa pentingnya masalah pencegahan ini. Apa yang BNPB anggap penting, ternyata di sisi lainnya belum dianggap sesuatu yang penting oleh pemerintah daerah,” ujarnya di Pekanbaru pekan ini.

Menurut dia seharusnya gubernur, bupati dan walikota yang menjadi garis terdepan yang mengantisipasi kebakaran hutan tidak lagi mendera Riau di masa mendatang. Seperti diketahui pada 4 April lalu, Kepala BNPB Syamsul Maarif menyerahkan tongkat komando penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Riau kepada Gubernur Annas Maamun pada saat status darurat asap Riau berakhir.

“Tapi kita tidak bisa melakukan intervensi,” kata Tri Budiarto.

Namun demikian Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho kembali menegaskan intruksi Presiden SBY tentang tanggungjawab pemerintah daerah. Presiden menyatakan bahwa jika terdapat pemerintah daerah, kepala kepolisian dan tentara di daerah tidak serius menangani kabut asap maka akan dicopot dan diberikan sanksi. Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden SBY berkunjung ke Riau pada Maret lalu untuk operasi militer non perang dalam rangka memadamkan api. Bencana asap pada waktu itu membuatnya geram terlebih dalam rapat koordinasi yang digelarnya sebelum berkunjung ke Riau ternyata tidak dihadiri oleh gubernur Riau sendiri.

Kebakaran lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Indonesia. Foto: Greenpeace
Kebakaran lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Indonesia.
Foto: Greenpeace

“Jika terjadi pembiaran dan kelalaian di wilayahnya yang terbakar, (maka) akan dipecat,” kata Purwo.

Untuk mengantisipasi kebakaran hutan, Gubernur Riau sendiri berencana merekrut lima orang personil pemadam kebakaran di setiap desa di 12 kabupaten dan kota, tiga orang di kecamatan, namun hingga sekarang belum ada detail rencana aksinya.

“Berapa personel yang diperlukan untuk TNI, Polri, satuan kerja perangkat daerah, berapa peralatan yang ada, bagaimana perusahaan yang ada dan sarananya yang ada, nampaknya belum dipersiapkan dengan baik,” ujarnya

Terkait dengan ini, BNPB sendiri hanya bisa mendorong rencana aksi itu disegerakan. “(fungsi BNPB) Pastikan apa-apa saja yang tidak ada. Pastikan tidak ada lagi bencana asap di kabupaten. (Helikopter) Sikorsky, Bolko standby. Kamov juga ada,” kata Tri Budiarto. “First responder (itu) bupati, walikota,” tambahnya.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, Said Saqlul Amri mengatakan Pemprov Riau saat ini masih melakukan harmonisasi untuk merampungkan penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur Riau tentang Prosedur Tetap Pencegahan Bencana Asap. Sedangkan rencana pembentukan tenaga pemadam kebakaran di tingkat desa dan kecamatan masih dibahas di Bappeda. Rencananya personil petugas pemadam tersebut akan mendapat honor sebesar 300 ribu rupiah per bulan dan biayanya ditanggung APBD Riau.

“Kita masih mencari sumber pendanaan untuk pos anggaran itu, yang mungkin diambil dari Dana Pembangunan Desa. Anggarannya kemungkinan akan dimasukkan ke APBD Perubahan yang disahkan pada bulan Juni nanti,” katanya.

Sementara pada minggu ini selama dua hari belasan akademisi Universitas Riau menggelar seminar “Solusi Tuntas Riau Bebas Asap” yang juga menghadirkan pakar lingkungan dari universitas terkemuka dari Pulau Jawa dan sejumlah pihak termasuk LSM.

Hasil akhir seminar diharapkan bisa menjadi bahan untuk regulasi berupa Instruksi Presiden (Inpres) tentang penanggulangan kebakaran asap secara tuntas di ekosistem rawa gambut. Output seminar berupa rekomendasi saran untuk jadi bahan masukan yang obyektif dan progresif. Harapannya Inpres itu berisi tentang mandat presiden terhadap bupati, walikota dan gubernur untuk dapat melakukan langkah-langkah preventif secara lebih leluasa, terarah dan jelas.

BMKG Riau memprediksi kondisi cuaca pada Mei sampai September mendatang akan semakin kering karena terdampak oleh Elnino lemah. Kondisi ini menyebabkan curah hujan di wilayah Riau akan lebih sedikit dibandingkan pola normalnya sehingga potensi kebakaran hutan dan lahan semakin besar.

Kondisi itu diperparah dengan arah angin yang bergerak menuju Utara sehingga diperkirakan asap dari kebakaran hutan di Riau dan Sumatra akan mengarah ke negara-negara tetangga dan ini yang dikhawatirkan menjadikannya sebagai musibah yang besar di regional asia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,